Pendekar Diplomasi Energi di Pusaran Konflik Rusia - NATO

Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Penulis: Sampe L. Purba
1/6/2022, 07.15 WIB

Eropa –dengan pengecualian negara-negara Skandinavia dan Inggris- sangat tergantung kepada gas impor. Berdasarkan website European Commission, impor gas Uni Eropa sepanjang 2021 sebesar 3630 Twh (atau 351 miliar M3). Gas itu masuk via jalur pipa gas Rusia 41 %, Norwegia 23,5 %, LNG regasifikasi 20,5 %, pipa gas Algeria 10,5 %, Trans Adriatik Pipeline 2 %, dan dari Libya 1 %.

Gazprom, perusahaan gas vertikal terintegrasi Rusia, secara monopolistik menguasai mata rantai kegiatan eksplorasi dan produksi, pengolahan, transportasi, distribusi dan pemasaran hingga pembangkit listrik. Sejak 2006, pemerintah memberi Gazprom hak eksklusif untuk mengekspor gas ke luar negeri.

Rusia membeli gas dari Asia Tengah, dan menyalurkannya ke pasar Eropa, lintas negara. Dalam kontrak-kontrak gasnya, Gazprom bertanggung jawab untuk penyerahan volume sesuai waktu dan kualitas gas di masing-masing negara.

Posisi dominannya di pasar beberapa kali mendapatkan penentangan dari undang-undang anti trust dan anti monopoli Masyarakat Eropa. Namun karena Eropa memerlukan gas -dengan berbagai business model reengineering seperti joint venture dengan perusahaan di negara yang dilalui pipa transmisi, jual saham ke publik, spin off, membentuk subsidiary dan sejenisnya- Gazprom tidak tergoyahkan.

Gas dari Rusia disalurkan ke daratan Eropa melalui beberapa jalur utama (Kosowski, Kosowska 2016, Rystard Energy, 2022, Fesharaki 2022). Yang terbesar adalah pipa transmisi Brotherhood dan Soyuz. Jalur ini, selain membawa gas Rusia, mengangkut gas transit dari Asia Tengah. Memanjang melalui Ukraine, Slovakia, dan kemudian bercabang ke Hungary, Austria, Republik Chezh dan Jerman. Anak percabangan Soyuz menuju Rumania, Bulgaria, untuk kemudian bersatu dengan jalur Turkstream. Total kapasitas tahunan meliputi 146 miliar M3, atau hampir 52% dari seluruh kapasitas pipa gas yang masuk ke Eropa.

Sumber gas Rusia berasal dari cekungan Siberia Barat dan pegunungan Ural. Yamal pipeline melalui Belarus ke Polandia terus ke Jerman, dengan kapasitas tahunan 33 miliar M3. Nordstream line dari Rusia di perbatasan laut dengan Finlandia, melalui laut Baltik yang  langsung ke Jerman dengan kapasitas 55 miliar M3 .

Turk Stream dengan kapasitas 31,5 miliar M3 memotong Laut Hitam untuk selanjutnya masuk ke Turki bagian Eropa dan interkoneksi dengan jalur Soyuz. Jalur Blue lines dengan kapasitas 16 miliar M3 juga menghubungkan Rusia dengan Turki ke kota Ankara di bagian Asia.

Nordstream dua dengan kapasitas yang sama dengan Nordstream satu  telah selesai dibangun, namun tertunda penggunaannya (commissioning) karena tekanan NATO sehubungan dengan perang Rusia di Ukraina. Di sisi lain, Rusia menggunakan gas sebagai posisi tawar geopolitik energi.

Presiden Putin dalam beberapa kesempatan telah menyampaikan bahwa negara-negara yang membantu Ukraina akan menghadapi konsekuensi termasuk pengurangan atau penghentian alokasi gas. Putin juga meminta agar gas dibayar dengan menggunakan mata uang Rusia Rubel dan tidak lagi dengan Euro atau dolar Amerika Serikat sebagaimana tercantum dalam kontrak. Beberapa negara Eropa tidak punya pilihan lain, kecuali mengikuti, sambil mencari jalan lain untuk mengurangi ketergantungannya kepada Rusia. Eskalasi, durasi maupun penyelesaian perang ini belum dapat terprediksi.

Jalur Pipa Gas Rusia - Eropa (Sumber: Markosiddi, 2019)

Diperhadapkan dengan situasi demikian, sesungguhnya Iran dan Turki dapat memainkan posisi kunci.  

Data rata-rata cadangan, produksi dan klonsumsi minyak dan gas pada beberapa negara yakni sebagai berikut :

Cadangan TerbuktiProduksi rata-rata (2018-2020)Konsumsi rerata per tahun (2018 - 2020)
MinyakMiliar barel2020Gas Triliun M3 2020Minyak per hari(juta barel)Gas miliar per tahun (M3)Minyakper hari(juta barel)Gas miliar per tahun (M3)
Russia107,837,411,3036623,317437
CIS38.419,22,9791720,962127
Iran157,832,13,6972411,758225
Turki0,0250,0030,06320,96346
Algeria12,22,31,4438740425,8
Arab Saudi297,5611,7101123,599112
Qatar25,224,71,8571710,34035
Eropah13,63,23,51423514,174547
RRC268,43,84517813,935308
Amerika Serikat68,812,616,29489518,700834

Sumber : BP Statistical Review; International Energy Agency – Diolah

Cadangan minyak Iran sebesar 158 miliar barel, urutan keempat di dunia, sedangkan cadangan gasnya 32,1 triliun meter kubik, urutan kedua di dunia. Di sisi lain, produksi maupun ekspor minyak dan gas sangat tidak seimbang dengan cadangannya. Bandingkan dengan Rusia. Cadangan minyaknya hanya 67 % dibanding Iran, namun produksinya lebih dari tiga kali lipat. Cadangan gas Rusia hanya 15 % lebih tinggi di banding Iran, namun produksi gas Rusia 260 % dari produksi gas Iran.

Posisi strategis Iran yang  berbatasan dengan Laut Kaspia, Asia Tengah, ke Mediteranian dan Eropa via Turki, serta akses ke lautan Hindia di selatan, secara geostrategis lebih baik dibandingkan Rusia. Namun sanksi ekonomi termasuk embargo minyak yang sering dikenakan Barat atas tuduhan bahwa Iran mengembangkan nuklir yang bukan untuk tujuan damai, menggencet perekonomian negara tersebut.

Perjanjian Joint Comprehensive Plan of Action (JCPA) antara Iran dan lima anggota tetap PBB plus Jerman tahun 2015 (Nuclear Deal) menegaskan ketaatan Iran untuk mengikuti peta jalan yang harus diverifikasi di bawah organisasi Badan Tenaga Atom Internasional IAEA (International Atomic Energy Agency). Ketaatan ini merupakan persyaratan agar pembatasan atau embargo terhadap minyak Iran dicabut.

Beberapa kali tuduhan dilemparkan Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat, yang langsung diikuti dengan pembatasan ekspor. Tetapi sering juga Iran diizinkan memproduksi dan mengekspor lebih banyak, dalam kerangka OPEC plus, terutama untuk menghindari kenaikan harga minyak karena disrupsi pasokan seperti dalam kasus Perang Rusia sekarang.

Kesulitan Iran mengekspor minyak berawal sejak Revolusi Iran tahun 1980-an yang menggulingkan Dinasti Mohammad Reza Pahlavi. Sebagai pemilik sumber daya energi yang besar, Iran dikuatirkan akan dapat mengkapitalisasi pengaruhnya, termasuk mengekspor revolusi Islamnya hingga ke kerajaan-kerajaan di negara teluk.

Kepentingan (meeting of minds) negara-negara teluk yang kuatir dampak ekspor ideologi revolusi Iran bertemu dengan kepentingan Amerika Serikat dan sekutu Baratnya untuk mengendalikan minyak.       

Peran Strategis Geopolitik Turki

Cadangan minyak dan gas Turki sangat sedikit. Hampir semua konsumsi minyak dan gasnya berasal dari impor. Data tahun 2020 ini dapat memberi gambaran. Konsumsi gas Turki 45 – 50 miliar meter kubik per tahun. Sekitar 70 % berasal dari gas pipa, yang dipasok melalui dua jalur pipa gas dari Rusia (sekitar 33 %), dari jalur Azerbaijan 21 %, dan dari Iran 14 %. Sisanya, sekitar 32 % berupa LNG (gas alam cair) yang utamanya dipasok melalui kontrak jangka panjang dengan Amerika Serikat, Algeria, Nigeria dan Qatar.  

Dalam konteks lalu lintas gas, sesungguhnya Turki memiliki posisi geostrategis energi yang sangat penting. Turki merupakan koridor penghubung (hub) transmisi gas antara negara-negara kaya energi seperti Iran, Asia Tengah (Kaukasus), Suriah, Irak maupun dari Rusia menuju Eropa yang defisit minyak maupun gas.  Dengan memperkuat, menambah kapasitas, serta  memperpanjang jalur Trans Anatolian Pipeline hingga ke laut Kaspia, maka negara-negara Asia Tengah akan dapat langsung memasok gas ke Eropa, interkoneksi pada eksisting pipa transmisi atau membuka jalur baru.

Jalur Pipa Gas Iran - Turki - Eropa (Sumber: CEPconsult.com, 2019)

Apabila hal ini dapat diwujudkan, ketergantungan Eropa akan berkurang kepada Rusia. Gas dari Asia Tengah akan dapat masuk melalui koridor Selatan, serta Iran akan dapat memonetisasi gasnya lebih banyak. Perusahaan migas Turki BOTAS bisa memainkan peran seperti Gazprom, bekerja sama dengan Iran dan negara-negara Asia Tengah. Kolaborasi yang saling menguntungkan.

Dapat diduga, dua negara yang paling menentang skenario interkoneksi pipa ini adalah Rusia dan Amerika Serikat. Bagi kedua superpower ini, pikiran dan ide yang demikian harus dibunuh lebih awal. Apapun caranya.

Adagium hubungan internasional mengajarkan, tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan. National interest memberi ruang untuk fleksibilitas penciptaan ruang manuver, entah temporer atau permanen. Hipokrasi dan moralitas adalah dua sisi mata uang yang sama.

Penentangan Rusia terutama adalah bahwa negara-negara eks Uni Soviet yang langsung berhubungan dengan Eropa, dapat secara lambat laun menjadi mitra strategis Eropa dalam ekonomi, politik, maupun pertahanan. Ini akan menggoncang tatanan yang ada. Dengan Ukraina saja, Rusia telah pusing.

Adapun kekuatiran Amerika Serikat yang terutama adalah tidak berhasilnya lagi Amerika Serikat bersama dengan para sekutunya melakukan containment (penghempangan) kepada Iran, kompetitor dan pesaing negara-negara Arab kaya minyak di belahan Asia. Amerika Serikat harus mempertahankan posisinya sebagai aktor penjaga balance of power antar-negara-negara kaya minyak yang bersaing.

Kesempatan bagus bagi Turki dan Iran untuk menunjukkan kepeloporannya kepada dunia. Kedua negara itu adalah pewaris peradaban besar, dan pernah menjadi superpower pada zamannya. Turki di bawah kekhalifahan Ottoman pada abad 13 pernah berjaya selama 600 tahun. Demikian juga Iran –yang mewarisi kebudayaan Persia- adalah superpower pertama di dunia pada zaman Cyrus yang Agung, yang kekaisarannya membentang dari lembah Hindus hingga semenanjung Balkan.

Dunia akan lebih baik apabila ada keseimbangan multi polar. Teori ekonomi klasik menyatakan bahwa aktor pelaku bisnis yang hegemonis dan monopolistis hanya akan menyebabkan inefisiensi barang dan jasa, yang pada akhirnya digeser ke pengguna akhir. Hal yang sama juga berlaku di bidang politik, ekonomi maupun  militer.

Ongkos politik dan keamanan pada tatanan yang demikian adalah besar. Diam-diam, negara-negara yang tidak merupakan aktor utama (non major power) berharap hadirnya konstelasi keseimbangan baru.

Kita akan lihat, selincah dan sejauh mana kedua pendekar kita ini -Presiden Turki Tayyip Erdogan dan Presiden Republik Islam Iran Ebrahim Raisi dapat bekerja sama. Juga, menyingkarkan hambatan-hambatan politis dan psikologis di antara mereka dalam memainkan posisi tawar untuk mengukir gelanggang gravitasi yang baru.

Diplomasi energi dengan modal geopolitik dan warisan historis itu merupakan bekal penting.  Atau kalau perlu, mereka sekalian minta nasehat dari Xi Jin Ping – Pemimpin RRC, juga pewaris kejayaan masa lalu, yang telah mampu membangkitkan dan mentransmisikan gelombang efek gentar, bagi kawan dan lawan.

Bukan apa-apa, kali ini lawan tanding Pendekar Diplomasi Energi kita ini, tidak main-main, Putin dari Negeri Beruang Merah dan Opa Joe Biden dari Negeri Cowboy.         

Good luck Gentlemen

Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.