Kontribusi tekstil dan produk kulit terhadap total industri pengolahan nonmigas, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal II-2019, masing-masing sebesar 7,5% dan 1,52%. Porsinya memang kecil tapi kalau digabung dengan sektor lain, seperti elektronik dan otomotif, tentu dapat mempersempit defisit transaksi berjalan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tapi pemerintah sepertinya kesulitan memanfaatkannya. Vietnam, menurut Bhima, sudah lebih dulu mengungguli kedua produk tersebut. Selain memiliki kerja sama bilateral dengan AS, negara itu punya daya tarik kuat untuk investor. Salah satunya, upah buruh dan pajak yang lebih murah ketimbang Indonesia.
2020, Ekonomi Dunia akan Resesi?
Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul ["Dampak Perang Dagang, OECD Proyeksikan Ekonomi Global Hanya Tumbuh 3,2%"] , https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/22/dampak-perang-dagang-oecd-proyeksikan-ekonomi-global-hanya-tumbuh-32
Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul ["Dampak Perang Dagang, OECD Proyeksikan Ekonomi Global Hanya Tumbuh 3,2%"] , https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/22/dampak-perang-dagang-oecd-proyeksikan-ekonomi-global-hanya-tumbuh-32
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini akan lebih rendah dibandingkan 2018, dari 3,5% menjadi 3,2%. Pertumbuhan perdagangan global berada di angka 2% atau terendah sejak krisis finansial 2008 karena imbas perang dagang. Grafik Databoks berikut ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi 2018 dan prediksi dua tahun berikutnya.
Prediksi Bhima, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 berada pada kisaran 4,9% sampai 5,1%. Angkanya jauh lebih pesimistis ketimbang target pemerintah di 5,3%-5,6%.
Pada saat rapat paripurna dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perkirakan batas bawah 5,3% menunjukkan risiko global yang meningkat. Sedangkan, perkiraan proyeksi batas atasnya merupakan potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa terwujud.
Perkiraannya, pertumbuhan itu dilandasi dengan terjaganya konsumsi, investasi, dan ekspor. “Pemerintah berpendapat perlu sikap kehati-hatian, namun penting menjaga optimisme yang terukur,” katanya beberapa waktu lalu.
Sementara, hasil riset Goldman Sachs menyebut, eskalasi perang dagang AS dan Tiongkok dapat memicu resesi global. Perusahaan investasi itu pesimistis kesepakatan akan terjadi antar kedua belah pihak. “Kami perkirakan tarif tambahan US$ 300 miliar impor AS dari Tiongkok akan berlaku,” tulis Goldman Sachs dalam catatan yang dikirim kepada klien mereka, seperti dikutip dari Reuters.
(Baca: Menko Darmin Akui Ekonomi Indonesia Kalah Efisien Dibandingkan Vietnam)
Soal resesi ini, Bhima pun berpendapat sangat mungkin terjadi. Indonesia akan terkena dampaknya dari dua jalur. Yang paling cepat adalah pasar keuangan. Semakin terintegrasinya pasar saham dan surat utang negara ini dengan pasar global, maka resesi jauh lebih cepat menjalar dibandingkan 21 tahun lalu, saat krisis moneter 1998.
Hal ini pun didukung dengan banyaknya asing yang memiliki surat utang pemerintah (SUN), lebih dari 46%. Sedikit saja investor panik, maka akan penjualan besar-besaran akan terjadi dan dana itu pun segera keluar dari Indonesia. “Kalau ini terjadi, nilai tukar rupiah jatuh dan indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok,” katanya.
Nah, jalur yang kedua, cenderung lebih lambat, adalah dari sektor perdagangan. Indonesia mungkin tidak akan langsung mengalami penurunan ekspor, seperti Singapura dan Vietnam. Angka ekspor terhadap PDB-nya hanya 17,6%. Sementara, untuk kedua negara tetangga itu masih-masing mencapai 176,4% dan 95,4%.
(Baca: Tiongkok Setop Beli Produk Pertanian AS, Peluang Pasar Sawit RI)
Soal banyaknya kepemilikan asing di SUN pun pemerintah mengaku mulai khawatir. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai hal ini dapat meningkatkan risiko bagi perekonomian Indonesia. "Sekali goyang (perekonomian), mereka langsung keluar. Ekonomi kita terbanting," ujar Darmin di Jakarta, Jumat lalu.
Untuk mengurangi ketergantungan itu, menurut Darmin, bukan pekerjaan jangka pendek, tetapi harus sedikit demi sedikit. Salah satu caranya dengan mendorong inklusi keuangan. "Tapi tentu tidak bisa kalau hanya sekadar membuka tabungan, tetapi juga produk keuangan lainnya," katanya.