Kenapa Peran Hashim di Lingkaran Prabowo Perlu Diawasi? Ini Kata Ekonom
Nama Hashim Djojohadikusumo belakangan sering muncul dalam lingkaran Presiden Prabowo Subianto. Adik kandung Prabowo ini kerap membocorkan sejumlah hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Sejumlah ekonom menyoroti peran Hashim di lingkaran Prabowo yang perlu diawasi meski dia tak berada dalam kabinet pemerintahan. Dia juga merupakan sosok berpengaruh sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra dan Ketua Dewan Penasehat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda menilai posisi Hashim sangat kuat di Kadin dan menjadi penghubung pemerintahan. “Hashim sendiri memang lebih banyak di luar kabinet, perannya untuk menyeimbangkan dunia usaha dengan pemerintah,” kata Huda kepada Katadata.co.id, Kamis (24/10).
Menurut Huda, Hashim berperan besar untuk menjaga sinkronisasi program pemerintah agar mendapat dukungan Kadin atau dunia usaha. Sehingga peran Hashim cukup krusial walau berada di luar pemerintahan.
Hal itu yang membedakan Hashim dengan posisi Luhut Binsar Pandjaitan saat era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Luhut ini menjalankan peran eksekutif menjadi Kepala Kantor Staf kepresidenan hingga menjadi menteri koordinator,” ujar Huda.
Sebelumnya, Luhut berperan mengarahkan kebijakan langsung dari dalam, sedangkan Hashim bisa menjadi perantara pemerintah dengan dunia usaha. Sehingga hal ini yang perlu diawasi oleh banyak pihak.
Adapun pengaruh besar Hashim untuk menjaga kepentingan Kadin, khususnya agar dunia usaha bisa masuk dengan bebas lewat Hashim. “Harus ada batasan kepentingan dunia usaha agar terhindar dari praktik oligarki ke depan,” kata Huda.
Hashim Hanya Bisa Berperan dalam Memberi Masukan
Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menilai, perlu ada batasan yang jelas meski Hashim dekat dengan Prabowo. Sebab, Hashim tidak memiliki peran langsung di dalam internal pemerintahan.
“Penting untuk diingat bahwa Hashim bukanlah aparat publik, sehingga secara hukum ia tidak memiliki kewenangan formal dalam pengambilan kebijakan atau pengelolaan anggaran negara,” ujar Media.
Sebagai individu yang tidak memegang jabatan resmi, keterlibatan Hashim dalam menentukan arah kebijakan, hanya sebatas memberi masukan atau opini pribadi. Sementara soal penerimaan pajak dan evaluasi kabinet adalah ranah pemerintahan.
Jika perannya melewati batasan dan mulai memengaruhi kebijakan pemerintah, maka akan ada risiko yang muncul. “Ada risiko terjadinya jual beli pengaruh. Fenomena ini jika terbukti, bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum,” kata Media.
Evaluasi Kabinet hingga Kejar Pengemplang Pajak
Hashim sempat mengungkapkan bahwa Prabowo akan mengevaluasi kinerja menteri setiap satu semester. Menurut Hashim, Prabowo berpeluang melakukan reshuffle setiap enam bulan.
Hashim mengaku mendapatkan pernyataan tersebut langsung dari kakaknya. Adapun kriteria menteri yang bakal diganti jika tidak melakukan tugas dengan efisien hingga terjerat kasus korupsi.
"Prabowo orangnya tegas, saya kira sudah banyak yang tahu soal itu. Saya terus terang semakin optimis dengan pemerintahan baru dengan pernyataan tersebut," kata Hashim di Menara Kadin, Rabu (23/10).
Di sisi lain, Hashim mengakui Kabinet Merah Putih yang tergolong gemuk dengan jumlah 48 Kementerian. Kabinet Merah Putih ini memiliki lebih dari 130 jabatan politik, mulai dari 48 menteri, 56 wakil menteri, dan lima kepala lembaga.
Tak hanya soal evaluasi kabinet Prabowo, Hashim juga membocorkan soal potensi negara mendapat pemasukan hingga Rp 300 triliun dari pengusaha sawit yang mengemplang pajak atau tidak membayar pajak.
Dalam waktu dekat, para pengusaha tersebut akan menyetorkan pajaknya. “Sudah dikasih laporan ke Pak Prabowo, yang bisa segera dibayar Rp 189 triliun dalam waktu singkat. Tapi, tahun ini atau tahun depan, bisa tambah Rp 120 triliun lagi. Sehingga Rp 300 triliun itu masuk ke kas negara," ujar Hashim dikutip Antara.
Hashim juga mengungkapkan bahwa para pengusaha yang melanggar pajak tersebut tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan tidak memiliki rekening di Indonesia. Setidaknya ada 25 pengusaha yang tidak memiliki NPWP dan 15 pengusaha yang tidak mempunyai rekening bank yang berada di Tanah Air.