Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tetap tarik utang baru meski Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) mencatatkan surplus Rp 22,8 triliun, atau 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per 15 Maret 2024.
Nilai surplus tersebut diperoleh dari pendapatan negara yang lebih tinggi dari belanja negara. Tercatat pendapatan negara sebesar Rp 493,2 triliun atau setara dengan 17,6% dari target Rp 2.802,3 triliun pada 2024.
Capaian pendapatan negara itu terkontraksi 5,4% secara tahunan (yoy). Meski pendapatan turun, pemerintah masih mengantongi surplus dan memilih menarik utang baru demi menjaga kesimbangan fiskal.
Hingga 15 Maret 2024, pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp 72 triliun. Sri Mulyani menyebut, pembiayaan melalui utang tersebut turun tajam dibandingkan tahun sebelumnya.
Nilai utang Rp 72 triliun tersebut setara dengan 11,1% terhadap pembiayaan utang yang ditargetkan pemerintah mencapai Rp 648,1 triliun pada tahun 2024.
“Angka ini jika dibandingkan tahun lalu turun tajam, tahun lalu pembiayaan utang mencapai Rp 181,4 triliun atau sekitar 43,1% terhadap APBN 2023,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (25/3).
Secara rinci, pembiayaan utang terdiri dari surat berharga negara (neto) Rp 70,2 triliun atau turun 58,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 169,5 triliun. Lalu pinjaman (neto) Rp 1,9 triliun atau turun 84,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 11,9 triliun.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengatakan jumlah tersebut masih sesuai rencana atau on track. Bendahara negara tersebut juga menyebut alokasi pembiayaan utang dalam UU APBN 2024 mencapai Rp 648,1 triliun.
“Jadi realisasi relatif dalam posisi baik, kita akan terus menjaga untuk pelaksanaan pembiayaan ini berdasarkan kondisi pasar uang dan pasar obligasi yang sangat dipengaruhi ekonomi global,” ujar Sri Mulyani.
Kementerian Keuangan juga akan menjaga strategi pembiayaan utang agar tetap dilakukan secara fleksibel dan oportunistik dengan mempertimbangkan aspek waktu (timing), nilai pembiayaan (sizing), tenor, diversifikasi pembiayaan atau instrument mix, dan diversifikasi mata uang atau currency mix.
"Agar volatilitas global tidak berimbang kepada APBN dan pembiayaan, kita akan terus memperhatikan timing dan sizing. Kita juga perlu melakukan diversifikasi instrumen [pembiayaan] kita, agar APBN terjaga dari kondisi dinamika global dan nasional yang cukup tinggi," ujarnya.
Alasan Pembiayaan Utang RI Turun
Pembiayaan utang Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun belakangan. Sri Mulyani sempat menyampaikan, bahwa penurunan realisasi pembiayaan utang karena APBN mencatatkan surplus hingga Juni 2023.
Tercatat realisasi pembiayaan utang pemerintah mencapai Rp 166,5 triliun pada semester I 2023, atau lebih rendah dibandingkan realisasi Juni tahun sebelumnya sebesar Rp 196,9 triliun.
"Karena penerimaan negara sangat kuat dan kita tetap menjaga disiplin fiskal sampai dengan semester I 2023. Pembiayaan utang hanya terealisasi Rp 166,5 triliun, padahal total pembiayaan tahun ini seharusnya Rp 696,3 triliun," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (24/7/23).
Jika dibandingkan tahun sebelumnya, realisasi pembiayaan utang turun 15,4% pada semester I 2023. Tren penurunan itu terus dijaga di tengah kenaikan suku bunga dan volatilitas yang tinggi di pasar global.
Salah satu yang menjadi pertimbangan pemerintah adalah eksposur atau risiko pembiayaan. Pemerintah kemudian memilih opsi untuk menurunkan pembiayaan utang dan menjaga defisit APBN. Dengan strategi itu, rating kredit pemerintah tetap positif.
"Ini yang menyebabkan Indonesia terus mendapatkan asesmen positif dari rating kredit, termasuk dalam hal outlook dari Indonesia credit rating yang dianggap stabil dalam suasan global, yang semuanya cenderung negatif dan melemah," kata dia.