Pemerintah tetap mengambil alih Blok Natuna dan menyerahkan ke Pertamina. Perusahaan negara ini kemudian sepakat menggandeng kembali ExxonMobil, lalu Total E&P Indonesie dan PTT Thailand. Pada 19 Agustus 2011, mereka menandatangani PoA eksplorasi dan eksploitasi wilayah East Natuna. Dalam PoA tersebut, Pertamina meminta perlakuan khusus mengingat kandungan gas CO2 di wilayah itu sangat tinggi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi I.G.N. Wiratmaja Puja membenarkan kandungan karbon dioksida di Blok tersebut sangat besar. Hal itulah yang menjadi kendala belum dilakukannya penandatanganan kontrak PSC. "Belum ekonomis untuk dikembangkan," kata dia kepada Katadata, Selasa, 3 November 2015.
Hal berbeda dikatakan Pri Agung Rakhmanto. Pengamat Energi dari Reforminer Institute ini menilai terlalu dini jika menyimpulkan blok tersebut tidak ekonomis. Dengan cadangan terbukti sebesar 46 tcf, merupakan bukti Blok tersebut sangat strategis.
Blok East Natuna terletak di perairan Laut Natuna dan sudah berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu jalur laut sepanjang 200 mil ke laut terbuka dari batas wilayah kemaritiman Indonesia. Di Zona Eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama memanfaatkan sumber daya di laut dan di bawahnya.
Dengan tetap menggandeng ExxonMobil, Gamil berpendapat secara psikologis pilhan Pertamina sangat tepat. Hal itu mengingat di belakang ExxonMobil adalah Amerika. "Dalam mapping energi, banyak hal yang tidak dapat dipecahkan secara tekno-ekonomi atau nasionalisme yang sempit saja. Kita harus tahu peta geopolitik dan kekuatan militer negara sekitar serta stabilitas geopolitiknya," ujar dia.