Dampak Positif Penguatan Rupiah: Inflasi dan Beban Utang Terkendali

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/foc.
Petugas menunjukan uang pecahan rupiah dan dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Penulis: Abdul Azis Said
25/1/2023, 19.53 WIB

Rupiah menunjukan tren penguatan sepanjang awal tahun 2023, hingga ke bawah level Rp 15.000 per dolar AS selama perdagangan dua hari terakhir. Penguatan tersebut akan berdampak positif ke perekonomian domestik yakni meredakan inflasi hingga meringankan kewajiban beban bunga utang pemerintah.

Rupiah menguat 3,9% sepanjang tahun ini ke level Rp 14.965 per dolar AS pada penutupan perdagangan Rabu (25/1). Penguatan rupiah seiring derasnya aliran modal asing yang masuk ke pasar surat utang pemerintah di tengah ekspektasi suku bunga bank sentral AS, The Fed tidak akan naik seagresif tahun lalu.

Kepala Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution memperkirakan rupiah akan menguat ke level fundamentalnya di kisaran Rp 14.500-15.000 pada tahun ini. Berbagai sentimen positif dari dalam dan luar negeri akan menjadi pendorong apresiasi rupiah ke depan.

Dari luar negeri, inflasi di negara maju yang terus melandai akan mendukung ekspektasi bahwa The Fed tidak akan lagi menaikkan suku bunga acuannya seagresif tahun lalu. Beberapa indikator utama, kata Damhuri, juga menunjukan ada peluang 'soft landing' atau kemungkinan hanya resesi ringan.

Dari dalam negeri, harga komoditas yang berpotensi masih tinggi bisa membantu neraca dagang melanjutkan surplus sehingga defisit transaksi berjalan bisa terjaga rendah. Di samping itu, prospek ekonomi Indonesia yang tetap bagus kedepannya juga akan membantu menopang rupiah.

Ia menjelaskan, penguatan rupiah akan berefk positif bagi perekonimian karena ttekanan inflasi yang berasal dari barang-barang impor menurun.

Lebih lanjut, inflasi yang terkendali akan mendorong bank sentral menahan diri untuk tidak menaikkan suku bunga. Suku bunga akomodatif, tidak naik, akan membantu menjaga pemulihan ekonomi.

"Beban pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri menjadi lebih ringan. Kemudian kepercayaan investor global terhadap perekonomian nasional semakin meningkat, dan masih banyak dampak positif lainnya," kata Damhuri, Rabu (25/1).

Sebaliknya, penguatan rupiah memang akan berefek negatif dari sisi ekspor karena harga barang ekspor Indonesia menjadi lebih mahal. Namun ia tidak melihat resiko itu akan membuat produk Indonesia menjadi tidak kompetitif di pasar global dan menyebabkan ekspor turun signifikan.

Senada, ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menyebut penguatan rupiah akan membantu menjaga inflasi karena barang impor menjadi lebih murah.

Selain itu, pembayaran bunga utang dalam denominasi dolar AS juga menjadi menurun. Sementra efeknya ke ekspor dinilai tdak signifikan karena Indonesia justru bisa dapat berkah dari pembukaan kembali aktivitas Cina.

Meski demikian, Riefky menilai kebutuhan pasar saat ini sebetulnya tidak cukup rupiah yang terus menguat, tetapi juga seharusnya lebih stabil. Pasalnya, pelaku usaha memerlukan rupiah yang stabil untuk mendukung perencanaan bisnisnya ke depan.

"Kalau rupiahnya volatile, sulit bagi industri dan produsen melakukan kalkulasi dan estimasi ke depan sehingga risikonya justru menjadi lebih tinggi," ujarnya.

Reporter: Abdul Azis Said