Antrean panjang motor dan mobil mengular di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Rabu malam (31/8). Mendekati tengah malam, pengendara kendaraan bermotor yang mengantre di pom-pom bensin justru semakin bertambah.
Deretan panjang kendaraan tersebut dipicu oleh kabar bahwa pemerintah akan segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai Kamis (1/9). Namun, hingga tengah malam berlalu kenaikan harga BBM belum diumumkan pemerintah.
Dikutip dari situs resmi PT Pertamina, perubahan harga hanya terjadi pada BBM nonsubsidi. Harga Pertamax Turbo misalnya, turun dari Rp17.900 per liter menjadi Rp15.900 per liter.
Kemudian Pertamina Dex, dari Rp18.900 per liter, menjadi Rp17.400 per liter. Sementara Dexlite, menyusut dari Rp17.800 per liter menjadi Rp17.100 per liter. Sementara, harga Pertamax tetap Rp12.500 per liter.
Sementara, bensin bersubsidi seperti Pertalite harganya juga belum berubah, yakni Rp 7.650 per liter, dan solar Rp 5.550 per liter. Harga-harga BBM bersubsidi ini masih menggunakan harga eceran yang diatur pemerintah, sehingga belum mengikuti mekanisme harga pasar.
Dalam beberapa bulan terakhir harga minyak dunia terus melonjak. Kondisi ini mendorong selisih harga minyak dunia dengan harga jual BBM bersubsidi di Indonesia semakin besar.
Akibat lonjakan harga minyak dunia, harga eceran BBM di dalam negeri semakin jauh di bawah harga keekonomian. Untuk solar, harga keekonomiannya −harga riil− yang seharusnya dijual di pasaran adalah Rp13.950 per liter.
Namun, karena disubsidi pemerintah harga jual eceran solar saat ini masih Rp5.150 per liter sehingga selisih harganya mencapai Rp8.800 per liter. Artinya 63,1% harga solar disubsidi pemerintah.
Begitu pula Pertalite. Harga keekonomian bensin ini seharusnya Rp14.450 per liter, tapi harga eceran masih Rp7.650 per liter karena Pertalite disubsidi pemerintah. Selisih harga keekonomian dengan harga eceran mencapai Rp6.800 per liter atau subsidi pemerintah mencapai 47,1%.
Untuk Pertamax, harga riil seharusnya Rp17.300 per liter, tapi harga jual eceran Rp12.500 per liter. Selisih harga Rp4.800 atau 27,7% ditanggung PT Pertamina.
Semakin besar selisih antara harga pasar riil dan harga eceran BBM bersubsidi tentunya membebani anggaran negara. Jika tidak diatasi, maka Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan jebol. Sampai saat ini, pemerintah menganggarkan subsidi energi Rp502,4 triliun. Jika tidak menaikkan harga BBM –dengan cara mengurangi subsidinya– maka subsidi energi bisa membengkak hampir Rp200 triliun.
Sejumlah menteri di Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun telah mengisyaratkan bahwa pemerintah akan segera menaikkan harga BBM dengan cara mengurangi subsidi pada BBM.
Subsidi BBM dinilai tak tepat. Dalam situs pribadinya, ekonom Faisal Basri mengungkap bahwa subsidi energi, termasuk subsidi BBM, menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial, dan lingkungan yang signifikan. Hal itu, kata dia, justru bertentangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Konsekuensi dari kebijakan baru tersebut, pemerintah harus menalangi kekurangan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih rendah dari harga yang dihitung berdasarkan formula,” kata Faisal, dikutip dari tulisannya berjudul Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran.
Dalam tulisannya yang diunggah pada Minggu (28/8) itu, PT Pertamina, badan usaha milik negara (BUMN) yang menjadi pelaksana penugasan harus membayar kelebihan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih tinggi dari harga keekonomian. “(Akibatnya) pemerintah harus membayar kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan,” ujarnya.
Menurut laporan Kementerian Keuangan, selama periode Januari-Februari 2022 belanja subsidi energi Indonesia mencapai Rp21,7 triliun. Nilai tersebut setara 16,97% dari anggaran subsidi energi sebesar Rp134,03 triliun.
Khusus anggaran subsidi BBM jenis tertentu, jumlahnya tercatat sebesar Rp11,3 triliun. Secara total, sejak 2018 realisasi subsidi energi konsisten menembus angka Rp100 triliun.
Menghapus subsidi BBM, kata dia, kebijakan tidak populer dan memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat, “bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin.”
Hal-hal lain yang menyebabkan harga BBM naik di antaranya pergerakan harga minyak mentah dan Indonesian Crude Price (ICP). Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, semenjak menyampaikan rencana tambahan subsidi dan kompensasi BBM dan listrik kepada DPR, harga minyak menunjukkan tren peningkatan.
“Jadi waktu kami membuat Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 yang sudah dibahas dengan DPR dengan harga minyak US$100 pe barel, jelas bahwa menurut forecast dari konsensus maupun dari energy organization itu US$100 per barel. Nilai itu lebih rendah dari kemungkinan realisasi,” katanya, sebagaimana diwartakan Katadata.co.id pada Senin (29/8).
Harga energi yang melambung ini salah satunya dipengaruhi invasi Rusia ke Ukraina. Faktor geopolitik ini memengaruhi berbagai sektor, salah satunya sektor energi yang juga memberi dampak pada Indonesia. Tingginya harga minyak membuat anggaran subsidi berpotensi melambung.
“Hari ini pun kita juga lihat harga minyak juga masih di atas US$100 per barel,” kata Sri Mulyani.
Sebagai net importer minyak dunia, Indonesia juga berpotensi tertekan dari sisi nilai tukar. Per akhir Agustus 2022, US$1 tercatat setara kisaran Rp14.700 hingga Rp14.800. Asumsi makro APBN 2022 memberi ruang nilai tukar rupiah pada rentang Rp14.500 hingga Rp14.900 per US$.
Namun, pada Juni 2022, rupiah sempat terdepresiasi ke level Rp15.000 per US$. Angka tersebut melonjak dari posisi Januari 2022, ketika rupiah sempat menyentuh Rp14.300 per US$.
Sementara itu, kuota BBM bersubsidi terus berkurang akibat meningkatnya pembelian. Menurut laporan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), realisasi penyaluran BBM bersubsidi jenis Pertalite dan Solar sudah melampaui 50% dari kuota sejak awal tahun sampai 20 Juni 2022.
Pemerintah menetapkan kuota Pertalite sebanyak 23,05 juta kiloliter (KL) pada 2022. Namun, hingga Juli 2022 realisasi konsumsi Pertalite sudah mencapai 16,84 juta KL.
Kemudian, kuota solar dari pemerintah tercatat sebanyak 14,91 juta KL untuk 2022, tetapi realisasi konsumsinya sudah mencapai 9,88 juta KL hingga Juli 2022. Jika mengikuti tren konsumsi ini, maka sebelum akhir tahun kuota solar sudah habis. “Jadi kalau ikuti tren ini, Oktober habis kuotanya itu (solar),” ujarnya.
(Tim Riset Katadata)