Natuna: Heroisme Sporadis versus Pengurusan Efektif

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (3/1/2020). Dalam pengawasan di wilayah Kawasan Natuna dideteksi sebanyak 30 kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah kedaulatan NKRI dengan dikawal oleh 3 kapal Coast Guard milik Tiongkok.
Penulis: Sampe L. Purba
5/1/2020, 09.06 WIB

Tapal batas luar Kepulauan Natuna merupakan wilayah kedaulatan teritorial Indonesia di sisi utara yang berhadapan dengan negara lain dan zona perairan internasional atau high sea laut lepas. Perbatasan laut diatur dalam konvensi Jenewa 1958 mengenai hak-hak negara berpantai (coastal state) dan negara tidak berpantai (land locked state) terhadap laut.

Laut dianggap barang bersama warisan kemanusiaan atau res communios humankind common heritage, sehingga penggunaannya harus adil.

Konvensi hukum laut internasional (UNCLOS - United Nations Convention for the Law of the Sea, 1982) diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, memperkenalkan status dan konstruksi hukum baru yaitu archipelagic states (negara kepulauan). Pada intinya mengakui perairan dalam antar-pulau merupakan satu kesatuan teritorial dengan daratan.

Pengakuan tersebut diberikan PBB dengan pengertian bahwa negara kepulauan harus menghormati hak-hak nelayan tradisional dan hak-hak yang sah lainnya dari negara tetangga. Pelaksanaan hak-hak ini memerlukan perundingan bilateral antarnegara terkait menyangkut sifat, luas, dan kawasan yang dimaksudkan. Hal ini disebut kedaulatan yang tidak bersifat mutlak (complete and exclusive).

Indonesia termasuk yang mendapat status sebagai archipelagic state bersama beberapa negara lainnya seperti Filipina, Fiji, dan Kepulauan Bahama. Termasuk di dalam konsesi tersebut adalah pemberian akses lintas damai kepada kapal niaga maupun armada militer asing untuk melintas di jalur laut pedalaman kepulauan secara damai. Untuk tujuan ini Indonesia telah menetapkan jalur alur laut kepulauan Indonesia.

(Baca: Mahfud MD: Pemerintah Siapkan Langkah Tegas Tangani Sengketa Natuna)

Batas laut Negara ke sisi luar sejauh 12 mil dari titik garis pangkal pulau terluar disebut zona teritorial. Selanjutnya ada zona tambahan hingga maksimal 24 mil yang dimaksudkan untuk mencegah dan mengejar pelanggaran bea cukai, fiskal, imigrasi dan perikanan. Sampai batas 200 mil laut dari titik pangkal pantai terluar merupakan zona ekonomi eklusif (ZEE).

Dalam ZEE pemerintah memiliki kedaulatan (sovereign right) atas segala kegiatan ekplorasi dan ekploitasi sumberdaya alam yang ada mulai dari sumber daya alam di atas laut hingga di bawah laut. Termasuk di dalamnya memiliki jurisdiksi untuk membangun pulau buatan bagi kepentingan riset ilmiah, dengan tetap memperhatikan kepentingan negara lain yang terkait. 

Di wilayah ZEE, negara-negara lain juga memiliki sejumlah hak, seperti hak lintas damai, navigasi, dan melewati lintasan udara di atasnya. Juga hak untuk menanam kabel bawah laut  dan instalasi pipa untuk kepentingan lalu lintasnya.

Pelaksanaan hak-hak teritorial dan zona ekonomi ekslusif Indonesia di kawasan gugus Kepulauan Natuna masih menyisakan sejumlah persoalan yang belum tuntas. Persoalan-persoalan tersebut yaitu sebagai berikut:

Peta Sengketa Perairan Laut Natuna. Cina mengklaim wilayah tersebut masuk Laut  Cina Selatan. (Katadata | Istimewa)

Pertama, di zona teritorial, belum seluruh titik koordinat dengan berbagai negara di sekitar zona Natuna telah disepakati, yaitu dengan Malaysia, Filipina dan Vietnam. Apabila di-overlay atau ditumpangtindihkan peta perbatasan di kepulauan Natuna, masing masing negara akan memiliki versi yang belum seragam. Bahkan ada wilayah kerja minyak dan gas (migas) yang ditetapkan Indonesia di tapal batas tersebut, juga merupakan peta wilayah kerja migas versi negara tetangga.

Kedua, istilah Zona Ekonomi Ekslusif pada dasarnya adalah hak yang diberikan kepada Negara Pantai (coastal state), yang tercantum pada Bagian V dokumen konvensi UNCLOS. Sedangkan hak kedaulatan teritorial eksklusif yang diakui kepada Negara Kepulauan (archipelagic state) adalah menyangkut perairan pedalaman (inner water) sebagaimana tercantum pada Bagian IV.

Apabila zona teritorial, zona tambahan, dana ZEE negara kepulauan bersinggungan dengan hak-hak dan kepentingan tradisional negara lain yang telah ada dan hak hak lain yang diperjanjikan sebelumnya maka hal tersebut harus tetap berjalan dan dihormati (Part IV article 47- 48). Republik Rakyat Cina (RRC), Malaysia, dan Vietnam adalah coastal states.

Ketiga, tidak semua negara menjadi penandatangan dan mengakui UNCLOS, atau mengakui penyelesaian sengketa di bawah arbitrase sesuai UNCLOS. Amerika Serikat contoh negara yang tidak meratifikasi konvensi hukum laut UNCLOS. RRC termasuk sebagai negara penandatangan, namun tidak mengakui putusan penyelesaian sengketa di bawah UNCLOS. Amerika dan RRC adalah dua negara pemegang hak veto di dewan keamanan PBB.

RRC menetapkan sepihak klaim batas zona kepentingannya di Laut Cina Selatan jauh ke selatan, yang dikenal dengan garis putus-putus sembilan (dot nine). Banyak negara terkena dan tumpang tindih dengan klaim sepihak RRC atas dasar klaim historis hak nelayan tradisional -istilah dan hak seperti ini juga diakui oleh UNCLOS.

Persoalan ini dibawa oleh Filipina ke Permanent Court of Arbitration (PCA) pada 2013. Putusan PCA tahun 2016 tidak mengakui hak klaim teritorial RRC atas dot nine. Putusan tersebut serta-merta ditolak, tidak diakui dan diabaikan oleh RRC.

Pelajaran Pahit dari Lepasnya Sipadan dan Ligitan

Indonesia mengalami pengalaman pahit bersengketa kedaulatan perbatasan laut yang berujung pada hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan pada 2003 kepada Malaysia dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Melalui voting, 16 dari 17 hakim memenangkan Malaysia atas dasar doktrin penguasaan efektif (principle of effectivite).

Mahkamah memutuskan berdasarkan fakta bahwa pemerintah Inggris (penguasa  Malaysia sebelumnya) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930. Juga mendirikan dan mengoperasikan mercu suar sejak 1960-an yang tidak diprotes oleh Indonesia.

Pengadilan mempertimbangkan bahwa Malaysia telah menunjukkan penguasaan yang efektif secara legislatif, administratif, dan kuasi judisial. Sedangkan klaim Indonesia yang antara lain menunjukkan adanya patroli Angkatan Laut maupun klaim historis dari perluasan kekuasaan Kesultanan Bulungan zaman kolonial, atau nelayan tradisional perorangan yang tidak dilindungi oleh regulasi resmi, tidak diterima oleh Mahkamah.

Pascakemerdekaan, Indonesia sesungguhnya telah mencoba mengusahai kawasan yang dipersengketakan tersebut. Kawasan Sipadan Ligitan adalah perluasan lepas pantai yang diukur dari pulau Sebatik, yakni pulau yang dibagi dua antara Indonesia dan Malaysia.

Indonesia telah menandatangani beberapa kontrak kerja sama migas dengan mitra investor asing. Namun hingga putusan arbitrase, tidak ada aktivitas nyata di wilayah kerja tersebut. Ditengarai salah satu penyebabnya adalah bahwa mitra  kontraktor migas asing bersikap wait and see, sementara pihak Indonesia tidak berhasil meyakinkan mereka untuk melakukan aktivitas nyata seperti seismik dan pemboran misalnya.

[Halaman selanjutnya: Perlukah pendekatan kekuatan militer atas klaim kedaulatan di Natuna?]

Halaman:
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.