Apakah Amerika Sudah Resesi atau Belum?

ANTARA FOTO/Made Nagi
Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen memberikan keterangan pers di Nusa Dua, Bali, Kamis (14//7/2022).
29/7/2022, 18.19 WIB

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kembali terkontraksi 0,9% pada kuartal kedua tahun ini. Hal ini menyebabkan negara ini sudah mengalami kontraksi secara beruntun pada dua kuartal terakhir.

Berdasarkan indikator tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menyebut ekonomi AS telah memasuki resesi. "Pagi ini anda membaca berita Amerika negatif growth kuartal kedua, technically masuk resesi," katanya dalam acara Seremonial Dies Natalis VII PKN STAN, Jumat (29/7).

Secara teknis, ekonom di dunia memang meyakini indikator resesi telah dimulai apabila negara mengalami kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut, yang diukur dengan penurunan produk domestik bruto (PDB). Tetapi tidak dengan Amerika Serikat.

Perbedaan dalam melihat indikator resesi itulah yang membuat Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan negaranya belum mengalami resesi, karena sejumlah data lain menunjukkan masih adanya perbaikan.

Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve Jerome Powell, juga berpendapat serupa. "Saat ini bukanlah kondisi resesi ekonomi, tetapi kita dalam periode transisi perlambatan pertumbuhan dan ini butuh kebijakan yang tepat," kata Powell dalam konferensi pers, Rabu (27/7).

Meski Powell mengatakan tidak percaya AS berada dalam resesi tetapi dia memperkirakan kenaikan suku bunga the Fed akan memperlambat ekonomi dan pasar kerja melemah. Itu pasti akan terasa seperti resesi bagi sebagian orang.

Secara pasti, Biro Riset Ekonomi Nasional atau National Bureau of Economic Research (NBER), sebuah organisasi nirlaba yang dibentuk sekelompok ekonom, akan menentukan kapan AS berada dalam resesi.

NBER melihat PDB tetapi juga pada angka pekerjaan, pendapatan pribadi, produksi industri dan faktor lainnya. Kelompok ini pun mendefinisikan resesi sebagai penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi, yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung lebih dari beberapa bulan.

Bagaimana Ekonomi AS?

Jika melihat data lapangan kerja AS pada Juni tetap kuat dengan 372 ribu pekerjaan tersedia, sedangkan tingkat pengangguran bertahan di kisaran 3,6% dalam empat bulan terakhir.

Upah juga meningkat, meskipun tidak secepat inflasi, dan 2,7 juta orang dipekerjakan pada paruh pertama tahun ini.

Tetapi pada saat yang sama, kepercayaan konsumen telah runtuh. Menyitir laporan the Guardian, inflasi menyebabkan kesulitan nyata bahkan bagi mereka yang memiliki pekerjaan, pasar perumahan yang dulu panas telah mendingin dengan cepat di beberapa daerah, dan pasar saham ikut gelisah.

Selain itu, beberapa konsumen, terutama yang kurang makmur, mulai kesulitan membayar tagihan mereka tepat waktu. Mengutip CNN, data dari perusahaan kartu kredit dan operator nirkabel minggu ini menyoroti tanda peringatan itu.

Raksasa kartu kredit Discover (DFS) dan Capital One (COF) pada Kamis (21/7) pekan lalu, mencatatkan pendapatan kuartalan yang lebih rendah dari ekspektasi analis. Saham mereka jatuh karena berita tersebut.

Tingkat tunggakan naik sedikit, dan kedua bank juga meningkatkan cadangan mereka untuk kerugian kredit di masa depan. Sebuah langkah peringatan yang menunjukkan kekhawatiran tentang arah ekonomi selama beberapa bulan ke depan.

Perusahaan telekomunikasi AT&T juga mengatakan dalam laporan pendapatannya bahwa banyak pelanggan pascabayar yang membayar tagihan bulanan mereka lebih lambat. "Kami melihat peningkatan kredit macet menjadi sedikit lebih tinggi dari tingkat pra-pandemi," kata CEO AT&T John Stankey pada panggilan konferensi dengan para analis pekan lalu.

Kondisi Ekonomi Dunia

Dana Moneter Internasional atau IMF melihat kondisi global yang lebih suram dan memperingatkan lonjakan inflasi serta dampak perang Ukraina dapat mendorong ekonomi dunia jatuh ke jurang resesi jika tak ditangani dengan tepat.

Mengutip Reuters, IMF dalam outlook terbarunya yang dirilis Selasa (26/7) memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global dari ramalan April sebesar 3,6% menjadi 3,2%. Proyeksi ekonomi global tahun depan juga dipangkas dari 3,6% menjadi 2,9%.

"Prospek telah menjadi gelap secara signifikan sejak April. Dunia mungkin saat ada di tepi resesi, hanya dua tahun setelah yang terakhir," kata Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas dalam sebuah pernyataan.

IMF mengatakan perkiraan terbarunya "sangat tidak pasti" dan menyebut masih ada risiko penurunan ekonomi akibat perang Rusia di Ukraina yang meningkatkan harga energi dan pangan lebih tinggi.

Kenaikan harga akibat perang memperburuk inflasi dan menanamkan ekspektasi inflasi jangka panjang yang akan mendorong pengetatan kebijakan moneter lebih lanjut.

"Pertumbuhan global telah jatuh di bawah 2% hanya lima kali sejak 1970, termasuk resesi Covid-19 pada 2020," kata IMF.

Secara singkat, disrupsi perekonomian dunia terjadi akibat Covid-19, dan gangguan ini berlangsung dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ditambah lagi dengan adanya perang di daerah penghasil komoditas penting, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan Fed yang secara agresif memperketat pasokan uang setelah bertahun-tahun suku bunga rendah.