Tekanan pada aspek fiskal dan moneter akibat meningkatnya harga minyak semakin menegaskan mengenai urgensi revisi Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001. Ditinjau dari aspek konstitusional maupun teknis bisnis, proses revisi UU Migas mendesak untuk dilakukan.
Dari aspek konstitusional, revisi UU Migas telah diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. No.002/PUU-I/2003, Putusan MK No.20/PUU.V/2007, dan Putusan MK No.36/PUU.X/2012. Revisi yang merupakan inisiatif DPR berdasarkan keputusan Panitia Hak Angket BBM 2008 ini menjadi salah satu proses revisi UU yang paling lama.
Dari aspek teknis dan bisnis, kinerja sektor migas yang cenderung turun usai diundangkannya aturan tersebut juga menjadi pendorong UU tersebut perlu direvisi. Dalam hal ini, UU Migas bukan merupakan faktor tunggal yang menyebabkan menurunnya kinerja sektor migas. Namun, karena merupakan payung hukum tertinggi dalam pengelolaan dan pengusahaan migas, permasalahan di dalamnya mendesak untuk segera diselesaikan.
Kondisi Hulu Migas Indonesia Pasca UU Migas
Cadangan dan produksi migas Indonesia pasca UU tersebut berlaku cenderung menurun. Rata-rata cadangan minyak Indonesia pada periode 1980-2000 tercatat sekitar 7,2 miliar barel. Sementara rata-rata cadangan minyak Indonesia periode 2001-2020 atau setelah terbitnya UU Migas No.22/2001 sekitar 3,8 miliar barel, turun sekitar 47 %.
Pasca-penerbitan UU Migas 2001, target lifting minyak dalam APBN juga sering tidak tercapai. Selama periode 2001-2021, hanya pada 2020 target lifting minyak terpenuhi. Target kala itu sebesar 705 ribu barel per hari, sementara realisasinya 707 ribu barel.
Volume lifting minyak setelah UU Migas 2001 juga terus menurun. Rata-rata lifting minyak Indonesia selama 1980-2000 sekitar 1,5 juta barel per hari. Sementara pada periode 2001-2020 sekitar 978 ribu barel.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penyelesaian revisi UU Migas menjadi keharusan untuk memperbaiki kinerja sektor migas. Revisi ini perlu untuk secara fundamental menyelesaikan problem regulasi di sektor hulu migas. Putusan MK No.36/PUU.X/2012 yang membatalkan seluruh ketentuan mengenai fungsi, tugas, dan kedudukan BP Migas menimbulkan lubang besar pada UU Migas dan oleh karenanya mendesak untuk direvisi.
Proses revisi UU Migas yang tidak kunjung selesai memberikan sejumlah konsekuensi terhadap kegiatan usaha hulu migas, di antaranya: (1) menimbulkan ketidakpastian hukum; (2) menimbulkan ketidakpastian fiskal; dan (3) menyebabkan proses birokrasi/izin menjadi rumit.
UU Migas tidak lagi mengatur mengenai sejumlah prinsip dasar yang diperlukan dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama kegiatan usaha hulu migas yang sebelumnya ada pada UU No.8/1971.
Prinsip dasar pelaksanaan Kontrak Kerja Sama yang ada pada UU No.8/1971 tidak lagi diatur dalam UU No.22/2001, di antaranya: (1) penerapan prinsip assume and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak Kerja Sama; (2) pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara (state finance); dan (3) penerapan prinsip single door bureaucracy/single institution model yang mengurus administrasi / birokrasi / perizinan Kontrak Kerja Sama.
Hilangnya sejumlah prinsip dasar pengusahaan hulu migas pada UU Migas No 22/2001 menyebabkan regulatory framework pengelolaan hulu migas tidak lagi sinkron dengan bentuk Kontrak Kerja Sama (Production Sharing Contract). Penerbitan berbagai aturan pelaksana di bawah undang-undang tidak dapat menyelesaikan persoalan regulasi hulu migas secara fundamental. Penyelesaian tidak dapat secara parsial, perlu UU Migas yang merupakan payung hukum tertinggi bagi penyelenggaraan pemerintahan di bidang migas.
Penyelesaian revisi UU Migas No.22/2001 perlu disegerakan untuk melindungi sanctity of contract dan menjamin kepastian hukum dalam kegiatan usaha hulu migas. Penataan kelembagaan perlu menjadi prioritas.
Revisi UU Migas dapat menjadi instrumen untuk mengakomodasi dan memberikan payung hukum terhadap sejumlah rencana strategis sektor migas. Revisi harus dapat mengintegrasikan perubahan paradigma bahwa migas tidak lagi dititikberatkan menjadi sumber devisa negara, tetapi lebih sebagai modal dasar pembangunan nasional.
Peningkatan harga minyak yang seringkali mengharuskan pemerintah menyiapkan formulasi kebijakan yang proporsional untuk meminimalkan dampaknya, menegaskan pentingnya meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Karena itu, revisi UU Migas untuk memberikan payung hukum yang kuat diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan yang ada.
Tersedianya payung hukum yang kuat diharapkan dapat menciptakan iklim investasi hulu migas lebih baik sehingga meningkatkan cadangan dan produksi minyak nasional. Jika kondisi tersebut dapat dicapai, pemerintah tidak lagi dalam kondisi yang hampir selalu panik ketika harga minyak meningkat. Justru Indonesia berpotensi diuntungkan karena akan mendapatkan windfall profits seperti pada masa kejayaan produksi minyak nasional.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.