Menteri Keuangan Sri Mulyani diperkirakan bakal sulit mencapai target penerimaan pajak sebesar Rp 1.988,9 triliun pada tahun ini. Sebab,  kinerja pajak tahun ini akan hadapi tantangan dari pelemahan harga komoditas hingga ketidakpastian ekonomi. 

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat peluang penerimaan pajak tahun ini bisa tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh sejumlah faktor yang menekan penerimaan pajak, khususnya setelah harga komoditas mulai melandai.

“Setelah harga komoditas melandai, kami melihat setoran penerimaan pajak juga ikut mengalami perlambatan,” ucap Yusuf kepada Katadata.co.id, Senin (15/7).

Selain itu, Yusuf juga menyoroti data pelemahan konsumsi rumah tangga. Sehingga, euforia konsumsi rumah tangga tidak sebesar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Meskipun begitu, Yusuf mengungkapkan beberapa data indikator menunjukkan konsumsi rumah tangga masih dapat tumbuh. Hanya saja, dia menilai indikator yang lain juga menyebutkan pertumbuhan tersebut relatif terbatas.

“Hal ini dipengaruhi kondisi ekonomi saat ini tidak begitu bergairah karena tidak ada sentimen untuk masyarakat melakukan aktivitas konsumsi. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dalam perekonomian Indonesia,” kata Yusuf.

Yusuf mengingatkan, jika konsumsi rumah tangga mengalami perlambatan maka target pertumbuhan ekonomi akan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Jika itu sudah terjadi, maka setoran pajak juga berpotensi akan meleset.

“Setoran pajak bisa meleset karena aktivitas perekonomian itu menentukan seberapa besar target penerimaan pajak akan tercapai,” ujar Yusuf.

Fokus ke Rasio Pajak

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai yang paling terpenting seharusnya rasio pajak bukan penerimaannya.

Bhima mengungkapkan, bahwa rasio pajak Indonesia pada 2012 sempat mencapai 14,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara saat ini, rasio pajak Indonesia masih terbilang relatif kecil.

"Tahun 2023 rasio pajaknya cuma 10,3% dari PDB. Artinya, sejak 2012 hingga 2023, rasio pajak Indonesia terus menurun," kata Bhima.

Menurut Bhima, klaim pemerintah tidak berdasar jika menyebut penerimaan pajak naik dari sisi nominal. Karena rasio pajak Indonesia masih kalah dengan negara-negara lain.

Apalagi, Indonesia akan bergabung dengan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Jika bergabung dengan OECD, Indonesia akan menjadi anggota dengan rasio pajak paling rendah.

"Jadi negara-negara OECD itu rata-rata rasio pajaknya di atas 30%. Begitu Indonesia bergabung di OECD, paling bontot rasio pajaknya," ujar Bhima.

Penerimaan Pajak Anjlok

Penerimaan pajak anjlok 7,9% secara tahunan (yoy) menjadi Rp 893,8 triliun di semester I 2024. Penurunan terutama dari pajak penghasilan (PPh) badan.

Sri Mulyani menjelaskan, penyebab penurunan PPh badan terutama dari perusahaan berbasis komoditas. Bisnis perusahaan tersebut mencatatkan penurunan signifikan dari sisi profitabilitas.

"Artinya, perusahaan masih profitable, tapi keuntungan tidak setinggi tahun sebelumnya, karena harga komoditas mengalami koreksi yang sangat dalam, kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR di Jakarta, Senin (8/7).

Di sisi lain, kenaikan restitusi atau pengembalian pembayaran kelebihan pajak juga berdampak terhadap penerimaan pajak pada paruh pertama 2024. Kenaikan restitusi terjadi pada PPh badan dan PPn dalam negeri.

Selain itu, penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai turun 0,09% menjadi Rp 1342,2 triliun pada semester I 2024. Nilai ini baru mencapai 41,8% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024

Reporter: Rahayu Subekti