Nasib Suksesi Kepala Daerah di Tengah Pandemi

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Petugas KPU melakukan simulasi pengisian formulir hasil penghitungan suara di tingkat TPS di KPU Pusat , Jakarta, Selasa (7/1/2020). Simulasi tersebut dilakukan dalam rangka penerapan rekapitulasi elektronik pada pemilihan umum 2020.
2/4/2020, 01.23 WIB

Berpeluang juga orang kepercayaan itu terpilih menjadi Pjs Gubernur atau Wali Kota yang semakin menguntungkan petahana. Sebab sangat mungkin di antara mereka sudah berpangkat pejabat tinggi madya dan pratama.

“Yang terjadi biasanya para pejabat dinas di daerah lebih memilih setia kepada kepala derah petahana karena peluang terpilihnya besar. Dengan begitu jabatan mereka aman,” kata Arya kepada Katadata.co.id, Rabu (1/4).

Pendapat Arya tak berlebihan. Hasil penelitian Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada 2018 di Jawa Barat, Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Jambi, dan Kalimantan Timur menemukan tujuh penyebab ASN tidak imparsial. Dari seluruhnya, motif mendapatkan/mempertahankan jabatan mendapat nilai tertinggi sebesar 43,4%. Selengkapnya bisa dilihat dalam grafik di bawah ini:

Dalam penjelasan penelitian itu, KASN menyatakan motif mendapatkan/mempertahankan jabatan menjadi paling tinggi karena kepala daerah berperan juga sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Wewenang PPK adalah memutasi, mempromosikan dan mendemosi ASN. Akibatnya, ASN menjadi dilematis antara tetap menjaga netralitasnya atau mengikuti kepentingan politik kepala daerah.

Sejak Pilkada serentak dilakukan pada 2015 sampai 2018, KASN menerima 627 aduan pelanggaran di seluruh Indonesia. Jumlah aduan tertinggi adalah pada 2018 sebanyak 491. Paling sedikit pada 2015 sebanyak 29 aduan. Dari rentang tahun itu, aduan paling banyak datang dari Provinsi Sulawesi Selatan sejumlah 117, disusul Sulawesi Utara sejumlah 112 aduan, lalu Lampung dengan 31 aduan.

Pelanggaran ASN, kata Arya, akan membuat kualitas pemilu memburuk. Selurus dengan itu, kualitas kepala daerah yang dihasilkan pun akan buruk. Kondisi ini sangat merugikan publik yang terdampak langsung dari pelaksanaan birokrasi di daerah.

 

(Baca: Berlaku PSBB, Pemerintah Tak Tanggung Kebutuhan Dasar Masyarakat)

Kerja Kepala Daerah Terpilih Tak Maksimal

Menurut Arya, implikasi lain penundaan Pilkada 2020 adalah kepalah daerah terpilih nantinya tak akan bisa bekerja secara maksimal. Asumsinya, dengan melihat tren virus Corona saat ini yang belum mengalami penurunan di Indonesia maka paling ideal penundaan dilakukan setahun. Termasuk memperhitungkan upaya pemerintah dalam memulihkan kembali kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pasca pandemi Corona. Sebab pemilu mustahil berjalan lancar bila semuanya belum pulih.

Penundaan setahun akan membuat kepala daerah terpilih mulai menjabat secepatnya akhir 2021 dan selambatnya awal 2022. Sedangkan, Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Pilkada menyatakan kepala daerah terpilih hasil Pilkada 2020 mempunyai masa jabatan sampai 2024. Sebab pada 2024 akan berlangsung Pilkada serentak nasional berbarengan dengan Pilpres dan Pileg.

Artinya, kepala daerah terpilih nanti hanya akan menjabat selama lebih kurang dua tahun. Menurut Arya, ini membuat kerja mereka tak maksimal karena Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dipersiapkan untuk waktu 5 tahun.

“Setahun awal mereka (kepala daerah) biasanya fokus penyesuaian kebijakan baru dan anggaran. Setahun sisanya mereka sudah harus memulai persiapan tahapan pemilu. Programnya akhirnya tidak terlaksana,” kata Arya.

Kondisi tersebut mengancam penurunan kualitas pelaksanaan birokrasi di daerah-daerah tersebut. Efek lanjutannya adalah penurunan indeks reformasi birokrasi.

Mengacu hasil evaluasi Kemenpan-RB pada 2018, indeks reformasi birokrasi di daerah  belum mencapai 70 poin di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Di tingkat provinsi hanya mengalami kenaikan o,98 poin dari 61,75 poin pada 2017 menjadi 62,73 poin. Di tingkat kabupaten/kota menurun dari 57,72 poin menjadi 53,54 poin.

Guna mengantisipasi hal itu, Arya menyarankan aturan Pilkada serentak nasional pada 2024 diubah. Dengan begitu masa jabatan kepala daerah akan sampai 5 tahun seperti semestinya dan kerja-kerja pembangunan daerah bisa terpenuhi.      

(Baca: Jalan Cepat Ampuh Melandaikan Kurva Pandemi Corona)

Partai Setuju Pilkada Ditunda

Dari sisi partai politik yang menjadi peserta resmi dan berkepentingan, penundaan Pilkada 2020 tak menuai penolakan, seperti dari Nasdem, Golkar dan PKB.

Nasdem menjadi yang paling banyak menang di Pilkada 2018 dengan 10 provinsi. Golkar memenangi 9 provinsi. Sementara PKB menang di 6 provinsi. Saat itu ada 15 Provinsi yang menyelenggarakan Pilkada.  

Ketua DPP Golkar, TB Ace Hasan Syadzily menyatakan partainya memandang penundaan Pilkada sangat penting demi menjaga warga tidak tertular virus Corona. Partainya pun telah menginstruksikan seluruh kader di daerah, khususnya para anggota legislatif, untuk turut serta menyukseskan program Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pemerintah.

“Kami instruksikan mereka mengawasi penggunaan dana penanganan Corona di daerah dan meminta kepala daerah menganggarkan semaksimal mungkin,” kata Ace kepada Katadata.co.id, Rabu (1/4).

Wakil Ketua Umum Nasdem, Ahmad M Ali menyatakan saat ini partainya tak lagi fokus pada kepentingan politik elektoral termasuk Pilkada 2020, tapi bantuan kemanusiaan untuk pengentasan Corona. Sehingga, ditunda berapa lama pun tahapan Pilkada 2020 Nasdem tak masalah. “Partai gila kalau masih bicara konsolidasi."  

Sementara Ketua DPP PKB Yaqut Cholil Qoumas menegaskan “bagi PKB kemanusiaan jauh lebih penting dibanding politik.”

Ketiga pengurus teras partai itu, pun tak khawatir akan mengalami penurunan suara dari yang telah ditargetkan. Mereka telah mempersiapkan strategi guna menyongsong segala kemungkinan buruk. Salah satunya menimbang ulang rekomendasi yang sebelumnya telah dikeluarkan berdasarkan kondisi politik terbaru usai masa penundaan Pilkada 2020.

Menanggapi sikap tiga partai ini, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas menganggap wajar. Sebab dalam Pilkada figur lebih menentukan ketimbang partai politik. “yang paling tertekan adalah tokoh-tokoh publik yang berkeinginan maju di Pilkada 2020 nanti,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (1/4).

Seandainya ada partai yang terdampak, menurut Sirojudin adalah PDIP. Partai ini memiliki kaitan langsung dengan Presiden Jokowi yang tengah disorot publik dalam menangani virus Corona. Bila salah langkah dan membuat publik tak puas, besar kemungkinan memengaruhi persepsi PDIP secara nasional.

Walhasil kandidat yang diusung PDIP di Pilkada 2020, terutama yang murni kader mereka, akan mendapat sentimen negatif dari publik.

Namun, menurut Sirojudin, survei lembaganya yang belum dipublikasikan terkait persepsi publik terhadap langkah Jokowi dalam mengatasi Corona sejauh ini menunjukkan sentimen positif. “Publik masih confident dengan langkah Pak Jokowi. PDIP masih bisa bernapas lega."

Halaman: