Subsidi Tetap Bengkak Meski Harga BBM Naik, Pemerintah Tambah Utang?

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/foc.
Ilustrasi. Pemerintah menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax mulai 3 September.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
5/9/2022, 17.26 WIB

Kementerian Keuangan memperkirakan anggaran subsidi dan kompensasi energi tahun ini berisiko membengkak menjadi Rp 649 triliun meski pemerintah telah menaikkan harga BBM. Namun, Kementerian Keuangan optimistis defisit anggaran pendapatan dan belanja negara masih terjaga sehingga tak perlu menambah utang. 

"Defisit kan outlook terakhir 3,92%, itu masih terjaga," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senin (5/9).

Alokasi subsidi dan kompensasi energi tahun ini sebesar Rp 502,4 triliun. Namun, alokasi tersebut berisiko bengkak lagi seiring volume yang melebihi kuota. Jika harga minyak mentah Indonesia masih di atas US$ 100 per barel, Kementerian Keuangan memperkirakan kebutuhan subsidi akan membengkak menjadi Rp 649 triliun. 

Adapun jika harga minyak turun dan rata-rata ICP berada di level US$ 99 per barel, kebutuhan subsidi berpotensi lebih kecil yakni sebesar Rp 605 triliun. Sementara jika harga rata-rata ICP turun menjadi US$ 85, maka kebutuhan anggaran subsidi hingga akhir tahun mencapai Rp 591 triliun. Perhitungan ini dibuat dengan asumsi konsumsi Pertalite membengkak menjadi 29 juta kilo liter dan solar 17,4 juta kilio liter.

Anggaran subsidi yang berpotensi membengkak ini kemungkinan melampaui anggaran pendidikan tahun ini yang mencapai Rp 574,9 triliun. Dengan membengkaknya anggaran subsidi energi, maka total belanja negara juga sebenarnya berisiko membengkak.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said