KATADATA ? Joko Widodo dinilai tidak akan sepenuhnya leluasa dalam memilih calon pembantu dalam administrasinya nanti.
Menurut Syamsuddin Haris, peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sekurangnya ada tiga tantangan yang bakal dihadapi Jokowi, panggilan akrab Gubernur DKI Jakarta itu dalam menentukan calon kabinetnya.
Pertama, yang berasal dari internal PDI-P, khususnya dari Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI-P, dan Puan Maharani, anak kandung Megawati yang juga menjadi salah satu Ketua DPP PDI-P. Menurut Syamsuddin, tantangan ini tidak lepas dari pencalonan Jokowi sebagai presiden yang bisa dianggap tidak lepas dari ?kebaikan? Megawati.
Faktor ini yang kemudian melahirkan tudingan terhadap Jokowi sebagai ?boneka? Megawati selama pilpres lalu.
Kedua, tantangan yang berasal dari koalisi partai pendukung, yakni Partai Nasdem, PKB, dan Hanura. ?Mereka akan menagih jatah menteri karena menganggap telah ikut berjasa menaikkan Jokowi,? tutur dia.
Ketiga, tantangan yang berasal dari kekuatan relawan. Selama pilpres, kekuatan non-partai ini yang terlihat begitu ofensif menggalang dukungan untuk Jokowi. Bahkan, ada yang menilai melebihi mesin kerja partai-partai pendukungnya. ?Kabinet Jokowi berpotensi menimbulkan kekecewaan terhadap pihak-pihak yang selama ini mendukungnya,? kata Syamsuddin.
Mau tak mau, kata dia, Jokowi mesti berkompromi dalam menentukan isi kabinetnya nanti. Meskipun dia pernah menyatakan tidak akan membagi-bagikan kursi menteri. ?Ini dilemanya, karena dalam politik tidak ada ?makan siang yang gratis?,? ujar Syamsuddin.
Ditunggu Pasar
Teka-teki calon pengisi kabinet Jokowi sudah ditunggu pelaku pasar. Saat ini, sentimen dari sisi politik cenderung mengempis. Pasar tengah memantau calon pengisi kabinet Jokowi-Jusuf Kalla (JK). Setelah sebelumnya Jokowi telah meresmikan Rumah Transisi Jokowi-JK pada 4 Agustus lalu.
Menurut Aldian Taloputra, ekonom Mandiri Sekuritas, pembentukan tim transisi tersebut menunjukkan kesiapan Jokowi-JK untuk melaksanakan pemerintahan ke depan.
?Memang saat ini belum jelas hasilnya, masih ada putusan MK. Cuma terlihat (pemerintahan Jokowi-JK) akan lebih siap untuk Oktober nanti. Jadi kalaupun mau ambil kebijakan jadi lebih cepat,? tutur Aldian saat dihubungi Katadata, Jumat (8/8).
Pembentukan tim transisi Jokowi, menurut analis First Asia Capital David Nathanael Sutyanto, mengurangi ketidakpastian akan isi kabinet ke depan. ?Pasar kan biasanya berspekulasi. Sekarang kan banyak yang bagus (yang diusulkan) karena profesional. Tapi ini tetap haknya presiden, jadi pasar masih menunggu juga,? kata dia.
Selama masa pemilihan presiden (pilpres) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat mengalami kenaikan hingga 8,5 persen. Kenaikan tersebut terjadi sejak pencalonan Joko Widodo pada 14 Maret hingga pengumuman hasil perhitungan pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 Juli.
(Baca: Kembalinya "Jokowi Effect")
Indeks memang tidak senantiasa melaju, melainkan naik turun mengikuti perkembangan situasi politik. Hal ini terutama mengikuti pasang surutnya optimisme pasar atas kemenangan Jokowi, panggilan akrab Joko Widodo dalam pilpres.
Gugatan Hasil Pilpres ke MK
Di sisi lain, terdapat gugatan terhadap hasil pilpres yang dilayangkan kubu Prabowo Subianto ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi pasar menilai dampaknya tidak terlalu besar lantaran selisih suara antara pasangan nomor 1 dan nomor 2 yang jauh, yakni mencapai 8,4 juta suara.
?Sentimen karena MK kecil, faktornya lebih karena fundamental. Kalaupun pengaruh nggak akan lama. Saya yakin MK nggak akan mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat,? ujar David.
Tuntutan pilpres ulang yang diajukan oleh Prabowo pun kelihatannya tidak didukung dengan alat bukti yang kuat. Apalagi majelis hakim konstitusi banyak mengoreksi surat tuntutan. Dua ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dan Mahfud Md, yang merupakan pendukung pasangan Prabowo-Hatta pun sudah menyatakan pesimistis MK akan memenangkan gugatan tersebut.
Sementara itu, hasil survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pun menunjukkan dukungan terhadap Prabowo-Hatta berkurang drastis setelah pelaksanaan pilpres.
Menurut hasil survei, dukungan terhadap Prabowo-Hatta saat ini hanya sebesar 30,39 persen. Dalam perhitungan KPU, pasangan nomor urut 1 itu memperoleh suara 46,85 persen. Hal ini berarti pendukung Prabowo-Hatta cenderung telah menerima hasil pilpres.