Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi dan kompensasi pada tahun depan mencapai Rp 340 triliun. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui pergerakan harga minyak pada tahun depan sulit diprediksi seiring ketidakpastian yang meningkat.
Dalam RAPBN 2023, pemerintah mematok asumsi harga minyak sebesar US$ 90 per barel. Adapun rata-rata harga minyak pada sepanjang tahun ini masih mencapai di atas US$ 100 per barel meski trennya sedang menurun.
"Ada dua faktor yang dominan mempengaruhi harga minyak dan komoditas. Pertama, apakah dunia akan masuk resesi tahun depan ," ujar Sri Mulyani dalam Sarasehan 100 Ekonom yang digelar INDEF, Rabu (7/9).
Ia mengatakan, ekonomi Amerika Serikat dan Eropa berpotensi besar masuk ke jurang resesi. Ini karena kedua wilayah tersebut sedang menghadapi inflasi tertinggi dalam empat dekade terakhir.
"Jika negara maju mengalami resesi, maka permintaan terhadap minyak akan turun sehingga tekanan terhadap kenaikan harga diperkirakan akan menurun," kata dia.
Harga minyak dunia saat ini mulai menuru ke kisaran US$ 86 per barel, setelah sempat melambung di atas US$ 120 barel.
Faktor kedua yang mempengaruhi harga minyak, menurut Sri Mulyani adalah berapa lama perang Rusia dan Ukraina berlangsung.
"Selama terjadi perang, berarti akan terus ada disrupsi suplai karena Rusia itu diembargo. Kemarin kita juga mendengar bahwa Amerika Serikat akan mencoba membuat price gap untuk minyak Rusia yang sekarang sudah diadopsi negara-negara G7," katanya.
Ia menilai harga minyak dunia masih akan tidak pasti ke depannya dengan berbagai faktor tersebut dan tentunya akan memengaruhi APBN.
Pemerintah memperkirakan subsidi energi pada tahun ini membengkak dari alokasi Rp 502 triliun menjadi Rp 649 triliun meski harga BBM sudah naik. Perkiraan subsidi ini menghitung rata-rata harga minyak Indonesia tahun ini sebesar US$ 100 per barel.
Jika harga minyak turun dan rata-rata ICP berada di level US$ 99 per barel, Kemenkeu memperkirakan kebutuhan subsidi berpotensi lebih kecil yakni sebesar Rp 605 triliun. Sementara jika harga rata-rata ICP turun menjadi US$ 85, maka kebutuhan anggaran subsidi hingga akhir tahun mencapai Rp 591 triliun.
Perhitungan ini dibuat dengan asumsi konsumsi Pertalite membengkak menjadi 29 juta kilo liter dan solar 17,4 juta kilio liter.
Anggaran subsidi yang berpotensi membengkak ini kemungkinan melampaui anggaran pendidikan tahun ini yang mencapai Rp 574,9 triliun. Dengan membengkaknya anggaran subsidi energi, maka total belanja negara juga sebenarnya berisiko membengkak.