Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) membantu pemerintah mendongkrak penerimaan perpajakan tahun depan. Ia memperkirakan, ada tambahan Rp 139,3 triliun pada 2022.
"Kami melihat bahwa akan ada minimal Rp 139,3 triliun penambahan pendapatan pada 2022. Selain itu, menaikkan rasio pajak menjadi 9,22% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)," kata Sri Mulyani saat konferensi pers virtual, Kamis (7/10).
Pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan Rp 1.510 triliun dalam Angaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Sri Mulyani mengatakan, UU HPP dapat mendorong penerimaan menjadi Rp 1.649,3 triliun.
Keberadaan UU HPP juga diklaim akan memberikan dampak jangka panjang terhadap tambahan penerimaan perpajakan. Penambahan diprediksi semakin besar setiap tahun. Perkiraannya sebagai berikut:
- Bertambah Rp 139,3 triliun menjadi Rp 1.649,3 triliun pada 2022
- Bertambah Rp 162,1 triliun menjadi Rp 1.811,1 triliun pada 2023
- Bertambah Rp 215 triliun menjadi Rp 2.013 triliun pada 2024
- Bertambah Rp 353,3 triliun menjadi Rp 2.323,1 triliun pada 2025
Kenaikan bukan hanya dari sisi nominal, tetapi juga rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB. Perkiraannya sebagai berikut:
- Rasio pajak ke PDB pada 2022 naik dari target 8,44% menjadi 9,22%
- Rasio pajak ke PDB pada 2023 naik dari target 8,46% menjadi 9,29%
- Rasio pajak ke PDB pada 2024 naik dari target 8,51% menjadi 9,53%
- Rasio pajak ke PDB pada 2025 naik dari target 8,58% menjadi 10,12%
Selain UU HPP, Sri Mulyani menantikan efek dari reformasi administrasi perpajakan dengan adanya coretax. Ini merupakan sistem perpajakan baru yang akan menggantikan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP) saat ini.
"Coretax akan mempercepat pencapaian rasio perpajakan menjadi sekitar 10% lebih pada tahun 2021," tulis Sri Mulyani dalam bahan paparan.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR akhir bulan lalu, Sri Mulyani sempat mengatakan bahwa coretax akan rampung sebelum masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berakhir atau pada 2023.
Keberadaan sistem perpajakan baru itu dinilai akan lebih menguntungkan bagi pemerintah, karena lebih terintegrasi.
Namun ekonom menilai bahwa sejumlah ketentuan, terutama kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak akan signifikan mengerek penerimaan. Dalam UU HPP, Pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 11% tahun depan dan 12% pada 2025.
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, PPN menyumbang lebih dari sepertiga penerimaan perpajakan setiap tahun. Kenaikan tarif pajak dinilai tidak menjamin penerimaan negara terdongkrak.
Sebab, efektivitas penerimaan PPN tak selalu bergantung pada besar kecilnya tarif. "Ini juga bagaimana penguatan basis penerimaan PPN itu sendiri, ambang batasnya," kata Tauhid dalam Dikusi Publik Menakar Untung Rugi RUU HPP yang digelar INDEF, Rabu (6/10).
Tauhid membandingkan hubungan antara tarif PPN dengan porsinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di Singapura, Filipina, Thailand dan Vietnam. Rinciannya sebagai berikut:
Negara | Tarif PPN | Porsi ke PDB |
Indonesia | 10% | 3,5% |
Filipina | 12% | 2,1% |
Vietnam | 10% | 6,2% |
Singapura | 7% | 2,2% |
Thailand | 7% | 3,9% |
Tauhid juga menyoroti ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang berlaku saat ini yakni Rp 4,8 miliar. Ini berarti, pengusaha yang omzetnya di bawah batas ini akan dibebaskan dari pemberlakuan PPN.
Kemudian dia membandingkan ambang batas di Indonesia yang hampir sama dengan Singapura. Sedangkan ekonomi Negeri Jiran ini dinilai cenderung lebih maju.
"Ini yang saya kira cukup menjadi trigger. Kenapa (porsi ke PDB) PPN di negara lain, terutama di Thailand itu jauh lebih tinggi meski tarifnya lebih rendah," kata Tauhid.