Rencana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menggabungkan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) dan Direktorat Jenderal Perpajakan (DJP) dinilai sebagai langkah yang tidak tepat.
Karena rencana penggabungan tersebut, akan membuat dua lembaga itu terpisah dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal ini akan mempersulit sistem birokrasi, pelayanan hingga efektivitas dalam meningkatkan penerimaan negara.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menganggap penggabungan dua institusi itu sebagai sesuatu yang tidak profesional. Pasalnya, kedua badan tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Menurut Ronny, tingkat profesional suatu lembaga akan semakin baik jika spesialisasinya jelas. Hal ini akan membuat birokrasinya menjadi lebih fleksibel untuk berbenah.
“Namun jika disatukan, Dirjen Pajak yang sudah banyak masalah, akan semakin banyak masalah, karena ditambah dengan masalah Bea Cukai. Jadi akan semakin sulit diurai masalahnya,” ujar Ronny kepada Katadata.co.id, Rabu (15/5).
Jika rencana penggabungan ini tetap dilanjutkan, maka intergrasi otoritas pajak dengan kepabeanan dan cukai tidak berjalan dengan baik. Untuk itu, dia menyarankan dua lembaga ini tetap terpisah.
Pengamat Perpajakan Fajry Akbar juga setuju bahwa integrasi keduanya tidak selamanya berjalan dengan baik. Karena Bea Cuka tidak hanya berfungsi sebagai pengumpul pendapatan negara, tetapi juga melindungi masyarakat dari masuknya barang terlarang seperti narkoba atau senjata api ilegal.
“Bea Cukai juga punya fungsi lain sebagai trade facilitator untuk menekan biaya tinggi dari perdagangan internasional, sehingga kita punya daya saing ekonomi,” ujar Fajry.
Selain itu, Bea Cukai memiliki peran sebagai industrial assistance dalam mendukung industri dalam negeri agar bisa bersaing di pasar internasional. Salah satu contohnya melalui kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), yang membebaskan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) bagi usaha berbasis ekspor.
Sementara itu, Ekonom Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut, kebijakan tersebut tidak efektif untuk meningkatkan penerimaan negara. Karena masih banyak hal yang perlu dibenahi lebih dulu dari sisi internal Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Selain itu, pemisahan DJP dan DJBC dari kementerian keuangan juga akan menurunkan wewenang dari Menteri Keuangan yang akan dipilih nanti. Sehingga, dikhawatirkan banyak tokoh-tokoh profesional yang tidak mau menaungi Kemenkeu.
"Khawatir juga akan diisi oleh para politikus yang nantinya menurunkan kepercayaan masyarakat dan investor. Ini tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Seperti diketahui, pemisahan DJP dan DJBC dari Kemenkeu akan dilakukan lewat pembentukan Badan Otoritas Penerimaan Negara yang akan berada langsung di bawah presiden. Rencana ini akan dilakukan secara bertahap dengan mempersiapkan aturan dan desain kelembagaanya terlebih dahulu.