Natuna: Heroisme Sporadis versus Pengurusan Efektif

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020). Dalam pengawasan di wilayah Kawasan Natuna dideteksi sebanyak 30 kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah kedaulatan NKRI dengan dikawal oleh 3 kapal Coast Guard milik Tiongkok.
Penulis: Sampe L. Purba
5/1/2020, 09.06 WIB

Perlukah Pendekatan Kekuatan Militer atas Klaim Kedaulatan di Natuna?

Kawasan Natuna sangat strategis baik dari aspek geopolitik dan geotrategis. Hal ini karena merupakan perlintasan sebagian terbesar energi dan komoditas antarnegara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan RRC ke arah Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika dan sebaliknya. Kawasan Natuna juga sangat kaya dengan biota laut dan tambang hidrokarbon.

Menentang negara-negara claimant dengan kekuatan militer bukanlah pilihan bijak. Provokasi (versi Indonesia) yang dilakukan oleh nelayan Vietnam, Thailand, atau  RRC adalah test case mengukur kewaspadaan dan stamina aparat Indonesia.

Pengerahan kekuatan militer Indonesia ke tapal batas, mungkin kelihatan gagah dan heroik. Namun hal tersebut  memiliki keterbatasan baik dari segi biaya, respons, dan kekuatan alutsista. Seperti jarak ke pangkalan skuadron, jangkauan radar, gugus tugas kapal laut, dukungan logistik maupun personil.

Itu sangat mahal, tidak efektif, atau mungkin bahkan tidak sepadan. Atau worsely, meningkatkan suhu eskalasi gelar pasukan antarnegara. Ingat, negara lain juga menganggap mereka memiliki kedaulatan atasnya. Juga memiliki kekuatan militer.

Peta Sengketa Perairan Laut Natuna. Cina mengklaim wilayah tersebut masuk Laut Cina Selatan. (Katadata | Istimewa)

Pendekatan lunak secara diplomasi dan hukum dapat saja dilakukan, namun hasilnya sangat tergantung kepada kelincahan dan kekuatan posisi tawar Indonesia. Pendekatan ekonomi dengan menawarkan pengembangan bersama (joint development area) seperti yang pernah Indonesia lakukan dengan Australia di lepas laut Timor Timur (ketika masih bagian dari Indonesia) memerlukan pertimbangan yang matang dan komprehensif.

(Baca: Sengketa Natuna dengan Tiongkok, Bakamla Tambah Pasukan Pengaman)

Pendekatan terbaik adalah dengan mengusahai dan tidak menelantarkannya. Indonesia memiliki beberapa wilayah kerja migas yang telah berproduksi di kawasan Natuna, seperti yang dikerjasamakan dengan ConocoPhilips, Premier, dan Lundin Petroleum. Wilayah kerja migas yang berproduksi tersebut ada di sisi dalam (inner waters) yang tidak terkena klaim tumpang tindih.

Wilayah kerja migas yang berada di tapal batas zona teritorial gugus kepulauan Natuna, sebagian telah ditanda tangani kontraknya, namun relatif belum ada aktivitas nyata di lapangan (mirip kasus di Sebatik). Menurut para ahli geologi, sebagian sumber hidrokarbon (kitchen) berdasarkan petroleum system berlampar di bawah laut antarnegara di perbatasan (baik dengan Vietnam dan Malaysia di bagian Barat maupun Timur). Dengan demikian, titik kordinat dan garis imajiner di atas peta laut pada dasarnya tidak selalu sama dengan sumber hidrokarbon di bawahnya.

Mengingat terpencilnya lokasi-lokasi itu dari daratan besar gugus Natuna Besar dan Kepulauan Anambas (sebagai pangkalan logistik), agar dimungkinkan secara ekonomis pengusahaan wilayah kerja migas di perbatasan memerlukan fiscal terms dan kemudahan khusus. Jangan sampai aktivitas migas di sisi seberang -Vietnam dan Malaysia- menjadi lebih ramai dibanding sisi Indonesia.

Pengalaman Indonesia menunjuk AGIP perusahaan Minyak asal Italia –kemudian beralih ke Exxon Mobil- di wilayah konsesi Natuna D-Alpha (perbatasan ke sisi laut Serawak Malaysia Timur) dapat menjadi pelajaran. Di lapangan itu telah ditemukan kandungan gas yang sangat besar sejak 1973.

Sekalipun diberikan dengan terms yang sangat menarik (bagi hasil 100 % untuk kontraktor) dan Indonesia hanya mendapat bagian pajak, faktanya setelah puluhan tahun tetap tidak dilanjutkan dengan eksploitasi komersial. Indonesia telah menarik wilayah kerja tersebut dari Exxon, dan menawarkannya ke komunitas bisnis internasional namun hingga saat ini belum ada kelanjutan operasinya.

Pemerintah perlu memberikan penugasan kepada Pertamina atau BUMN khusus untuk menjadi operator wilayah kerja migas di daerah perbatasan. Misi utama adalah memastikan kehadiran negara dalam mengelola wilayah perbatasan (effective economy and administrative occupancy). Agar pengelolaannya ekonomis dan tidak terlalu memberatkan keuangan perusahaan, maka terms khusus, kemudahan, dan insentif harus diberikan. Model kontrak kerja samanya harus spesifik.

Undang-Undang Pertambangan Migas terdahulu, yaitu Undang-Undang Nomor 44 tahun 1960 telah mengamanatkan itu. Dalam undang-undang itu jelas dan eksplisit dinyatakan, migas adalah alat pertahanan negara. Paradigma mengelola wilayah perbatasan negara adalah analog menugaskan satpam di sisi pagar luar rumah. Mereka harus digaji, bukan dibebani untuk mencari tambahan penghasilan bagi pemilik rumah.

Sudah saatnya, secara komprehensif integral dan holistik, pengelolaan migas dikembalikan kepada khitoh-nya, antara lain sebagai alat pertahanan negara – menjadi tonggak terdepan dalam menjaga kedaulatan teritorial Indonesia, yang dikelola secara sinergis terpadu dengan komponen kekuatan bangsa lainnya. Wilayah kerja migas di perbatasan harus dapat difungsikan sekaligus sebagai value chain logistik serta instrumen keamanan dan pengamanan wilayah.

Bagaimana dengan di zona ekonomi eksklusif? Sepanjang kita ikuti di pemberitaan media massa, nelayan-nelayan negara tetangga dengan dikawal oleh pasukan pengawal pantainya sering masuk dan mencari ikan di ZEE. Sesekali pihak Indonesia mengerahkan kapal Badan Keamanan Laut maupun Kapal Patroli Angkatan Laut untuk mengusirnya. Kapal-kapal nelayan asing itu pergi namun muncul lagi beberapa waktu kemudian.

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan nelayan Indonesia. Sudahkan wilayah ZEE itu dieksploitasi dan diramaikan dengan aktivitas penangkapan ikan? Apakah di sekitar itu sudah ada industri pengawetan perikanan, pemrosesan air tawar, penyediaan BBM atau posko keamanan? Apakah nelayan dan kapal kapal Indonesia sudah banyak dan berkelanjutan meramaikan kawasan tersebut?

Kalau belum, tidak heran kapal-kapal nelayan asing tergiur berburu di sana. Di laut lepas, tidak seperti di daratan ada benda benda fisik, kultur, atau bangunan sebagai penanda wilayah. Di laut hanya ada titik-titik imajiner yang disebut koordinat.

Pelajaran pahit yang Indonesia telan ketika kalah dari Malaysia dalam perebutan Sipadan – Ligitan, karena abai dalam mengusahakannya hendaknya tidak boleh terulang di Natuna. Pemerintah perlu membangun industri perikanan terpadu di sekitar kawasan itu. Kegiatan kebaharian dan kepelautan harus dikembangkan untuk menunjukkan penguasaan dan pengurusan efektif terhadap kawasan yang luas itu.

Memperhatikan hal hal tersebut di atas, paradigma pengelolaan wilayah perbatasan harus berubah. Pertimbangan ekonomi dalam mengelola wilayah perbatasan harus dinomorduakan. Nomor satu adalah untuk menjaga integritas wilayah.

Pendekatan pembangunan di kawasan perbatasan harus dengan perlakuan khusus. Juga penting memadukan pengembangan wilayah kerja pertambangan dengan pengelolaan pulau pulau terluar yang berada di bawah tugas fungsi Kementerian Kelautan maupun Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Rencana pengembangan tata ruang pembangunan daerah harus menyesuaikan dan selaras dengan narasi besar menjaga kedaulatan di tapal batas.

Pengelolaan kawasan perbatasan harus terpadu, konseptual, substantif dan komprehensif. Tidak cukup dengan membangkitkan sentimen sporadisme heroik. Pepatah bijak berkata “Jangan pernah telantarkan kebunmu yang subur dan ranum, atau orang lain akan datang mengurusinya”.

Apabila kita kurang siasat, itulah tanda pekerjaan hendak sesat (gurindam pasal 7)

Tanah Gurindam Kepulauan Riau, Januari 2020

Halaman:
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.