Menakar Untung Rugi RI Gabung OECD Ketimbang BRICS yang Diincar Malaysia

X/@OECD
Ilustrasi, Kantor Pusat OECD.
29/7/2024, 14.22 WIB

Malaysia telah resmi mengajukan permohonan untuk bergabung dengan blok ekonomi BRICS yang diketuai oleh Rusia. BRICS merupakan blok ekonomi dunia yang terdiri atas Rusia, Brasil, India, Cina, dan Afrika Selatan.

Dikutip dari Bloomberg, Kementerian Luar Negeri Malaysia mengungkapan jika Menteri Luar Negeri Rusia, Segey Lavrov mendukung keinginan Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk bergabung dengan BRICS. Malaysia pertama kali menyatakan minatnya bergabung dengan BRICS pada Juni 2024 menjelang kunjungan Perdana Menteri Cina Li Qiang ke Malaysia.

Dalam pernyataannya pada Minggu (28/7), Anwar mengatakan Malaysia sudah mengajukan surat permohonan untuk bergabung dengan BRICS. Surat pernyataan juga sudah diberikan kepada Rusia.

"Potensi keanggotaan ini memberikan harapan besar bagi kedua negara dan menggarisbawahi komitmen kami untuk membina kolaborasi internasional yang kuat," kata Anwar

Keputusan RI Pilih OECD Sudah Tepat

Berbeda dengan Malaysia, Indonesia justru tengah melalui proses aksesi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Keputusan Indonesia untuk bergabung OECD akan memberi keuntungan maupun kerugian untuk ke depannya. 

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pada dasarnya langkah Indonesia sudah tepat untuk masuk ke OECD. "Jadi OECD lebih cocok untuk Indonesia dibanding BRICS," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (29/1).

Menurut Bhima, saat ini Indonesia belum memiliki urgensi bergabung ke BRICS karena beberapa alasan. Pertama, terkait hubungan dagang dan investasi Indonesia dengan Cina sudah sangat erat.

"Tanpa bergabung ke BRICS, Indonesia tetap akan dilirik sebagai mitra strategis ekonomi politik Cina. Yang dibutuhkan justru bagi Indonesia mempererat hubungan dagang dan investasi dengan negara maju," ujar Bhima.

Alasan kedua, sudah banyak perjanjian kerja sama dagang dan keuangan antara Indonesia dan Cina. Misalnya Asean-Cina Free Trade Agreement dan kerja sama Local Currency Settlement antara yuan dan rupiah.

Kemudian alasan ketiga, Indonesia sudah menjadi negara tertinggi penerima pinjaman belt and road initiative terutama pada era Presiden Joko Widodo. "Misalnya untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan berbagai proyek hilirisasi nikel," kata Bhima.

Lalu alasan keempat, terdapat hal negatif jika Indonesia bergabung dengan BRICS. Bhima menyebut, secara geopolitik bergabungnya Indonesia ke BRICS juga akan mempersulit posisi dalam keseimbangan pengaruh dengan negara barat. "Karena saat ini, politik Indonesia dalam posisi bebas aktif," ujar Bhima.

BRICS dan OECD untuk Tujuan Ekonomi

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyatakan langkah Malaysia ke anggota BRICS dan Indonesia menuju OECD memiliki tujuan yang sama untuk meningkatkan ekonomi negara.

"Sama ya untuk keduanya, tujuannya meningkatkan size ekonomi, baik Malaysia dan Indonesia, caranya saja yang berbeda," kata Eko di Jakarta, Senin (29/7).

Eko menilai hal tersebut akan tergantung kebutuhan negara masing-masing dalam memanfaatkan fasilitas di forum masing-masing. Eko mengakui OECD lebih mengikat karena memiliki standardisasi dan menantang untuk Indonesia.

Untuk itu, Eko menilai aksesi menuju OECD lebih tepat dalam konteks membangun institusi Indonesia lebih kuat. "Ini jadi lebih transparansi, anti korupsi, dan keberlanjutan. Narasi itu akan lebih kuat di OECD. Kalau di BRICS, Malaysia memang lebih ke kerja sama dagang. Mereka tidak saling lihat India, misalnya tidak lebih go green," ujar Eko.

RI Berpotensi Tidak Bisa Lagi Dapat Donasi

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyoroti ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dari sisi kerugian. Khususnya jika Indonesia masuk dalam anggota OECD.

"Kalau Indonesia masuk ke OECD otomatis beberapa fasilitas yang didapatkan sebagai negara berkembang yang diberikan dari negara-negara maju bisa jadi tidak akan diberikan lagi," kata Faisal.

Bahkan, Faisal menyebut Indonesia juga tidak akan mendapatkan donasi filantropi lagi jika masuk ke OECD. Termasuk fasilitas yang diberikan AS ke negara-negara berkembang yang juga dimanfaatkan Indonesia untuk ekspor tekstil dan non tekstil.

"Indonesia bergantung pada fasilitas itu dengan mendapatkan tarif yang lebih murah ke AS. Kalau kita masuk ke OECD, otomatis tidak dalam kondisi negara berkembang kemungkinan akan dicabut. Tentu saja akan ada dampaknya terhadap berbagai sektor yang selama ini," ujar Faisal.

Reporter: Rahayu Subekti