Polemik RUU Minerba dan Angin Segar bagi Pengusaha Batu Bara

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Ilustrasi
14/5/2020, 11.05 WIB

UU Minerba Berpeluang Makin Tak Sejahterakan Masyarakat Daerah Tambang

Pendapat berbeda datang dari Peneliti INDEF Abra Talattov. Menurutnya, penjaminan perpanjangan perjanjian kontrak tanpa melalui lelang bisa menciptakan ketimpangan antar-pengusaha. Hanya perusahaan pemegang KK dan PKP2B yang sudah besar akan berkuasa atas mayoritas lahan pertambangan di negeri ini.

Sebaliknya, kata Abra, pemain baru akan sulit untuk masuk ke industri. Kalaupun bisa itu hanya yang berskala kecil di WPR karena kelonggaran syaratnya. Itupun perusahaan lama bakal banyak yang memanfaatkan kelonggaran ini dengan memecah anak produks melalui perubahan status ke WPR.

“Kolonialisme model baru dengan perampasan lahan melalui UU. Secara ekonomi politik ini melanggengkan ketimpangan lintas generasi,” kata Abra keapda Katadata.co.id, Rabu (13/5).

Lebih dari itu, kata Abra, pemusatan kewenangan bisa semakin tak menyejahterakan masyarakat di daerah tambang. Sebab kepentingan daerah memanfaatkan sumber daya alam untuk masyarakat tak terakomodasi.

Abra menyampaikan, sebelum revisi, daerah penghasil tambang masih gagal mentransformasikan ekonomi pertambangan menjadi kesejahteraan masyarakat. Misalnya Papua yang justru mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi terparah dalam satu dekade terakhir menjadi -15,72 %. Penyebab utamanya adalah kontraksi di sektor pertambangan dan penggalian hingga -43,21 %. Padahal pada 2018 masih 10,52 %.

Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada September 2019, gini rasio di Papua 0,391 % dan tingkat kemiskinannya sebesar 26,56 % atau setara 900 ribu jiwa.

(Baca: Investasi Minerba Hingga Awal Maret Baru Capai 2,52% dari Target)

Masalah Bekas Lubang Tambang Makin Tak Terselesaikan

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai RUU Minerba juga berpotensi semakin memperparah persoalan reklamasi bekas lubang tambang. Mengingat Pasal 99 ayat 2 telah mengaburkan definisi reklamasi dengan mengatur pemanfaatan lubang bekas tambang sebagai sumber air dan lahan budidaya.

“Reklamasi semestinya mengembalikan lubang tambang ke semula. Kalau itu tanah rata, ya dikembalikan rata,” kata Divisi Hukum JATAM, Jamil kepada Katadata.co.id, Rabu (13/5).

Dengan berlandaskan peraturan itu, kata Jamil, perusahaan akan semakin abai untuk menutup bekas lubang tambangnya. Padahal, dalam catatan JATAM, sampai 2018 sebanyak 3.033 lubang bekas tambang batu bara tak direklamasi. Terbanyak di Kalimantan Timur dengan 1.754 lubang, disusul Kalimantan Selatan dengan 814 lubang, dan Sumatera Selatan dengan 163 lubang.

Akibatnya, seluruh bekas lubang tersebut menelan korban jiwa warga di sekitar wilayah tambang. JATAM mencatat 140 anak meninggal dunia di bekas lubang tambang sepanjang 2014-2018. Korban terbanyak berada di Bangka Belitung sebanyak 57 orang disusul Kalimantan Timur sebanyak 32 orang.

“Meskipun dendanya ditambah jadi Rp 100 miliar percuma, karena lubangnya tidak ditutup. Tidak ada reklamasi,” kata Jamil.

BEKAS TAMBANG BATU BARA TERBENGKALAI (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Lagi pula, kata Jamil, menjadikan lubang tambang sebagai sumber air dan lahan budidaya sangat berbahaya bagi kesehatan warga sekitarnya. Sebab bekas lubang tambang mengandung zat berbahaya bagi tubuh manusia. Mengonsumsi air dan hasil budidaya dari situ sama saja membunuh masyarakat secara perlahan.

Persoalan semacam ini dan kerancuan lain dalam RUU Minerba, kata Jamil, muncul akibat DPR dan pemerintah kurang transparan saat proses penyusunannya. Pembahasan cenderung tergesa dan dilakukan tertutup.

Jamil tak berlebihan soal ini. Dalam laporan singkat rapat Panja RUU Minerba dengan pemerintah tertanggal 21 Februari memang tercatat dilakukan tertutup. Bahkan rapat dilakukan pada malam hari pukul 19.00-22.35 WIB di luar Kompleks DPR Senayan, tepatnya berlokasi di Hotel Sultan.

Rapat kali itu sebenarnya tergolong penting. Terdapat 199 pembahasan DIM dilakukan saat itu. Termasuk pasal-pasal krusial seperti perpanjangan kontrak, luas lahan, dan reklamasi. Seluruhnya tercatat menjadi usulan pemerintah dan disetujui Panja DPR. Pun tak ada catatan satu fraksi pun yang menolak. Artinya Fraksi Demokrat ikut menyetujui perubahan.

JATAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil bersama LSM lain seperti Greenpeace dan Auriga, pun berencana melakukan uji materi terhadap RUU Minerba. Lantaran bukan hanya substansi yang menurut mereka bermasalah, tapi proses penyusunannya juga.

(Baca: Penerimaan Negara dari Sektor Tambang 121% Lampaui Target)

Klaim Panja RUU Minerba Dengarkan Aspirasi Publik

Terkait hal ini, Wakil Ketua Panja RUU Minerba cum Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suprawoto menyatakan seluruh fraksi di DPR terlibat persetujuan pasal-pasal dalam beleid. Selebihnya, ia membantah proses pembahasan sengaja dilakukan tergesa dan tertutup dari publik.

Sugeng menyatakan, pembahasan dilakukan sejak DPR periode 2014-2019. Panja pertama dibentuk pada 2015 diketuai Ridwan Hisyam dari Fraksi Golkar. Draf pertama RUU Minerba diusulkan DPR pada 25 Januari 2016 kepada pemerintah. Namun, saat itu pemerintah belum memprosesnya sehingga pembahasan tak berjalan dalam waktu lama.

Presiden Jokowi, kata Sugeng, akhirnya mengirimkan Surat Presiden pada 2018 tentang pendelegasian lima kementerian dengan Kementerian ESDM sebagai penanggung jawab utama. Kelima kementerian ini kemudian mencermati draf usulan DPR.

Pada 25 September 2019, pemerintah memberikan 938 DIM kepada DPR. Penyerahan dilakukan pada malam hari pukul 21.20 WIB. Sebab saat itu sudah memasuki masa injury time jabatan DPR dan pembahasan beleid ini mendapat penolakan dari publik yang berujung gelombang aksi reformasi dikorupsi, maka proses dihentikan.

(Baca: Sebulan Rapat di Tengah Pandemi DPR Sibuk Bahas Regulasi Zaman Normal)

Pembahasan lanjutan saat ini, kata Sugeng, dimungkinkan karena UU Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan pasca-revisi terbatas telah memungkinkan carry over. Kepastian carry over juga dikuatkan hasil rapat Bamus DPR pada Januari lalu yang menyatakan syarat administratif telah terpenuhi. “Kalau ada yang bilang inkonstitusional berarti salah,” kata Sugeng kepada Katadata.co.id.

Selama pembahasan di periode lalu sampai sekarang, DPR mendengar pendapat dari elemen sipil dan ahli. Salah satunya dari Peneliti Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana pad 17 April. Begitupun DPR menggelar 39 kegiatan dengan masyarakat sipil. Namun, ia tak merinci kegiatannya dengan siapa saja. “Mohon maaf, kami tidak mengebiri sipil,” kata Sugeng.

Perihal rapat dilakukan tertutup di luar gedung, Sugeng berdalih itu bagian dari konsinyering dan sah secara peraturan. Tujuannya agar pembahasan lebih intensif dan fokus. Bukan menghindari publik dan disetir oleh pihak-pihak tertentu.  

Maka, dia mempersilakan jika kelompok masyarakat sipil ingin mengajukan uji materi. Sugeng menekankan bahwa hasil yang saat ini adalah jalan tengah terbaik untuk menyejahterakan masyarakat dari hasil bumi. “Saya bersumpah dan siap mempertanggung jawabkan dunia akhirat,” kata Sugeng.

Halaman: