Pelajaran dari Geng North: Percepatan Proyek Migas di Era Transisi Energi
Faktor Non-teknis
SKK Migas dan perusahaan minyak wajib memastikan bahwa rencana kerja tahunan dapat dieksekusi tepat waktu, dengan tetap mengantisipasi berbagai persoalan teknis. Walau bila diperhatikan pekerjaan teknis sebagian merupakan pekerjaan yang berulang sehingga permasalahan teknis relatif dapat diatasi. Yang sering tak terduga sebenarnya persoalan non-teknis.
Faktor-faktor non-teknis mencakup perizinan dan birokrasi, regulasi, serta tantangan sosial dan hubungan dengan pemangku kepentingan.
Proses perizinan yang panjang dan birokrasi yang rumit sering kali menjadi hambatan besar. Misalnya, untuk memulai pengeboran di lokasi baru harus mendapatkan berbagai izin dari pemerintah daerah dan pusat, termasuk izin lingkungan, penggunaan lahan, dan operasional. Sementara keterlambatan dalam pengurusan izin dapat menyebabkan proyek tertunda yang pada gilirannya menghambat peningkatan lifting migas.
Demikian juga dengan regulasi yang sering berubah. Peraturan yang sering berubah, apalagi yang berdampak pada keuangan perusahaan sehingga mempengaruhi kalkulasi ekonomi proyek, ujungnya dapat menyebabkan perusahaan menunda investasi atau meninjau kembali rencana kerja mereka.
Menyimak strategi ketahanan energi Presiden Prabowo Subianto, rupanya akan menempatkan migas sebagai salah satu tulang punggung utama. Bisa diprediksi bahwa birokrasi dan aturan lain yang menghambat investasi menjadi prioritas untuk diselesaikan. Geliatnya sudah terasa dengan kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang menjaga kebijakan pendahulunya, Arifin Tasrif, dalam menjaga investasi migas semakin kondusif.
Berikutnya adalah tantangan sosial, termasuk persoalan sosial yang diakibatkan dinamika politik. Salah satu wujudnya bisa berupa penolakan masyarakat terhadap proyek migas.
Di beberapa daerah, proyek migas sering berhadap dengan protes masyarakat yang khawatir akan dampak lingkungan, atau merasa tidak mendapatkan manfaat ekonomi yang adil dari proyek tersebut. Persoalan sosial seperti ini bisa riil apa adanya, namun juga bisa karena salah persepsi, atau lahir dari persoalan politik. Apapun penyebabnya, persoalan sosial dapat menjadi masalah serius dan proyek berhenti.
Jika yang dijadikan alasan atau pemicunya adalah masalah lingkungan, sebenarnya hal yang tidak terlalu sulit. Karena pada umumnya, dengan pengawasan dari SKK Migas, perusahaan minyak menetapkan standar tinggi terkait penanganan lingkungan. Termasuk perlindungan habitat, pengelolaan limbah, dan mitigasi dampak lingkungan. Yang tidak mudah adalah jika terjadi mispersepsi, terlebih pemicunya adalah persoalan politik.
Yang terakhir adalah mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan, termasuk dengan pemerintah, masyarakat lokal, dan organisasi non-pemerintah (NGO).
Tidak dapat dipungkiri, operasional migas relatif tidak menemui hambatan tatkala perusahaan migas mampu menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal. Salah satunya melalui program pengembangan masyarakat dan corporate social responsibility (CSR). Hal ini tidak hanya meningkatkan citra perusahaan dan industri hulu migas, juga memastikan dukungan masyarakat dan mengelola risiko terhadap gangguan operasi proyek.
Mencegah pasti lebih baik dibandingkan mengatasi persoalan sosial yang sudah terjadi. Perusahaan minyak dan SKK Migas harus mengembangkan strategi yang komprehensif, termasuk menyiapkan strategi komunikasi yang efektif. Juga perlu memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dan bersinggungan dengan proyek hulu migas memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan dan manfaat proyek.
Untuk memastikan semua itu, penting untuk selalu bersikap transparan dan terbuka. Menjaga transparansi dalam konteks operasional proyek, berarti terbuka dan jujur menyampaikan langkah dan proses proyek yang tengah dijalankan. Disampaikan pula dampaknya terhadap lingkungan dan sosial, sertai menyiapkan respons dan solusinya. Transparansi dan keterbukaan adalah bagian penting untuk membangun kepercayaan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya.
Penutup: Berpacu dengan Waktu
Strategi 'speed up' atau percepatan proyek dalam industri hulu migas wajib terjadi. Menjadi krusial tatkala dihadapkan pada proses transisi energi global yang tengah berjalan.
Bila kita mengacu pada bauran energi Indonesia, nampak bahwa migas masih penting keberadaanya hingga 2050. Tetapi secara global peran migas diperkirakan akan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya pangsa pasar energi terbarukan.
Apalagi berbagai negara dan perusahaan di seluruh dunia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan investasi pada energi terbarukan, sehingga akan tiba saatnya energi terbarukan lebih dominan daripada migas. Ketika itu terjadi, harga minyak di pasar global cenderung akan turun karena berkurangnya permintaan. Apabila biaya lifting tetap seperti sekarang, maka biaya produksi akan mahal dan eksplorasi serta eksploitasi migas tidak ekonomis.
Karenanya, opsi satu-satunya yang Indonesia miliki adalah mempercepat pencarian cadangan dan segera dimonetisasi.
‘Speed up’ bukan hanya soal waktu, tetapi juga soal mengelola risiko ekonomi dan pasar. Perusahaan yang dapat mempercepat siklus penemuan dan produksi migas akan berada pada posisi yang lebih baik karena dapat memanfaatkan harga minyak saat ini yang relatif tinggi. Kecepatan juga berpelung menciptakan efisiensi, menekan biaya, meningkatkan profitabilitas, dan cadangan migas memberikan manfaat ekonomi maksimal.
Semua itu merupakan langkah strategis yang dapat diletakan dari bagian penting dalam upaya menjaga ketahanan energi nasional di tengah perubahan lanskap energi global.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.