Kemenkeu: Tukang Kritik Utang Seharusnya Taat Bayar Pajak

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menegaskan mentalitas tidak ingin negara berutang tetapi enggan membayar pajak tidak boleh ada di masyarakat.
Penulis: Agustiyanti
4/11/2021, 17.58 WIB

 

Kementerian Keuangan mendapatkan banyak kritik dari masyarakat lantaran menambah utang dalam jumlah besar selama pandemi Covid-19. Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menilai, masyarakat boleh mengkritik kebijakan utang pemerintah, tetapi harus disertai dengan ketaatan membayar pajak.

“Kalau tidak mau utang, konsekuensinya masyarakat harus taat bayar pajak. Tapi kalau tidak mau dua-duanya, bisa bubar republik ini," ujar Prastowo dalam Media Gathering Direktorat Jenderal Pajak di Denpasar, Rabu (3/11). 

Ia menegaskan mentalitas tidak ingin negara berutang tetapi enggan membayar pajak tidak boleh ada di masyarakat. Menurut dia, banyak orang mengkritik seolah negara hanya berutang, tetapi tidak ada dampaknya terhadap perekonomian. 

“Kita mengkritik pemerintah utang bertambah, tetapi seolah statis hidup ini. Padahal aset pemerintah saat ini sudah meningkat menjadi Rp 11 ribu triliun, dua kali lipat utang pemerintah,” kata dia. 

Yustinus menjelaskan, utang pemerintah saat ini juga bukan hanya cermin dari satu rezim pemerintah, tetapi akumulasi dari berbagai rezim pemerintah. Ia mencontohkan, pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menerbitkan surat utang negara dengan tenor di atas 10 tahun yang dibebankan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal serupa juga dilakukan Jokowi yang membebankan utang kepada penerusnya. 

Di sisi lain, menurut Yustinus, pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya berhasil mengendalikan utang dengan menjaga rasio utang di bawah 30% terhadap PDB selama bertahun-tahun pemerintah sebelum diterpa pandemi Covid-19. Namun, Covid-19 memaksa pemerintah menerbitkan utang dalam jumlah besar untuk membiayai besarnya kebutuhan belanja publik. 

“Walaupun utang besar, tetapi ini untuk membiayai belanja publik,” kata dia. 

Adapun saat ini, menurut dia, pemerintah tengah berupaya melakukan konsolidasi fiskal untuk menekan utang. Pemerintah menargetkan dapat mengembalikan defisit APBN di bawah 3% pada 2023. 

 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengapresiasi banyaknya masyarakat yang saat ini memberikan perhatian terhadap keuangan negara. Menurutnya, kondisi saat ini berbeda dengan masa lalu saat pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) belum menjadi sorotan publik.

Salah satunya adalah perhatian masyarakat terhadap pengelolaan utang negara saat krisis Covid-19. Sri menjelaskan pada krisis sebelumnya, publik belum menyoroti beban APBN untuk menopang ekonomi Indonesia. 

“Pada krisis 97-98 dan 2008-2009 tidak ada yang melihat. Sekarang semua mengurusi utang, it is good karena punya ownership kepada keuangan negara,” kata Sri Mulyani, Minggu (24/10).

Kementerian Keuangan melaporkan utang pemerintah pada September 2021 bertambah Rp 86,09 triliun dibandingkan bulan sebelumnya menjadi Rp 6.711,52 triliun hingga akhir September 2021. Kenaikan utang terutama terjadi pada Surat Berharga Negara (SBN).

Nilai utang pemerintah juga naik secara tahunan sebesar 16,6% dengan penambahan Rp 954,65 triliun, lebih rendah dari kenaikan tahunan bulan sebelumnya 18,4%. Utang pemerintah setara 41,38% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).