Pandemi, Tamparan untuk Transisi Energi dan Kemandirian Energi

Katadata
Penulis: Diwangkara Bagus Nugraha
Editor: Redaksi
9/6/2020, 11.00 WIB

Pandemi corona yang bermula di Tiongkok pada awal Januari 2020 telah tereskalasi menjadi krisis kesehatan bahkan krisis ekonomi global. Energi menjadi salah satu sektor yang mengalami disrupsi besar, terutama energi fosil, seperti minyak bumi dan gas bumi (migas) serta batu bara. Bahkan harga minyak bumi WTI sempat menyentuh angka negatif pada akhir April 2020.

Indonesia, sebagai negara yang masih sangat tergantung pada energi fosil, mengalami dampak nyata pada industri tersebut. Pandemi diprediksi akan menurunkan ekspor batu bara dan mengganggu investasi migas nasional.

Pandemi Picu Krisis Energi Global

Di era globalisasi, negara-negara saling terhubung dalam rantai industri global sehingga disrupsi di suatu negara akibat pandemi dapat mengganggu perekonomian negara lain. Krisis kesehatan memaksa negara-negara menerapkan lock down maupun partial lock down untuk menghambat penyebaran virus. Hal ini menurunkan mobilitas masyarakat serta menghalangi masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi.

Di sektor energi, bisnis minyak dan gas bumi mendapat pukulan yang paling berat. Penurunan mobilitas menyebabkan penurunan konsumsi energi anjlok terutama konsumsi BBM untuk transportasi. Menurut data dari IEA Global Energy Review 2020, pembatasan lalu lintas kendaraan di darat maupun udara menyebabkan konsumsi minyak bumi global di kuartal pertama 2020 anjlok hingga 57% dibanding tahun lalu.

Penurunan konsumsi yang drastis, diperparah oleh kegagalan negosiasi penurunan produksi negara OPEC+, menyebabkan pasokan migas berlebih dan mengakibatkan harga minyak anjlok ke level terendahnya pada akhir April 2020.

(Baca: Pemerintah Beberkan Alasan Suntikan Dana Jumbo ke BUMN saat Pandemi)

Hal yang serupa terjadi pada komoditas batu bara. Krisis ekonomi membuat beberapa industri harus menurunkan produksi, bahkan hingga menghentikan produksi. Penurunan kinerja industri di Tiongkok menyebabkan penurunan konsumsi batu bara sebesar 36% di negeri tersebut pada bulan Februari. Sebagai konsumen batu bara terbesar dunia, baik untuk bahan bakar pembangkit listrik maupun pembakaran di industri, penurunan permintaan dan impor batu bara Tiongkok menyebabkan penurunan permintaan batu bara global dan berujung pada penurunan harga batu bara global.

Penurunan harga dan konsumsi energi menyebabkan pendapatan perusahaan energi tertekan. Penurunan pemasukan perusahaan mengakibatkan penurunan investasi maupun penyesuaian rencana pembangunan infrastruktur energi ke depan, terutama di sektor migas. Namun, hal yang menarik terungkap pada laporan IEA World Energy Investment 2020, meskipun terdampak penurunan pendapatan, namun penurunan investasi pada sektor pembangkit energi baru terbarukan hanya turun 10%, lebih rendah jika dibandingkan investasi pembangkit energi fosil yang turun hingga 15%.

(Baca: Meski Pandemi Corona, SKK Migas Mampu Percepat Tiga Proyek Migas)

Ilustrasi kapal tongkang batu bara. Pandemi corona menurunkan kinerja sektor energi. (ANTARA FOTO/WAHDI SETIAWAN)

Dominasi Energi Fosil dan BUMN pada Sektor Energi Indonesia

Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil. Bauran energi Indonesia masih didominasi oleh minyak bumi dan batu bara, masing-masing mencapai 33% dan 39% pada tahun 2018. Konsumsi minyak bumi yang lebih tinggi dari produksi nasional menyebabkan Indonesia menjadi negara importir minyak bumi.

Sementara, batu bara, selain menjadi sumber bahan bakar terbesar pembangkit di Indonesia, juga masih menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia dengan tujuan utama Tiongkok. Tragisnya, energi terbarukan masih menjadi anak tiri pengembangan sektor energi. Pada tahun 2019, porsi energi terbarukan hanya mencapai 8,8%, masih jauh dari target 23% pada tahun 2025 pada Rencana Umum Energi Nasional.

(Baca: Efisiensi Biaya, Pertamina Pangkas Investasi Hulu Menjadi Rp 62,7 T)

Di Indonesia, seperti yang sering terjadi di negara berkembang, BUMN masih menjadi pemain utama di industri energi domestik. Ketergantungan Indonesia pada komoditas energi fosil, baik pada sektor transportasi maupun kelistrikan, membuat pelaku industri energi domestik, terutama BUMN, rentan terhadap volatilitas pasar energi fosil global.

Pandemi telah membuat pendapatan Pertamina dan PLN merosot tajam. Hal ini tentu saja akan berdampak pada penurunan pemasukan negara dari BUMN-BUMN energi. Di sisi lain, BUMN juga membutuhkan tambahan modal dari negara untuk menjaga stabilitas keuangan dalam kondisi krisis. Namun, dalam kondisi tidak menentu seperti ini, ruang fiskal Indonesia akan menjadi lebih ketat dalam mengalokasikan pendanaan. Sehingga, ruang gerak pemulihan BUMN juga terbatas.

Halaman:
Diwangkara Bagus Nugraha
Peneliti Energi Purnomo Yusgiantoro Center, Alumnus University of Manchester

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.