Obral Diskon Pajak dalam Omnibus Law dan Risiko Utang Negara

123RF.com/Andrii Yalanskyi
Ilustrasi. Penurunan tarif PPh pajak pada tahun 2021 berpotensi menghilangkan penerimaan negara mencapai Rp 53 triliun.
Penulis: Agustiyanti
17/2/2020, 07.55 WIB

Indonesia dalam lima tahun ke depan membutuhkan investasi mencapai Rp 35 ribu triliun demi mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Berbagai insentif, terutama di bidang perpajakan disiapkan untuk mengejar target tersebut.

Teranyar, pemerintah telah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakkan dan Penguatan Perekonomian atau yang dikenal dengan omnibus law perpajakan. Aturan tersebut menganulir sejumlah pasal dalam tujuh undang-undang perpajakan.

Saat ini, draf aturan itu sudah ditangan DPR untuk kemudian dibahas dengan pemerintah sebelum disahkan sebagai undang-undang.

Dalam RUU tersebut, tarif pajak penghasilan atau PPh wajib pajak badan dalam negeri akan dipangkas secara bertahap dari saat ini sebesar 25% menjadi 22% pada tahun pajak 2021 dan 2022. Kemudian diturunkan lagi menjadi 20% pada tahun pajak 2023.

Adapun untuk wajib pajak yang menjadi perusahaan terbuka dengan kepemilikan saham publik mencapai 40% akan memperoleh tarif lebih rendah 3%.

(Baca: Omnibus Law Perpajakan Akan Dibahas di DPR, Ini 6 Poin Utamanya)

Wajib pajak juga dapat memperoleh pengecualian tarif PPh atas dividen yang diperoleh dari dalam negeri jika kembali diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu. Kalonggaran tarif PPh juga diberikan atas dividen yang diperoleh dari kegiatan usaha di luar negeri. Adapun tarif PPh dividen saat ini berkisar antara 10% hingga 20%.

Berbagai fasilitas pajak seperti tax holiday, tax allowance, super deduction tax, fasilitas PPh untuk kawasan ekonomi khusus, PPh untuk surat berharga negara, dan keringanan atau pembebasan pajak daerah oleh kepala daerah juga  diatur dalam RUU tersebut.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut RUU omnibus law merupakan insentif yang diberikan pemerintah terhadap pengusaha. Dengan harapan, para pengusaha dapat mengembangkan bisnisnya sehingga membantu peningkatan ekonomi Indonesia melalui penciptaan nilai tambah yang kompetitif.

“Ini semua juga sinyal kepada pengusaha jangan terlalu banyak pikiran untuk lobi dengan membayar birokrat untuk simplify pajak. Jadi gunakan semua pikiran dan hati untuk menciptakan nilai tambah yang kompetitif,” ujar Sri Mulyani di depan para pengusaha di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Para pengusaha juga diharapkan dapat meningkatkan investasi di dalam negeri. Dengan demikian, perekonomian diyakini dapat tumbuh lebih kencang.

(Baca: Sri Mulyani Minta Bantuan Pengusaha Desak DPR Setujui Omnibus Law)

Berdasarkan perhitungan Badan Kebijakan Fiskal dalam naskah akademik RUU omnibus law, pemangkasan tarif PPh badan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1% pada 2030. Namun untuk jangka pendek, dampaknya dapat bersifat negatif yakni minus 0,09% pada 2021.

Adapun pada akhir tahun periode pemerintahan Jokowi atau 2024, tambahan pertumbuhan ekonomi atas penurunan PPh badan baru mencapai 0,49%. Padahal, pada tahun tersebut, pemerintah dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2% hingga 6,5% seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Sementara itu, potensi penerimaan negara yang hilang dari penurunan tarif PPh menjadi 22% diperkirakan mencapai Rp 53 triliun dan Rp 50,13 triliun pada 2021 dan 2022. Sedangkan pada 2023 hingga 2030, potensi penerimaan negara yang hilang mencapai Rp 99 triliun hingga Rp 150,2 triliun.

Risiko Penerimaan dan Utang

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai ada salah kaprah dalam tujuan pembentukan omnibus law, termasuk terkait perpajakan. Pemerintah seolah berupaya memperbaiki kinerja investasi yang buruk melalui deregulasi dan berbagai diskon pajak.

"Banyak sekali yang akan dinikmati oleh korporasi demi untuk menggenjot investasi. Padahal selama ini kinerja investasi tidak jelek-jelek amat," ujar Faisal dalam situs pribadinya, dikutip Jumat (14/2).

Penurunan tarif PPh badan sudah lama diwacanakan Presiden Joko Widodo. Jokowi sering kali membandingkan tarif pajak Indonesia dengan Singapura maupun negara ASEAN lainnya dan menilai perbedaan tarif menjadi hambatan investasi.

Padahal, menurut Faisal, membandingkan daya tarik Indonesia dengan Singapura hanya menggunakan indikator tarif pajak tidak tepat. Tak ada satu pun kajian yang sangat meyakinkan tentang dampak penurunan tarif pajak terhadap peningkatan investasi asing langsung.

Ia menyebut Tiongkok yang memiliki tarif PPh badan sebesar 25% dan India sebesar 25,17% terus diburu oleh investor asing. Padahal, tarif PPh mereka juga jauh berada di atas Singapura sebesar 17% atau sama dengan Indonesia saat ini.

Guyuran diskon pajak yang diberikan pemerintah pun menimbulkan kekhawtiran terhadap risiko penerimaan pajak. Apalagi, data penerimaan pajak pada tahun lalu tak menggembirakan. 

Rasio Pajak Terendah dalam Setengah Abad, bersambung ke halaman berikut. 

Halaman: