Terpantik Panama

Panama Papers menjadi salah satu topik utama pembahasan dalam World Bank Spring Meeting. Dalam pertemuan di Washington DC, Amerika pada pertengahan bulan lalu itu, gubernur bank sentral dan menteri keuangan negara-negara G 20 menyuarakan pentingnya memperkuat kerja sama berbagi data untuk perpajakan.

Di tengah masih lemahnya ekonomi dunia ini, sebuah kesepakatan dibuat: rancangan implementasi pertukaran informasi (AEOI). Mereka akan “menekan” negara-negara yang tidak bersahabat dalam bertukar informasi. Langkah ini dikenal sebagai non-cooperative juridiction

Keputusan tersebut dibuat dua pekan setelah dokumen Panama Papers dirilis konsorsium jurnalis investigasi internasional (ICIJ). Data yang bersumber dari bocoran informasi kantor firma hukum Mossack Fonseca, Panama ini menyangkut 11,5 juta dokumen. Isinya menyangkut daftar klien Fonseca dari berbagai negara yang mendirikan perusahaan di negara-negara suaka pajak. Sebagian besar motifnya diduga untuk menyembunyikan harta dari endusan aparat pajak.

Di Indonesia, nama yang sudah disiarakan tersangkut dokumen itu di antaranya saudagar minyak Riza Chalid serta dua pengusaha buron Joko Soegiarto Tjandra dan Agus Anwar. Juga, yang paling membuat ramai publik, Ketua BPK Harry Azhar Azis. Setelah itu ada pula nama Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. (Baca: Penjaga Etik BPK di Pusaran Panama Papers).

Temuan inilah yang kemudian memantik banyak negara menyepakati program AEOI. Pada 14 April lalu, OECD mempublikasikan 94 negara telah berkomitmen berbagi informasi dengan menerapkan common reporting standard. Dari jumlah itu, 55 negara menyatakan mulai mempertukarkan informasi secara otomatis mulai September tahun depan.

“Termasuk yuridiksi yang selama ini dikenal sebagai tax haven seperti Bermuda, British Virgind Island, Cayman Island, dan Luxembourg,” demikian pernyataan Kementerian Keuangan, Senin pekan lalu. Sementara sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, dan Indonesia baru menerapkan kebijakan ini pada 2018.

Dengan diberlakukan AEOI, sejumlah kalangan malah menilai tax amnesty kehilangan urgensinya. Pemerintah tak perlu memberi pengampunan lantaran dua tahun lagi bisa mudah memperoleh data dari negara lain. Karenanya, saat ini mestinya menuntaskan tahun penegakan hukum. Mereka yang diduga mengemplang pajak mesti diburu.

Motif di Balik Simpanan Aset di Luar Negeri (Katadata)

Namun, seorang sumber di Kementerian Keuangan menyatakan tidak serta-merta pertukaran informasi terlakasana pada 2018. Beberapa kendala yang dihadapai, di antaranya, mesti ada perjanjian lanjutan antarnegara. Kedua, Indonesia juga dituntut mengumpulkan data warga negara lain. “Kalau tidak, kita tidak bisa barter informasi,” katanya.

Alasan lain, muculnya Panama Papers mengubah peta penyimpanan dana gelap dunia. Hal ini terjadi ketika Offshore Leaks menyeruak dua tahun lalu. Para pengusaha beramai-ramai mencabut uangnya dari negara-negar tax haven yang masuk daftar tersebut. Alhasil, dana super jumbo bergeser ke tempat lain. . (Baca pula: Masuk Panama Papers, Ketua BPK: Diminta Anak Buat Perusahaan).

Kali ini, kata dia, kondisi tersebut terulang. Dalam sekejap, Panama Papers pun mengubah peta keuangan global. Dalam situasi seperti ini, kata dia, tax amnesty menjadi penting bagi Indonesia sebelum AEOI berlaku. “Daripada uang itu bertebaran di mana-mana, mereka harus diberi fasilitas untuk masuk ke dalam negeri,” katanya.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati