Deflasi dan Penurunan Kelas Menengah Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi RI

ANTARA FOTO/Reno Esnir/app.
Pedagang melayani pembeli sayuran di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (1/8/2024). BPS mencatat inflasi Indonesia pada Juli 2024 mencapai 2,13 persen secara tahunan (YoY) dan deflasi sebesar 0,18 persen pada Juli 2024 secara bulanan (MoM) dengan kelompok penyumbang deflasi terbesar, antara lain makanan, minuman serta tembakau.
5/9/2024, 08.20 WIB

Indonesia mengalami deflasi selama empat bulan beruntun hingga penurunan jumlah kelas menengah. Kondisi ini dikhawatirkan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi jika terus berlanjut.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, deflasi beruntun yang disebabkan karena penurunan daya beli, permintaan, konsumsi masyarakat yang akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi. “Karena ekonomi kita 56% dibentuk oleh konsumsi rumah tangga,” kata Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (4/9).

Jika konsumsi melambat, maka sudah pasti akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sehingga, pertumbuhan ekonomi juga bisa terancam melambat akibat menyusutnya konsumsi masyarakat.

Ia merinci, saat ini konsumsi rumah tangga Indonesia pada 2024 hanya 4,9% pada kuartal I dan II. Faisal mengatakan level tersebut berada di bawah kondisi konsumsi rumah tangga saat prapandemi juga masih sekitar 5%.

Bahkan, Faisal menyebut konsumsi rumah tangga saat ini di bawah tahun 2022 yang juga berada pada level 5%. “Memang sekarang lebih lambat konsumsi rumah tangganya dan itu disebabkan oleh penurunan daya beli yang terefleksikan dan diindikasikan dari deflasi selama empat bulan beruntun,” ujar Faisal.

Sementara itu, deflasi dapat dikatakan lebih buruk atau lebih baik dibandingkan inflasi, itu tergantung sebabnya. Hanya saja, deflasi dinilai buruk jika disebabkan adanya penurunan permintaan.

“Ini kan menjadi ciri khas deflasi, harga barang-barang justru cenderung turun, bukan karena kemampuan untuk mengendalikan harga barang atau peningkatan produksi. Ini lebih karena kemampuan membeli konsumen,” kata Faisal.

Menurut Faisal, deflasi yang baik ketika konsumsi masyarakat kuat, pendapatan masyarakat meningkat dan kemampuan belanja juga naik. Artinya, permintaan meningkat diikuti dengan ketersediaan barang yang cukup sehingga harga barang terkendali atau bisa mengalami penurunan.

Indikasi Pelemahan Daya Beli Masyarakat

Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai indikasi melemahnya daya beli semakin kuat di tengah deflasi yang beruntun dan indikator lainnya. Sebelumnya badan Pusat Statistik (BPS) mengklaim penyebab deflasi yang beruntun dikarenakan pasokan yang berlimpah.

Media menilai, biasanya penurunan harga yang disebabkan oleh pasokan yang berlebih tidak mencerminkan adanya masalah dari sisi permintaan. Sehingga kondisi ini terjadi, karenanya adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang sementara.

Beberapa indikator makroekonomi dapat digunakan untuk mengukur daya beli. Hal itu bisa terlihat dari peningkatan tingkat pengangguran dan stagnasi dalam pertumbuhan upah dapat menunjukkan bahwa konsumen merasa kurang optimis terhadap kondisi ekonomi.

“Kondisi itu membuat masyarakat mengurangi pengeluaran mereka. Saat ini, pertumbuhan upah di Indonesia sangat kecil,” kata Media.

Media mengungkapkan, penurunan dalam kredit konsumsi juga menjadi tanda masyarakat cenderung menahan belanja dan mengindikasikan penurunan daya beli. Meskipun faktor kelebihan pasokan menjadi penting, namun analisis pelemahan daya beli justru jauh lebih relevan.

“Banyak masyarakat akhirnya mencari jalan lain di luar keuangan formal seperti judi online. BPS juga bisa menggunakan indikator persentase masyarakat menggunakan pinjaman online ilegal untuk menunjukkan penurunan daya beli masyarakat,” ujar Media.

Penurunan Kelas Menengah Dibayangi Deflasi RI

BPS menyebut penurunan kelompok kelas menengah terjadi sejak pandemi Covid-19. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional atau Susenas Maret 2024, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. 

Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti memastikan penurunan kelas menengah bukan menjadi rentan miskin. “(Turunnya) menuju kelas menengah. Makanya tadi, calon kelas menengahnya naik,” kata Amalia di Gedung BPS, Jumat (30/8).

BPS melaporkan, jumlah kelompok menuju kelas menengah pada 2019 mencapai 128,85 juta orang dengan proporsi 48,20%. Angka tersebut melonjak pada 2024 menjadi 137,50 juta orang dengan proporsi 49,22%.

Dia mengakui penurunan kelas menengah terjadi sejak pandemi Covid-19. Karena sebelumnya, angka kelas menengah meningkat pada 2014 hingga 2019. Kemudian mencapai 43,34 juta orang pada 2024 dan naik menjadi 57,33 juta orang pada 2019.

Namun jumlahnya menurun menjadi 53,83 juta orang saat pandemi pada 2021 dan terus merosot setiap tahunnya hingga 2024. Hal ini turut memengaruhi jumlah kelas menengah secara keseluruhan di Indonesia.

BPS juga mencatat deflasi pada Mei 2024 mencapai 0,03% secara bulanan dan semakin dalam pada Juni menjadi 0,08%. Deflasi pun semakin parah pada Juli 2024 yang mencapai 0,18%.

Deflasi berlanjut pada Agustus 2024, namun kembali ke level 0,03% sama seperti bulan Mei. Secara umum, deflasi adalah penurunan laju inflasi dalam waktu tertentu. Pada kondisi ini, harga barang dan jasa secara bersamaan mengalami penurunan.

Reporter: Rahayu Subekti