Prabowo Ingin Pisahkan Ditjen Pajak Dari Kemenkeu, Apa Akan Efektif?

Katadata/Hufaz Muhammad
Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto menyampaikan orasinya di hadapan para pendukungnya di kampanye akbar yang berlangsung di Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, pada Sabtu (10/2).
19/2/2024, 16.13 WIB

Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka akan segera memisahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dari Kementerian Keuangan. Ini merupakan salah satu program prioritas Prabowo jika resmi dilantik menjadi presiden mendatang.

Pemisahan DJP dan DJBC dari Kemenkeu akan dilakukan lewat pembentukan Badan Penerimaan Negara yang akan berada langsung di bawah presiden. Namun rencana ini akan dilakukan secara bertahap, dengan mempersiapkan aturan dan desain kelembagaanya terlebih dahulu. 

Menanggapi hal itu, Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut, kebijakan tersebut tidak efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Masih banyak hal yang perlu dibenahi lebih dulu dari sisi internal Ditjen Pajak dan DJBC.

Dengan adanya pembentukan badan penerimaan baru langsung di bawah presiden, menurut Nailul, justru akan memperkuat posisi oknum para pegawai pajak di dalamnya.

“Kekhawatiran saya berdasarkan pada kasus yang baru-baru ini terjadi, di mana internal mereka masih sangat keropos. Pembentukan badan tanpa dibenahi terlebih dahulu di internal-nya hanya akan memperkeruh badan tersebut,” ujar Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (19/2).

Di sisi lain, pemisahan DJP dan DJBC dari kementerian keuangan akan menurunkan wewenang dari Menteri Keuangan yang akan dipilih nanti. Sehingga, dikhawatirkan banyak tokoh-tokoh profesional yang tidak mau menaungi Kemenkeu.

"Khawatir juga akan diisi oleh para politikus yang nantinya menurunkan kepercayaan masyarakat dan investor. Ini tidak boleh terjadi,” ujarnya.

Butuh Waktu Lama dan Biaya yang Besar

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad justru menilai, pembentukan badan penerimaan tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang luar biasa besar.

“Pasti membutuhkan biaya yang luar biasa besar untuk infrastruktur, ditambah gaji pegawai dan lain-lain. Sementara problemnya bukan di situ. Ada persoalan dengan perluasan sektor-sektor ekonomi yang belum tersentuh oleh pajak, sehingga bukan karena tidak ada badannya,” ujar Tauhid.

Bahkan Tauhid memperkirakan rencana ini akan memakan waktu dua hingga tiga tahun ke depan. Sedangkan masa jabatan presiden dalam satu periode hanya lima tahun.

“Badan baru bisa efektif di tahun ketiga dan keempat, kalau targetnya ingin genjot program [penerimaan pajak]. Rugi di waktu dan di cost” ujar Tauhid.

Cara Lain untuk Tingkatkan Rasio Pajak

Di sisi lain, Prabowo - Gibran juga menargetkan rasio pajak atau tax ratio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 23%. Sementara hingga 2023, rasio pajak Indonesia hanya sekitar 10% terhadap PDB.

Tauhid menilai, untuk menggenjot rasio pajak tersebut, pemerintah harus fokus kepada kebijakan dan implementasi di lapangan terlebih dahulu. Bukan hanya soal kelembagaan saja, tetapi perbaikan aspek teknologi dan lainnya.

Sementara Nailul menyarankan, agar menggenjot penerimaan pajak di sektor pertambangan yang saat ini masih sangat minim kontribusinya. Padahal kontribusi sektor ini terhadap PDB cukup besar.

“Kejar pengusaha-pengusaha tambang pengemplang pajak plus ubah aturan perpajakan di bidang tambang,” ujarnya.

Tak hanya itu, dia juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan penerimaan wajib pajak orang pribadi, yang saat ini kontribusinya masih di bawah 1%. “Bisa diterapkan wealth tax untuk orang kaya, yang menurut saya bisa menaikkan kinerja perpajakan kita,” ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid