Setelah bertahun-tahun dihantam pandemi, lonjakan inflasi, dan ketegangan geopolitik, langit ekonomi global kini mulai berwarna lembayung — tidak lagi gelap, meski belum sepenuhnya terang. Di banyak negara, ekonomi tumbuh lebih stabil, pasar keuangan bernafas lega, dan sinyal pelonggaran kebijakan moneter mulai berembus dari utara hingga Selatan.
Langit Global yang Mulai Tenang
Cerita ini dimulai dari Amerika Serikat — pusat pusaran ekonomi dunia — yang kini tampak lebih tenang. Kejutan-kejutan khas Presiden Trump mulai mereda, bahkan dalam beberapa pekan terakhir, ia justru mendorong hubungan yang lebih hangat dengan berbagai mitra dagang, mulai dari Rusia, India, Jepang hingga khususnya Cina.
Inflasi AS yang kian menurun ke 3,0% YoY pada September 2025, setelah sempat menyentuh 9,1% pada Juni 2022, membuka ruang pelonggaran kebijakan moneter. The Fed menurunkan suku bunga acuannya dua kali berturut-turut sebesar 25 bps di September dan Oktober 2025 — hal yang terakhir kali terjadi pada 2019.
Namun, kekhawatiran terhadap pasar tenaga kerja meningkat. Tingkat pengangguran naik ke 4,3% pada Agustus 2025, tertinggi sejak Oktober 2021. Kondisi ini memicu ekspektasi bahwa The Fed bisa kembali menurunkan suku bunga di pertemuan Desember mendatang.
Harapan akan pelonggaran ini membawa makna besar: dunia mulai meninggalkan fase darurat menuju fase normalisasi. Yield obligasi pemerintah AS 10 tahun turun melewati batas psikologis 4%, ke sekitar 3,93% di akhir Oktober, sementara indeks saham utama — S&P500, Dow Jones, dan Nasdaq — berulang kali mencetak rekor tertinggi baru sejak pertengahan Oktober.
Tak hanya Amerika Serikat yang melonggarkan kebijakan. Di Kanada, setelah sempat menahan penurunan suku bunga di tengah tekanan perdagangan dengan AS, Bank of Canada (BoC) juga mengikut tren pemangkasan suku bunga secara dua kali berturut-turut sebesar 25 bps ke level 2,25% di akhir Oktober. Di Eropa, European Central Bank (ECB) menurunkan suku bunganya dari 3,15% pada Januari menjadi 2,15% pada Juni 2025, namun tetap bersikap hati-hati. Nada dovish semakin kuat, memberi sinyal ruang penurunan baru di awal 2026.
Beranjak ke Asia, lanskapnya pun tak kalah menarik. Setelah dua dekade kebijakan ultra-longgar, Bank of Japan (BoJ) mulai melonggarkan kontrol yield obligasi 10 tahun agar lebih fleksibel, namun tetap berhati-hati agar inflasi yang baru bangkit tidak kembali mereda. Di sisi lain, People’s Bank of Cina (PBoC) terus menurunkan suku bunga pinjaman jangka menengah untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5%, di tengah lemahnya sektor properti dan ekspor. Dunia kini tampak berusaha mencari keseimbangan baru antara stabilitas dan pertumbuhan.
Angin kebijakan moneter kini berembus lebih sejuk. Dari Washington ke Ottawa, dari Frankfurt ke Tokyo, nada-nada pelonggaran menggantikan dentuman pengetatan. Namun, arah dan kecepatannya masih bergantung pada “cuaca” global: potensi kenaikan inflasi, ketegangan geopolitik yang bisa berubah tiba-tiba, hingga cuitan Presiden Trump yang sewaktu-waktu dapat menghitamkan kembali langit ekonomi dunia.
Bagaimana Langit Ekonomi Indonesia?
Di antara pusaran global, Indonesia menjadi salah satu cerita menarik di Asia Tenggara. Meski angin global mulai tenang, ekonomi domestik tetap melangkah hati-hati.
Dari sisi konsumsi rumah tangga — yang menyumbang lebih dari 50% perekonomian — indikatornya menunjukkan sinyal kehati-hatian. Indeks kepercayaan konsumen (IKK) turun bertahap sepanjang 2025, dan pada September tercatat di 115,0 — level terendah sejak April 2022. Artinya, masyarakat masih optimistis (karena di atas 100), namun semakin waspada. Kenaikan proporsi pengeluaran konsumsi disertai penurunan tabungan di semua kelompok pendapatan menjadi tanda risiko utama bagi ketahanan permintaan.
Dari sisi produksi, Prompt Manufacturing Index (PMI) Bank Indonesia menunjukkan perlambatan aktivitas. Komponen volume produksi terus menurun sejak awal 2025 — menunjukkan pelaku usaha masih berhitung sebelum berekspansi. Meski fondasi ekonomi Indonesia kuat, optimisme belum sepenuhnya berubah menjadi keberanian.
Bank Indonesia (BI) pun berjalan di garis tengah antara stabilitas dan pertumbuhan. Sejak awal tahun, BI telah menurunkan suku bunga acuan empat kali sebesar 25 bps, sebagai langkah pro-growth. Namun, pada Oktober 2025 BI lebih memilih untuk menahan BI Rate di 4,75%, meski ekspektasi penurunan Fed Rate makin besar. Langkah ini menunjukkan sikap hati-hati untuk menjaga stabilitas rupiah, di tengah volatilitas global, sambil menyalurkan likuiditas ke sektor riil melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM) untuk sektor produktif.
Likuiditas perbankan pun tetap sehat. Rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) berada di 26%, jauh di atas ambang aman 20%. Kredit tumbuh 9,4% yoy per Agustus 2025, sementara Dana Pihak Ketiga naik 8,7%, menunjukkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan masih kuat.
Namun di sisi lain, arus modal global menghadirkan tantangan. Data Kementerian Investasi mencatat Foreign Direct Investment (FDI) Indonesia pada kuartal III 2025 turun 8,9% yoy, penurunan terdalam sejak awal pandemi 2020. Defisit transaksi berjalan melebar ke 0,8% PDB (sekitar US$3 miliar) pada kuartal II-2025, menandakan tekanan di neraca pembayaran. Arus dana asing di pasar obligasi juga berfluktuasi, mencerminkan kewaspadaan investor terhadap geopolitik dan arah kebijakan moneter global.
Namun cerita ini belum berakhir pada nada suram. Ada potensi lembayung di balik awan. Jika The Fed benar-benar menurunkan suku bunga hingga 3,5%-3,75% di 2025 dan 3%-3,25% di akhir 2026, sebagaimana diproyeksikan banyak analis, arus modal global berpotensi kembali deras mengalir ke negara berkembang. Biaya pinjaman global akan menurun, dolar melemah, dan tekanan terhadap rupiah berkurang.
Kebijakan fiskal Indonesia pun diarahkan untuk memperkuat momentum ini — melalui efisiensi belanja, percepatan proyek strategis nasional, dan mendorong likuiditas agar tetap mengalir ke sektor produktif.
Akan tetapi, tidak semua keindahan langit bebas dari badai. Jika ekonomi global pulih terlalu cepat, harga komoditas — terutama energi — bisa melonjak kembali, menekan inflasi dan membatasi ruang pelonggaran moneter. Karena itu, kehati-hatian tetap menjadi kunci.
Bank sentral di seluruh dunia kini seperti pelaut yang menavigasi laut tenang, tapi tetap waspada terhadap awan gelap di kejauhan. Indonesia tampaknya memahami ritme itu. Langkah-langkah kebijakannya kini menekankan konsistensi dibanding kejutan. Suku bunga boleh tetap, tetapi transmisi kebijakan diperkuat agar kredit mengalir lebih cepat ke Usaha,Menengah, Kecil, Mikro (UMKM), industri hijau, dan sektor manufaktur berorientasi ekspor.
Pemerintah juga memperkuat kemitraan investasi dengan Jepang, Korea, dan Timur Tengah, untuk menarik sumber modal jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada aliran portofolio jangka pendek yang volatil.
Menemukan Makna di Warna Lembayung
Dalam konteks yang lebih luas, ekonomi global kini sedang belajar menari dengan musik baru: pelonggaran yang hati-hati, inflasi yang dijaga agar tak kembali liar, dan pertumbuhan yang diupayakan tanpa menyalakan percikan krisis baru.
Setelah fase euforia stimulus dan pengetatan ekstrem, kini dunia mencari keseimbangan: menurunkan suku bunga tanpa kehilangan kredibilitas, menjaga pertumbuhan tanpa melepaskan kendali atas inflasi.
Dalam tarian baru ini yang menentukan bukan lagi tempo, melainkan konsistensi langkah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.