Whoosh, MBG, dan Mesin Waktu

Katadata/ Bintan Insani
Penulis: Wijayanto Samirin
15/10/2025, 07.05 WIB

Dua tahun lalu, seluruh rakyat Indonesia menyaksikan momen bersejarah: peluncuran Whoosh, kereta cepat pertama di ASEAN. Dengan senyum lebar dan wajah sumringah, Presiden Jokowi didampingi para menteri menjajal perjalanan perdana dari Halim ke Tegalluar. Para penumpang bertepuk tangan ketika layar indikator menunjukkan angka 300 kilometer per jam. Indonesia melangkah ke era baru transportasi modern.

Namun hanya dua tahun berselang, nama Whoosh kembali mendominasi pemberitaan—bukan karena kebanggaan, melainkan kekhawatiran. Proyek yang dulu dielu-elukan sebagai simbol kemajuan kini disebut-sebut berada di ambang kebangkrutan.

Polemik pun muncul. Danantara, lembaga pengelola investasi negara, berupaya melempar beban utang proyek yang dijamin pemerintah kepada APBN. Menteri Keuangan pun menolak tegas langkah itu. “Rakyat tidak akan rela APBN digunakan untuk membayar utang kereta cepat,” ujarnya. Adu narasi ini menegaskan bahwa solusi finansial bagi Whoosh masih jauh dari pasti.

Bermasalah Sejak Awal

“Kerja, kerja, kerja” bukan hanya slogan semata, ia sangat mewarnai gaya pemerintah Jokowi menjalankan program. Sayangnya dalam banyak kejadian, semangat tersebut tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang. Proyek kereta cepat adalah contoh paling jelas dari paradigma yang menempatkan kecepatan eksekusi di atas kehati-hatian.

Padahal, perencanaan dan studi kelayakan merupakan syarat bagi sebuah proyek untuk sukses. Dalam kasus Whoosh, dokumen feasibility study yang semestinya menjadi dasar perencanaan justru diabaikan. Ironisnya, proposal Jepang—yang sudah disiapkan melalui riset bertahun-tahun—justru dikalahkan oleh proposal Cina yang disusun terburu-buru dan kemudian direvisi setelah disetujui.

Perbandingan keduanya cukup menarik. Jepang menawarkan proyek senilai US$6,2 miliar, dengan tenor pinjaman 40 tahun, berbunga 0,1%, serta dengan jaminan pemerintah. Cina menawarkan biaya US$5,5 miliar, juga dengan utang bertenor 40 tahun, berbunga pinjaman 2-3%, dan tanpa jaminan pemerintah karena menggunakan pendekatan business-to-business. Dalam praktiknya, nilai proyek Cina melejit menjadi US$7,3 miliar, bunga pinjaman tambahan pun naik menjadi 3,4%, dan pemerintah akhirnya wajib memberikan jaminan.

Dengan nilai investasi sebesar itu, diperkirakan Whoosh hanya dapat mencapai break even point bila harga tiket mencapai Rp1 juta per penumpang, dengan tingkat okupansi 70% sepanjang tahun—angka yang mustahil dicapai. Dengan harga dan okupansi aktual, Whoosh bahkan sulit mencapai titik impas operasional, apalagi pengembalian investasi, seberapa pun tenor utang diperpanjang.

Keputusan politik untuk menunjuk Cina terjadi setelah Presiden Jokowi berkunjung ke sana dan merasakan langsung kenyamanan kereta cepat Beijing–Tianjin. Ia terkesannya sekali. Namun, dari perspektif kebijakan publik, keputusan besar semacam itu semestinya lahir dari perhitungan matang, bukan dari kekaguman personal semata.

Deretan Panjang Proyek Berisiko

Whoosh bukan satu-satunya proyek besar yang kini menghadapi ketidakpastian. Sejumlah program strategis warisan pemerintahan sebelumnya berpotensi tidak mendatangkan manfaat tetapi justru membebani fiskal negara, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), Bandara Kertajati, hilirisasi nikel, berbagai proyek pembangkit listrik, hingga sejumlah kawasan ekonomi khusus.

Kini, kekhawatiran yang sama muncul terhadap proyek-proyek prioritas baru di era pemerintahan Prabowo. Dengan skala, nilai, dan kecepatan eksekusi yang bahkan melampaui era Jokowi, risiko pengulangan kesalahan yang sama terbuka lebar. Apalagi, gaya kepemimpinan yang top-down sering kali menekan ruang diskusi rasional di antara para pengambil keputusan.

Presiden, siapa pun dia, harus dikelilingi oleh orang-orang yang berani menyampaikan kebenaran, bukan sekadar menyenangkan hati. Dalam sistem demokrasi yang sehat, idealnya loyalitas tertinggi bukan kepada sosok pemimpin, tetapi kepada nilai-nilai dan kepentingan publik. Diperlukan keluasan hati sang pemimpin untuk mewujudkannya. 

Kecepatan pembangunan penting, tetapi keberlanjutan dan akuntabilitas jauh lebih penting. Negara tidak boleh kehilangan arah hanya karena tergoda ambisi sesaat. Semangat membangun harus diimbangi dengan disiplin fiskal, analisis kebijakan berbasis data, serta transparansi yang memungkinkan publik ikut mengawasi.

Refleksi Akhir

Setiap generasi pemimpin berharap meninggalkan warisan berharga bagi generasi setelahnya. Namun sejarah juga menunjukkan, banyak warisan besar yang justru menjadi beban bagi generasi berikutnya.

Banyak sosok hebat dan berniat baik kini memegang tanggung jawab besar di balik proyek-proyek seperti Danantara, Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), Tiga Juta Rumah, atau Sekolah Rakyat. Mereka perlu selalu mengingat: yang dikelola bukan sekadar proyek, melainkan kepercayaan publik dan uang rakyat.

Sangat mungkin suatu saat nanti para pengambil kebijakan menyadari keputusan yang mereka buat ternyata keliru. Bisa saja mereka berharap agar bisa kembali ke masa kini untuk memperbaikinya. Sayangnya, mesin waktu tidak pernah ada—ia hanya hadir dalam film fiksi semata. Karena itu, satu-satunya cara agar tidak menyesal di masa depan adalah berhati-hati hari ini: menahan ambisi, mendahulukan nalar, dan mendengarkan nurani.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Wijayanto Samirin
Ekonom Universitas Paramadina

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.