Di Inggris, The Guardian dan BBC yang menggolongkan peredaran 11,5 juta dokumen ini sebagai kebocoran terbesar sepanjang sejarah, mengungkap peran seorang bankir asal Inggris bernama Nigel Cowie. Pria yang tinggal selama 20 tahun di Korea Utara ini mendirikan perusahaan offshore, yang dituding untuk menyokong pendanaan rezim Pyongyang dalam perdagangan senjata dan pengembangan program nuklir.
Para pendonor dan sejumlah anggota parlemen yang mendukung Perdana Menteri David Cameron, juga tak luput dari Panama Papers. Nama tiga orang mantan anggota parlemen serta enam anggota dewan bangsawan (House of Lords) ada di dalam daftar klien Mossack Fonseca.
Cameron berjanji akan mengakhiri kejahatan penggelapan pajak dan kerahasiaan perusahaan offshore ini. Pada 2013, Cameron sebenarnya telah meminta para pemimpin anggota kelompok G8 untuk menandatangani sebuah kerjasama mengenai prinsip-prinsip perpajakan. "Kita perlu membuka siapa yang memiliki apa dan ke mana uang itu benar-benar mengalir," katanya. Ia menambahkan, praktik memarkir uang dalam jumlah besar di perusahaan offshore untuk meminimalkan setoran pajak merupakan perbuatan yang tak bisa diterima secara moral.
Sementara itu, Departemen Kehakiman Amerika Serikat sedang mempelajari dokumen Panama Papers. Adapun kejaksaan Perancis mulai membuka penyelidikan awal dugaan penggelapan pajak orang-orang kaya di negaranya yang menggunakan jasa Mossack Fonseca. Seperti dikutip Reuters, Selasa (5/4), langkah serupa dilakukan pemerintah Jerman, Australia, Austria, Swedia dan Belanda.
Lebih 2.900 nama WNI
Pemerintah Indonesia turut menanggapi dokumen tersebut. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro telah meminta Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi untuk mempelajari data-data dalam Panama Papers. “Data itu akan kami kaji, kami lihat apakah valid. Kemudian dicek konsistensinya dengan yang data yang kami miliki,” katanya seusai acara penghargaan pembayar pajak tertinggi di kantor Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa ini.
(Baca: 6.000 Orang Indonesia Simpan Uangnya di Satu Negara)
Data orang-orang Indonesia yang memiliki SPV dalam Panama Papers tersebut akan digunakan sebagai pelengkap data resmi Ditjen Pajak. Sebab, Bambang mengakui, data yang dimiliki pemerintah saat ini masih terbatas sumbernya dari beberapa negara saja. “Data yang kami miliki, tax havens (negara suaka pajak) adalah di British Virgin Island (BVI), Cook Islands, dan Singapura.”
Bambang menjelaskan, berbagai data itu akan digunakan untuk menelusuri kekayaan orang Indonesia di luar negeri, baik berbentuk uang maupun aset tetap yg belum pernah dilaporkan di dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Jika terbukti melakukan penghindaran pajak, pemerintah akan menjatuhkan sanksi dalam bentuk penalti. “Kami punya punya ketentuan, maksimum penalti itu 48 persen,” ujarnya.
Atas dasar itu, Ditjen Pajak akan menugaskan unit khusus untuk menganalisa ribuan nama orang Indonesia dalam dokumen tersebut. Data dalam Panama Papers akan diselaraskan dengan informasi yang dimiliki DJP dari otoritas pajak negara lain. Kalau ada ketidaksesuaian dengan pelaporan selama ini maka akan dilakukan penindakan terhadap wajib pajak tersebut.
Hingga kini, ICIJ belum merilis daftar nama orang-orang Indonesia dalam dokumen Panama Papers. Namun, dalam proyek "Offshore Leaks" yang dibesut ICIJ tahun 2013, memuat data lebih 2.900 nama orang dan perusahaan Indonesia yang memiliki perusahaan atau rekening offshore. Di antaranya bos Salim Group Anthony Salim, pemilik EMTEK Eddy Sariaatmadja, bos Lippo Group James T. Riady, pemilik Saratoga Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno, dan pemilik Para Group Chairul Tanjung. Ada pula pemilik Adaro Indonesia Garibaldi Thohir, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, pemilik Grup Bakrie Anindya Bakrie, bos Lion Air Rusdi Kirana dan Ketua Kadin Indonesia Rosan Perkasa Roeslani.
(Koreksi: Sebelumnya dituliskan, ada lebih 2.900 nama orang Indonesia di dalam dokumen Panama Papers)
Saat dikonfirmasi, Anindya enggan mengomentari hal tersebut. “Lagi seru ya (Panama Papers). Tapi saya belum baca, mau baca dulu dan mempelajarinya,” katanya dalam acara pengukuhan pengurus baru Kadin Indonesia, Selasa (5/4). Ia pun membantah dirinya atau perusahaan Bakrie menjadi klien Mossack Fonseca. “Tidak pernah dengar. Itu perusahaan apa ya?”
Di tempat yang sama, Rosan juga belum mau mengomentari adanya namanya dalam dokumen Panama Papers. “Saya belum bisa jawab itu dulu ya. Karena kalau saya komentar berarti saya atas nama Kadin. Jadi saya mesti tahu lebih detail lagi.”
Kontributor: Maria Yuniar Ardhiati, Ameidyo Daud