Persoalan Pembagian Beban dan Pentingnya BI Ambil Peran Lebih Besar

123rf
Ilustrasi. Pemerintah menginginkan Bank Indonesia (BI) mengambil beban lebih untuk memulihkan ekonomi di tengah pandemi.
Penulis: Sorta Tobing
29/6/2020, 07.00 WIB

Direktur CORE Indonesia Piter Abdullah menilai kesepakatan BI untuk melakukan burden sharing dengan pemerintah dalam pembiayaan utang sangat penting bagi negara. Kebutuhan pembiayaan bunga utang yang tinggi dengan kondisi pasar keuangan saat ini dapat membuat beban fiskal sangat besar dan membebani pemerintah di masa depan. 

Ia pun menyarankan BI tak lagi membeli surat berharga negara (SBN) di pasar perdana melalui lelang dengan harga pasar. Sudah sewajarnya bank sentral membagi beban dengan pemerintah melalui pembelian SBN dengan tingkat kupon atau bunga lebih rendah dari pasar.

 "Kalau dengan lelang terbuka, suku bunga tinggi sekali dan akan membebani fiskal. Beban fiskal akan besar. Butuh burden sharing, BI harus mau bersepakat ikut membiayai fiskal. Tidak harus zero cupon bond, tetapi jangan harga pasar," kata Pieter.

BI pun dinilai dapat melakukan hal tersebut karena telah diatur melalu UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi corona. Dalam aturan tersebut, BI dapat membeli surat utang pemerintah dari pasar perdana.

(Baca: Jokowi Teken Pepres Revisi Kedua APBN 2020, Defisit Anggaran Rp1.039 T)

Piter pun menilai kebijakan pencetakan uang lebih oleh BI untuk membantu pemerintah tak akan menyebabkan hiperinflasi seperti yang terjadi pada era 1960-an. Pasalnya, kondisi likuiditas saat ini tengah kering dan permintaan masyarakat masih lemah."Menyelamatkan ekonomi juga lebih penting dibanding inflasi. Buat apa inflasi dijaga tapi ekonomi masuk ke jurang krisis," kata dia. 

Sementara itu, Ekonom PT Bank Central Asia David Sumual menjelaskan pembelian surat berharga negara oleh bank sentral dengan kupon yang rendah, apalagi zero cupon bond mencerminkan kondisi ekonomi yang kurang sehat. Ini akan menjadi persepsi negatif bagi investor. 

"Kalau sekarang bank sentral beli SBN dengan bunga 0%, sedangkan bunga saat ini sebesar 7% akan ada gap besar. Suku bunga nol itu cerminan yang tidak baik. Terbukti di AS. Mereka mengalami perangkap likuiditas," kata David. 

(Baca: Dapat Bantuan Likuiditas, Ini Strategi BNI dan BTN untuk Genjot Kredit)

Sebenarnya, menurut David, jika BI membeli pendapatan SBN dengan harga pasar, pendapatan bunga yang diperoleh nantinya dapat kembali ke pemerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui mekanisme setoran surplus BI ke pemerintah di akhir tahun. "Sebenarnya ini bisa saja masuk kantong kanan dan keluar kantong kiri saja," kata dia. 

Namun, dalam kondisi saat ini, memang banyak bank sentral yang menerapkan yield kontrol atau membeli surat utang negara dengan kupon rendah. "Ini tentu dapat saja dilakukan, tapi tentu harus ada kajian yang komprehensif, termasuk dampak ke perbankan bukan hanya saat ini tapi ke depannya," ujar dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menyampaikan penempatan  dana sebesar Rp30 triliun pada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dalam rangka mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional terutama untuk sektor riil. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/POOL/foc.)

Langkah Penyelamatan Ekonomi Bank Sentral di Negara Lain

Di saat krisis, gerak bank sentral di berbagai belahan dunia memang terlihat lebih lincah ketimbang BI dalam mengatasi krisis. Reuters mencatat bank sentral di Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Tiongkok, dan Jepang telah menggelontorkan sekitar US$ 5 triliun sejak pandemi terjadi.

Pelonggaran likuiditas atau quantitative easing lebih banyak banyak dilakukan. Bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), berencana memperluas neraca keuangannya menjadi US$ 10 triliun pada 2021, dari US$ 7 triliun saat ini. Bank Sentral Uni Eropa, Inggris, dan Jepang juga akan menambah quantitative easing.

Bank sentral negara-negara itu juga mengontrol imbal hasil atau yield obligasi pemerintah. Cara ini pernah The Fed lakukan saat Perang Dunia II. Kontrol terhadap yield akan melengkapi quantitative easing dalam menekan biaya pinjaman karena pemerintah sedang mengeluarkan banyak utang.

Pada 2016, bank sentral Jepang telah mematok imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun sekitar 0%. Australia juga menetapkan sekitar 0,25% untuk yield selama tiga tahun sejak Maret lalu.

(Baca: Dirjen Pajak Loloskan 93 % Permohonan Insentif Covid-19)

Terkait suku bunga acuan, bank sentral AS dan Inggris telah menurunkannya hingga mendekati 0%. Prediksi beberapa analis, suku bunga negatif kemungkinan besar akan terjadi. Bank sentral Selandia Baru dan Swedia telah mengirimkan sinyal akan melakukan hal itu.

Selain melonggarkan likuiditas perbankan, bank sentral Uni Eropa juga telah memberikan program refinancing jangka panjang. Perbankan di kawasan itu dapat menerima pinjaman dengan bunga terendah hingga minus 1%. Pada dua pekan lalu, total pinjaman dari skema ini mencapai 1,31 triliun euro.

Langkah terakhir adalah mencetak uang berlebih. Cara ini kerap disebut helicopter money. Bank sentral mendanai pengeluaran negara dengan mencetak uang baru, bahkan memberi uang tunai langsung ke rumah tangga. Opsi tersebut telah dilakukan The Fed pada April lalu.

(Baca: Pemerintah Siapkan Rp 12 T Agar Bank Tetap Salurkan Kredit UMKM)

Perry pada awal Mei lalu sempat mengatakan peredaran uang berlebih dapat memicu inflasi. BI selama ini mencetak uang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hitungannya mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Tidak ada proses pencetakan uang di luar mekanisme tersebut, bahkan ketika Indonesia menghadapi krisis. "Jika ingin menambah cadangan kira-kira naik 10% dengan keseluruhan proses tetap sesuai tata kelola dan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," ujar Perry ketika itu.

Halaman:
Reporter: Agustiyanti, Agatha Olivia Victoria, Muchammad Egi Fadliansyah