Rencana bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat akan mempengaruhi kemampuan fiskal negara-negara berkembang. Ekonom Amerika penerima Nobel Laureate Joseph E Stiglitz mengatakan pengetatan moneter ini terutama akan berdampak terhadap lonjakan utang dunia.
Stiglitz menilai, kenaikan bunga acuan The Fed yang terlalu cepat dapat berdampak pada pemulihan ekonomi Amerika yang menurutnya masih lemah saat ini. Masalah inflasi yang sedangkan dihadapi AS, menurut dia, bukan disebabkan meningkatnya permintaan, melainkan gangguan dari sisi suplai. Dengan demikian, kenaikan bunga ini tidak serta merta menyelesaikan masalah inflasi tersebut.
Alih-alih mengatasi masalah, dia Stiglitz melihat kenaikan bunga ini berpotensi menciptakan masalah lain. Banyak negara dunia yang menghadapi peningkatan utang akibat pandemi akan terdampak. Apalagi, tidak sedikit dari negara-negara tersebut yang mengeluarkan anggaran untuk membayar utang lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
"Jika suku bunga naik situasinya akan memburuk, kita akan menghadapi suatu krisis utang tidak hanya dihadapi Amerika Selatan, ini akan terjadi di seluruh dunia," kata Stiglitz dalam webinar Mandiri Investment Forum, Rabu (9/2).
Peringatan serupa juga sempat disampaikan oleh sebuah lembaga nonprofit asal Inggris Jubilee Debt Campaign. Dalam laporannya, beban pembayaran utang negara berkembang bahkan sudah melonjak 120% antara tahun 2010 sampai 2021, dan saat ini berada pada level tertingginya sejak awal abad ke 21.
Jubilee mengatakan, krisis utang telah menggerus sumber daya yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk membiayai keadaan darurat pandemi dan perubahan iklim. Kenaikan suku bunga bukan hanya The Fed tapi banyak negara maju akan 'menenggelamkan' negara-negara dunia ke dalam utang yang lebih besar.
Dengan risiko tersebut, Stiglitz mengatakan perlu adanya kerangka kerja sama global untuk mengatasi masalah peningkatan utang ini. Menurutnya setiap negara dunia tentu sudah punya kerangka kerja terkait risiko kebangkrutan, tetapi belum ada kerja sama yang jelas di tingkat global untuk mengatasi masalah utang ini.
Dana Moneter Internasional (IMF) tahun lalu sepakat untuk menarik dana cadangan khusus (SDR) senilai US$ 650 miliar. Penarikan ini terutama untuk memperkuat kemampuan negara-negara anggotanya menghadapi pandemi.
Stiglitz mengatakan, pemanfaatan dana cadangan ini perlu dibicarakan ulang karena distribusi yang ke setiap anggota berbeda-beda saat ini. Langkah penarikan SDR dapat menjadi salah satu jalan untuk mengatasi persoalan risiko krisis utang.
"Kita harus mengatur ulang dana ini karena ada negara-negara maju yang sebenarnya tidak butuh dana itu," kata dia.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, IMF telah menerima realokasi anggaran SDR sebesar US$ 60 miliar dari negara-negara maju untuk didistribusikan ke negara yang membutuhkan. Presiden Perancis bersama asosiasi negara Afrika pada tahun lalu memang sudah mendesak untuk merelokasi US$ 100 miliar anggaran SDR negara maju ke negara miskin terutama di Afrika.
Selain melalui realokasi dana SDR yang diterima negara maju, cara lain untuk mengatasi krisis utang ini bisa melalui pertukaran atau swap utang. Menurutnya, banyak negara-negara berkembang dengan utang jumbo ternyata memiliki sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang melimpah. Karena itu, ia menyarankan agar penyelesiana utangnya dengan meminta negara berkembang itu untuk menjaga lingkungan.
"Banyak negara emerging market yang telah menyediakan begitu banyak layanan ekosistem tanpa adanya kompensasi, sehingga ini adalah cara untuk meminta mereka menjaga hutan dan menjaga kelestarian dan keanekaragaman hayati yang ada untuk bisa membayar utang. Saya kira ini bisa diajukan di pertemuan G20," kata dia.