Rupiah Melemah ke Rp 14.178/Dolar, Tertekan Sentimen Tapering Off Fed

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/rwa.
Karyawan menghitung uang dolar Amerika Serikat (AS) di tempat penukaran valuta asing, Jakarta.
Penulis: Abdul Azis Said
25/10/2021, 10.07 WIB

Nilai tukar rupiah dibuka melemah 0,3% ke level Rp 14.165 per dolar AS pada perdagangan pasar spot pagi ini, Senin (25/10). Rupiah diramal melanjutkan pelemahan di tengah sentimen tapering off yang kembali menguat bersama tekanan inflasi global.

Analis pasar uang Ariston Tjendra memperkirakan rupiah akan kembali tertekan di level Rp 14.160 per dolar AS, dengan potensi penguatan di kisaran Rp 14.100. Sentimen tapering off bank sentral AS, Federal Reserve (Fed), masih menjadi pendorong pelemahan nilai tukar hari ini.

"Nilai tukar rupiah mungkin masih berpeluang melemah setelah pernyataan Jerome Powell akhir pekan lalu pada acara konferensi online bahwa Fed masih dalam jalur pengurangan stimulus," kata Ariston kepada Katadata.co.id, Senin (25/10).

Mengutip Bloomberg, nilai tukar semakin melemah ke posisi Rp 14.178 pada pukul 09.30 WIB. Ini semakin jauh dari penutupan pekan lalu Rp 14.123 per dolar AS.

Mayoritas mata uang Asia lainnya juga melemah. Yen Jepang melemah 0,16%, bersama dolar Taiwan 0,07%, peso Filipina 0,06%, rupee India 0,05%, yuan Cina 0,08% dan ringgit Malaysia 0,06%. Sementara dolar Singapura menguat 0,13% bersama won Korea Selatan 0,25% dan bath Thailand 0,17%. Sedangkan dolar Hong Kong stagnan.

Gubernur bank sentral AS, Federal Reserve, Jerome Powell, akhir pekan lalu mempertegas rencana tapering off dalam waktu dekat. Kendati demikian, ia mengklarifikasi bahwa Fed belum mempertimbangkan menaikkan suku bunga. Sebelumnya pasar mengantisipasi Fed akan mempercepat kenaikan bunga pada paruh kedua tahun depan.

"Saya pikir sudah waktunya untuk mengurangi (tapering off), tetapi saya tidak berpikir ini saatnya untuk menaikkan suku bunga," kata Powell dikutip dari Reuters.

Powell menyebut masih ada lebih dari 5 juta tenaga kerja yang menganggur akibat tekanan Covid-19. Selain itu, kinerja penanganan pandemi global yang terus membaik memberi harapan baik adanya perbaikan tenaga kerja dan meredanya inflasi mulai tahun depan.

Namun Powell juga memastikan bahwa jika inflasi tinggi masih akan bertahan lebih lama dari perkirakan, pihaknya 'siap' untuk mengambil tindakan. Pernyataan ini tampaknya membuka peluang kenaikan suku bunga lebih cepat, seperti yang diusulkan pejabat Fed lainnya untuk menaikkan suku bunga lebih cepat.

Selain itu, Fed juga berencana memulai tapering berupa pengurangan pembelian aset paling cepat pertengahan bulan November atau Desember. Bank sentral akan mengakhiri pembelian tersebut pertengahan tahun depan. Fed baru akan mengumumkan rencana ini pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) awal bulan depan.

Selain itu, Ariston juga menyebut sentimen pelemahan dipengaruhi kekhawatiran pasar terhadap lonjakan inflasi di sejumlah negara serta penanganan Covid-19 yang belum sepenuhnya turun.

"Tekanan tersebut bisa menahan laju pertumbuhan ekonomi sehingga bisa menjadi pendorong pelemahan nilai tukar rupiah dan aset berisiko lainnya," kata Ariston.

Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan terbarunya kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 6,0% menjadi 5,9%. Sebagian besar proyeksi negara-negara dunia juga diturunkan, termasuk Indonesia yang berubah dari perkiraan akan tumbuh 3,9% menjadi 3,2%.

Senada dengan Ariston, analis pasar uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto juga memperkirakan sentimen tapering off dan laju inflasi dunia akan menekan nilai tukar. Rupiah diperkirakan akan bergerak di kisaran Rp 14.125-Rp 14.185 per dolar AS.

Meski demikian, perbaikan kondisi di dalam negeri akan menjadi sentimen yang menahan pelemahan. "Penguatan dipengaruh oleh kenaikan harga komoditas, penanganan pandemi yang terkendali serta ekspektasi perbaikan ekonomi pada kuartal IV 2021," kata Rully kepada Katadata.co.id.

Surplus neraca dagang dalam dua bulan terakhir diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir tahun. Sentimen kenaikan harga komoditas menjadi salah satu pemicu kenaikan nilai ekspor yang kemudian mendorong surplus.

Perbaikan di aktivitas perdagangan internasional tersebut diharap menjadi salah satu komponen yang akan mengerek pertumbuhan ekonomi kuartal terakhir 2021.

Sementara sentimen krisis Evergrande yang tampaknya memasuki babak baru dinilai tidak akan banyak mempengaruhi rupiah. Evergrande melaporkan kembali melanjutkan sejumlah proyeknya setelah akhir pekan lalu melunasi tagihan pembayaran bunga obligasi luar negerinya sebesar US$ 83 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun.

Reporter: Abdul Azis Said