Sri Mulyani Curhat Tantangan Jadi Menkeu Perempuan Pertama di RI

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/POOL/rwa.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memimpin pertemuan tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atau Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting (FMCBG) di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Penulis: Abdul Azis Said
8/3/2022, 17.53 WIB

Sri Mulyani pertama kali menjabat sebagai menteri keuangan pada akhir 2005. Dia menghadapi sejumlah tantangan, terutama stigma negatif karena menjadi menteri keuangan perempuan pertama di Indonesia.

Ia menyampaikan, tantangannya berlapis. Sebab, ia juga menjabat sebagai menteri keuangan saat usianya relatif masih muda. Saat itu usianya sekitar 10 tahun lebih muda dari rata-rata pejabat eselon tertinggi di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Jadi mereka menganggap ‘ini bos saya perempuan, masih muda’. Ada stereotipe yang mulai muncul,” kata Sri Mulyani dalam webinar Women Leaders Forum 2021 yang digelar oleh Katadata.co.id, Selasa (8/3).

“Banyak stereotip, kalau perempuan itu lebih emosional. Mungkin tidak fokus. ‘Dia kayaknya detail, jadi bawel’. Jadi, semua hal yang baik seperti menjadi negatif kalau itu dipimpin oleh perempuan," tambah dia.

Ia juga mengatakan, jika pemimpin perempuan mengambil sikap tegas, muncul stigma bahwa terlalu suka memerintah. Selain itu, apabila mendorong tim tampil maksimal, sering kali dianggap memberikan tuntutan target besar atau demanding.

Menurutnya, memimpin Kemenkeu juga memiliki dua tantangan besar yakni internal dan eksternal.

Secara internal, dia harus mengelola efektivitas organisasi, sumber daya manusia, anggaran hingga proses bisnis. Semua tugas-tugas ini harus bisa ditangani tanpa peduli gender.

"Halangan pertama, harus bisa membuktikan bahwa menjadi perempuan tidak mengurangi kemampuan leadership. Maka, dituntut bisa membuktikan kalau kita mampu,” kata Sri Mulyani.

“Tetapi, kalau laki-laki biasanya tidak perlu diuji kemampuan leadership-nya," tambah dia.

Belum lagi, pemimpin perempuan harus bisa memiliki performa dua kali lebih bagus untuk bisa disejajarkan dengan laki-laki. Ini biasanya untuk membuktikan bahwa saat perempuan mencapai posisi tertentu, itu diperoleh berkat kemampuan, bukan karena latar belakang gender.

Sedangkan tantangan eksternal yakni Kemenkeu merupakan bendahara negara. Kementerian ini mengelola perekonomian.

Lembaga itu harus memonitor agar perekonomian berjalan bagus. Selain itu, output dari sisi kesejahteraan masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, rasio gini, termasuk berbagai layanan seperti pendidikan dan kesehatan, harus berkualitas.

Sri Mulyani pun kini terus mendorong kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan sejak proses rekrutmen. Selama empat tahun terakhir, jumlah pegawai baru yang direkrut memiliki porsi berimbang antara perempuan dan laki-laki.

Di satu sisi, ia menyadari bahwa kemampuan perempuan untuk bertahan dan naik jabatan cenderung lebih kecil dibandingkan laki-laki.

"Jangankan naik sampai eselon II, di eselon V saja sudah langsung kelihatan drop-nya. Persentasenya tersisa sekitar 40% pejabat perempuan dibandingkan laki-laki," katanya.

Menurut dia, perempuan memiliki level of playing field yang berbeda dengan laki-laki. Sekalipun proses rekrutmen diupayakan seimbang dari sisi gender, namun perempuan akan dihadapkan pada sejumlah pilihan seperti meniti karier atau berfokus kepada keluarga.

Pilihan seperti itu menurutnya tidak dialami oleh laki-laki. "Biasanya di Kemenkeu, kalau bisa naik karier harus mengambil sekolah lebih untuk peningkatan kompetensi dan pengetahuannya,” ujar Sri Mulyani.

“Tapi, kalau perempuan harus dihadapkan pada pilihan antara sekolah atau keluarga, apalagi jika harus sekolah ke luar negeri, itu menjadi tekanan lagi. Begitu melihat kriteria untuk naik jabatan, laki-laki punya kapasitas lebih," tambah dia.

Reporter: Abdul Azis Said