Sudah tujuh bulan Tiyas Pujilestari merasakan pahitnya pandemi corona. Sejak Covid-19 menerjang Tanah Air, perajin batik asal Bantul, Yogyakarta ini hanya mengerjakan satu-dua pesanan dari pembeli perorangan. Sebelum pandemi, perempuan 33 tahun ini menerima lebih dari lima permintaan per bulan dari perorangan, instansi, atau pedagang.
Tak ayal produksinya merosot tajam, dari sekitar 400 potong kain batik cap per bulan tinggal 50 potong, atau paling banyak100 potong. Batik cap menjadi produk usahanya yang paling laris dibanding jenis batik kombinasi atau batik tulis yang harganya relatif mahal.
Penurunan produksi ini mempengaruhi tenaga kerja di rumah batiknya. Enam pembatik dirumahkan. Sesekali di antara mereka masuk ketika ada order, seperti untuk seragam panitia pernikahan, souvenir, atau seragam pegawai. “Kerja jadi santai, tidak ditarget. Ini pun supaya penjualan tetap jalan dan mereka ada penghasilan,” kata Tiyas kepada Katadata.co.id pekan lalu.
Pesanan yang datang di masa pandemi hanya terbatas di sekitar wilayah Yogyakarta. Sebelumnya, Tiyas menerima banyak pesanan dari Jakarta, Semarang, hingga Sumatera. Kini, yang menyerap produknya merupakan pembeli yang datang ke toko, mereka yang tahu dari mulut ke mulut, atau melalui Facebook dan Instagram.
Keterbatasannya menguasai teknologi juga menghambat pemasaran barang. Ia gagap menjajakan produknya melalui mal elektronik atau market place sehingga penjualannya tak maksimal. “Saya bingung dan bertanya-tanya, bagaimana mendaftarnya, bayar atau tidak memasarkannya, seperti apa?” ujarnya.
Di tengah bisnis yang melandai, Tiyas kerap mengikuti pelatihan usaha. Kegiatan Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta, institusi di bawah Kementerian Perindustrian yang menangani penelitian dan pengembangan kerajinan dan batik, menjadi salah satu tempat menimba ilmu. Dalam seminar online atau webinar, dia dapat menyerap pengetahun baru pengembangan desain batik serta teknik pewarna alam.
Kepala Bidang Pengembangan Jasa Teknis BBKB, Heri Pramono, mengatakan peserta pelatihan melonjak tiga kali selama pandemi. Profil peserta beragam, dari pelaku usaha, dosen, mahasiswa, kalangan pecinta batik, dan sebagainya.
Meningkatnya peserta pelatihan bisa jadi karena dilakukan secara daring. Jangkauan pesertanya lebih banyak, dari Aceh hingga Papua. Jenis pelatihan yang diberikan beragam, dari eksplorasi pengembangan dan pengenalan desain, manfaat teknologi tepat guna, labelisasi, hingga sertifikasi batik.
“Meskipun produksi dan penjualan industri kecil-menengah batik turun, tapi kompetensi harus meningkat. Sehingga, ketika pandemi selesai mereka langsung tinggal landas,” kata Heri kepada Katadata.co.id.
Produksi batik secara tren terus meningkat dengan cakupan wilayah industri kecil-menengah atau IKM batik meluas ke luar Jawa. Hal ini turut disumbang dari pelatihan BBKB di beberapa wilayah. Dari situ mulai muncul IKM baru, motif baru, dan desain anyar yang berpadu dengan budaya daerah setempat.
Pihak BBKB mencatat, hingga kini ada sekitar 101 sentra batik di Indonesia dengan 151.565 unit usaha. Unit usaha ini terdiri dari 502 perusahaan besar, 1.279 perusahaan sedang, dan 2.612 perusahaan kecil/mikro.
Bantuan Stimulus Pemerintah
Upaya pendampingan, pelatihan, promosi dan akses pemasaran menjadi jurus pemerintah membantu industri batik dari ancaman gulung tikar. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menyatakan pemerintah berupaya agar pelaku usaha bangkit, dari sisi produksi, peningkatan kompetensi hingga pemasaran.
“Untuk produksi, kami ada program restukturisasi dan pembelian mesin produksi diberi potongan harga 30 %. Sedangkan sisanya bila IKM membeli, bisa kami bantu memberikan akses kredit usaha rakyat atau ke perusahaan fintech,” kata Gati kepada Katadata.co.id. Fasilitas ini terbatas bagi industri kecil dan industri menengah tertentu.
Ada pula bantuan teknis serta pendampingam manajemen keuangan. Dari sisi promosi, direktoratnya bekerja sama, misalnya, dengan Yayasan Batik Indonesia (YBI). Kegiatan yang digelar seperti pamameran batik milik perajin nusantara di rumah batik Cikatomas, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan dijual secara daring.
Demikian juga promosi batik pengrajin dengan Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) melalui akun Instagram. “Kami beri list untuk dibantu pemasarannya. Sedangkan penjualan diserahkan langsung ke perajin,” ujar Gati. Langkah lain yang diambil yakni bekerja sama dengan market place seperti Tokopedia, Shopee, Blibli, dan Buka Lapak.
Meski demikian, menurut Gati, masih ada kendala memasarkan batik secara online, terutama untuk jenis batik tulis. Musababnya, pembeli atau pengguna kadang ingin memegang tekstur kain dan melihat corak warna secara langsung. Masalah tersebut agak teratasi oleh startup dan aplikasi yang mampu mengkompres data. Tampilan warna dan corak gambar bisa semakin mirip atau mendekati aslinya.
Untuk pasar luar negeri, ada strategi dalam penetrasi ekspor batik. Menurut Gati, Kemenperin telah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan atase perdagangan dan perindustrian Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan batik. Dengan mengenakan batik di setiap kesempatan, misalnya, para perwakilan di luar negeri ini diharapkan bisa menemukan peluang baru pasar ekspor.
Data Kementerian Perindustrian mencatat, pada semester pertama 2020 ekspor batik berbentuk sandang (pakaian) dengan berbagai media eksterior serta interior mencapai US$ 21,54 juta atau Rp 316 miliar. Bila dibandingkan dengan semeter satu 2019 yang sebesar US$ 17,99 juta, ekspor batik naik 19 %.
Hingga akhir tahun ini, ekspor diperkirakan mencapai US$ 43,08 juta atau Rp 632 miliar. Pasar batik luar negeri terbesar saat ini masih di Jepang (50 %), Amerika Serikat (30 %), dan Eropa (20 %).
Sedangkan bila dilihat lima tahun terakhir, tren ekspor batik terus menurun. Pada 2015 ekspor batik mencapai US$ 185,04 juta, lalu menurun di 2016 menjadi US$ 156,03 juta dan 2017 merosot ke US$ 73,79 juta. Berikutnya 2018 ekspor batik US$ 52,33 juta dan 2019 naik tipis menjadi US$ 54,36 juta.
Penurunan ekspor batik tak lepas kondisi persaingan. Pesaing Indonesia antara lain Tiongkok dan Vietnam. Selain itu, banyak konsumen dunia belum teredukasi tentang motif batik Indonesia. Sebagai contoh, banyak yang menganggap kain printing sebagai batik, padahal komoditas tersebut merupakan produk tekstil bermotif batik.
Ke depan, Gati meminta pelaku usaha batik berinovasi ke produk-produk yang permintaannya tinggi seperti furnitur rumah, jika permintaan pakaian batik sedang turun. Inovasi bahan baku dengan pewarna alam juga harus mulai dikembangkan. Selain mempengaruhi kualitas warna, pewarna alam berpotensi diminati pasar luar negeri karena alami.
Koperasi UMKM Batik
Deputi Bidang Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM Victoria Simanungkalit mengatakan pemerintah telah menggelontorkan berbagai stimulus untuk membantu Usaha Mikro Kecil Menengah selama pandemi. Beberapa di antaranya subsidi bunga KUR 6 % hingga akhir tahun, relaksasi pajak selama enam bulan, dan tambahan moda kerja bagi UMKM yang memproduksi masker.
Pemerintah juga membantu pelaku usaha UMKM lewat program bantuan langsung tunai UMKM senilai Rp 2,4 juta yang ditransfer lewat rekening. Total ada 12 juta UMKM yang akan menerima bantuan. Kendala mendapatkannya biasanya ada di. “Sehingga mereka (UMKM) harus aktif, mendaftar ke Dinas Perdagangan Perindustrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah,” kata Victoria.
Para perajin juga didorong segera membangun koperasi, seperti koperasi batik. Badan usaha ini dapat membuat biaya operasional UMKM batik lebih efisien. Misalnya, pendanaan untuk pengadaan bahan baku dan pewarna akan lebih mudah dibandingkan dilakukan sendiri.
Begitupun dengan pengelolaan limbah atau sisa bahan. Jika didaur ulang melalui koperasi diperkirakan bisa efisien 30% dan berpeluang menghasilkan pendapatan tambahan.
Sedangkan untuk akses pasar, Victoria berharap UMKM, khususnya usaha batik, semakin lekat dengan teknologi digital. Pelaku usaha perlu pula memproduksi barang yang sedang diminati saat ini. Misalnya, pakaian daster trendi yang permintaannya meningkat karena banyak perempuan kini berada di rumah.
Untuk meningkatkan pangsa pasar produk dalam negeri, pengadaan melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) kini wajib menggunakan produk UMKM. Kebijakan tersebut telah tercantum dalam Perpres Nomor 16/2018 . Seluruh pimpinan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah wajib mencadangkan belanja pengadaan hingga Rp 2,5 miliar untuk usaha kecil. Dukungan ini sejalan dengan kampanye #BanggaBuatanIndonesia.
Hasil survei Badan Pusat Statistik merekam 82,85 % pengusaha mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi Covid-19. Menyusutnya pendapatan paling banyak dialami usaha menengah kecil mencapai 84 %, dibandingkan usaha menengah besar yang mencapai 82 %.