Polemik RUU Minerba dan Angin Segar bagi Pengusaha Batu Bara

Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Ilustrasi
14/5/2020, 11.05 WIB

Polemik dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat mewarnai RUU Minerba yang mengubah UU Nomor 4 tahun 2009 dan disahkan DPR pada 12 Mei 2020. Keputusan diambil setelah rapat paripurna menyatakan sembilan dari sepuluh fraksi setuju. Hanya Fraksi Demokrat yang menolak dan meminta pembahasan diulang.

Pembahasan di tingkat paripurna terjadi setelah sehari sebelumnya Panitia Kerja (Panja) RUU Mineral dan Batu Bara bersama pemerintah menyetujui poin-poin perubahannya. Ketua Panja Bambang Wuryanto dari Fraksi PDIP saat itu melaporkan perubahan meliputi: penambahan 2 Bab baru menjadi 28 Bab, penambahan 51 Pasal, mengubah 41 Pasal terkait kewenangan dan 32 Pasal terkait nomenklatur perizinan, serta menghapus 5 Pasal terkait kewenangan dan 6 Pasal terkait nomenklatur perizinan.

Seluruh perubahan tersebut, kata Bambang, dilakukan setelah mengharmonisasikan RUU Minerba dengan RUU Cipta Kerja dan pembahasan atas 938 Daftar Invetarisir Masalah (DIM). Pembahasan DIM dilakukan secara intensif selama lebih kurang tiga bulan. Terhitung sejak 17 Februari 2020 atau empat hari setelah pembentukan Panja sampai 6 Mei.

Bambang menyatakan, ketika pembentukan Panja, DPR dan pemerintah menyepakati 235 DIM dikategorikan sebagai rumusan tetap sehingga langsung disetujui dan 703 DIM tergolong substansi dan dilakukan pembahasan lebih lanjut. Dalam beleid baru ini, ada beberapa perubahan penting.

(Baca: Deretan Pasal Bermasalah RUU Minerba dan Alasan DPR Tetap Kebut Bahas)

Pertama, pemusatan kewenangan atas pertambangan. Hal ini tercermin dari perubahan Pasal 4 ayat 2 yang tak lagi memasukkan pemda dalam penguasaan minerba. Lalu Pasal 7 dan Pasal 8 yang mengatur wewenang penerbitan izin usaha penambangan (IUP) oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dihapus.

Peraturan kewenangan pemda lain yang dipangkas yakni Pasal 15 terkait pelimpahan penetapan wilayah usaha penambangan (WUP) dan Pasal 21 soal hak bupati/walikota menetapkan wilayah penambangan rakyat (WPR).

Kedua, semangat hilirisasi yang kental. Dalam Pasal 1 ayat (20) diatur peningkatan mutu diharuskan tak mengubah sifat kimiawi dan fisiknya. Kategorisasi pengolahan dan pemurnian pun tak lagi disatukan seperti dalam beleid lama. Di sini frasa yang digunakan adalah “pengolahan dan/atau pemurnian”.

Revisi pun mengharuskan peningkatan mutu batu bara memenuhi batasan minimum pengolahan dan/atau pemurnian serta mempertimbangkan peningkatan nilai ekonomi dan/atau kebutuhan pasar. Ini tertuang dalam Pasal 102. Sedangkan di Pasal 103 ayat (2), pemerintah menjamin keberlangsungan pemanfaatan hasil pengolahan dan/atau pemurnian.

(Baca: Faisal Basri Menilai Pengesahan UU Minerba untuk Selamatkan Kaum Elite)

Pemerintah pun dalam Pasal 47 huruf (f) memberikan insentif kepada pemegang IUP dan IUPK batu bara terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 tahun. Sebagai jaminannya yakni perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan Pasal 83 huruf (g) menyatakan, pemegang IUP dan IUPK batu bara bisa melakukan kegiatan Operasi Produksi Mineral logam terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 tahun. Pemerintah menjamin kontrak ini bisa diperpanjang selama 10 tahun setiap usai kontrak setelah memenuhi syarat.

Ketiga, jaminan perpanjangan izin. Hal ini sebenarnya sudah terlihat dari dua pasal sebelumnya terkait insentif yang menyertakan kata “dijamin”. Beleid sebelumnya tak mengatur tentang penjaminan ini.

Aturan serupa termaktub dalam Pasal 169 A yang secara khusus terkait perpanjangan kontrak karya (KK) dan perjanjian karya pengelolaan batubara (P2KB). Perusahaan pemegang keduanya dijamin perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian setelah memenuhi persyaratan. Jangkanya paling lama 10 tahun dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.

Keempat, soal luas lahan pertambangan. Pasal 83 huruf (c) menyatakan, luas lahan wilayah izin usaha penambangan khusus (WIUPK) untuk tahap kegiatan Operasi Produksi Pertambangan Mineral logam atau batu bara diberikan berdasar hasil evaluasi menteri terhadap rencana pengembangan seluruh wilayah yan diusulkan pemegang IUPK.

Hal ini berbeda dengan beleid sebelumnya yang menyatakan luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan batu bara diberikan paling banyak 50 ribu hektare.

Wilayah pertambangan rakyat (WPR) juga diperluas menjadi 100 hektare dan tak harus memenuhi syarat sudah dikerjakan 15 tahun. Sebelumnya, luas izin untuk satu WPR hanya 25 hektare. Batasan cadangan primer logam turut diperlonggar dari kedalaman 25 meter menjadi 100 meter.

Kelima, soal divestasi yang tertuang dalam Pasal 112. Pemegang IUP dan IUPK pada tahap operasi produksi yang sahamnya dimiliki asing wajib mendivestasi saham sebesar 51% dan secara berjenjang kepada pemerintah pusat, pemda, BUMN, BUMD, dan/atau badan usaha swasta nasional.

Bedanya dengan beleid lama yaitu hilangnya ketentuan divestasi dilakukan setelah lima tahun berproduksi dan pelaksanaan secara berjenjang.

(Baca: ICW Sebut Ada Pengusaha Batubara di Balik Pengesahan UU Minerba)

UU Minerba Selamatkan Pengusaha di Tengah Pandemi Corona

Seluruh perubahan tersebut disambut baik oleh pengusaha tambang batu bara. Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), Hendra Sinadia menilainya sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam memastikan kinerja usaha tambang batubara.

Mengingat dalam waktu dekat kontrak beberapa perusahaan batu bara akan habis. Khususnya 7 perusahaan pemegang PKP2B generasi I yang menguasai 70 % produksi batu bara nasional. Mereka adalah PT Arumtin Indonesia (2020), PT Kendilo Coal Indonesia (2021), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Adaro Energy (2022), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).

“Yang terpenting dalam usaha tambang adalah kepastian kontrak,” kata Hendra kepada Katadata.co.id, Rabu (13/5).

Salah satu tambang batu bara. RUU Minerba menuai polemik dan penolakan masyarakat.  (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/hp.)

Dengan kepastian tersebut, kata Hendra, perusahaan tambang batu bara akan mampu mengambil ancang-ancang untuk bisnis ke depan di tengah ketidakpastian industri komoditi akibat pandemi. Fluktuasi harga acuan batu bara saat ini yang menurun hingga menyentuh US$ 58 per ton telah mengurangi pendapatan. Sementara ongkos produksi yang mesti ditanggung besar.

Pernyataan Hendra selaras dengan penelitian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) terhadap 11 perusahaan tambang batu bara di Indonesia. Bumi Resources, ABM Investama, dan Geo Energy Resources dikatakan baru bisa mengontrol titik impas kas apabila harga acuan batubara di bawah US$ 60 per ton.

Sementara 6 dari 11 perusahaan akan mengalami arus kas negatif apabila rata-rata harga batu bara US$ 58 per ton atau di bawahnya. Hal ini dikarenakan mereka terbebani ongkos royalti sebsar 13,5 %.

Sedangkan tak mungkin pemerintah menerapkan moratorium royalti kepada seluruh perusahaan yang mengalami arus kas negatif. Bisa berdampak kepada hilangnya US$ 1,2 miliar dari royalti di seluruh sektor. “Terkait royalti, kami bisa mengurangi beban dengan kepastian seperti sekarang,” kata Hendra.

(Baca: Sepakati RUU Minerba, DPR dan Pemerintah Tuai Banyak Kritik)

Hendra menyatakan adanya kepastian bisa menambah investasi pertambangan batu bara. Terutama dari investor yang saat ini sudah ada. Karena soal lahan juga lebih adil dengan konsep evaluasi kinerja oleh pemerintah untuk luasnya.

Meskipun begitu, Hendra menolak tudingan RUU Minerba sebagai karpet merah bagi pengusaha tambang. Karena kewajiban pengusaha kepada pemerintah juga besar. Seperti penambahan PPn batu bara sebesar 10 %. Ini disepakati saat renegosiasi kontrak antara pemerintah dan pengusaha pada 2017. “Perubahan UU 4/2009 dan semuanya sudah diomongin saat itu,” kata Hendra.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro berpandangan fokus hilirisasi dalam RUU Minerba bisa menjamin penyerapan hasil batu bara. Apalagi saat ini batu bara sedang susah untuk dipasarkan ke luar negeri lantaran banyak negara menolak pemanfaatannya.

Di tengah pandemi corona ini, ekspor hasil tambang pun menurun. Data lengkapnya seperti ditunjukkan Databoks di bawah ini:

Penyerapan dalam negeri, kata Komaidi, bisa untuk proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt yang masih banyak menggunakan batu bara. Begitupun untuk kebutuhan perusahaan semen dan pupuk. Paling tidak untuk jangka waktu tertentu sampai kebutuhan tercukupi.

“Sebenarnya yang harus dipikirkan kalau kebutuhannya sudah tercukupi mau seperti apa konsumsinya,” kata Komaidi kepada Katadata.co.id, Rabu (13/5).

(Baca: RUU Minerba Menjamin Perpanjangan Kontrak Perusahaan Batubara)

Implikasi lainnya, kata Komaidi, adalah membantu tercapainya penerimaan negara dari sektor minerba di tengah kelesuan akibat pandemi. Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan sebesar Rp 35,93 triliun. Sampai awal Mei, berdasar data Kementerian ESDM, realisasi baru mencapai Rp 12,76 trilun atau setara 35,51 %.

Jika melihat ke belakang, penerimaan negara mengalami penurunan dari Rp 49,63 triliun pada 2018 menjadi Rp 44,93 triliun pada 2019. Meskipun begitu, di kedua tahun itu penerimaan melampaui target yang dicanangkan pemerintah.

Halaman selanjutnya: UU Minerba Berpeluang Makin Tak Sejahterakan Masyarakat Daerah Tambang

Halaman: