Was-was Pengusaha Batu Bara Menghadapi Pengurangan Emisi

123RF.com/Lorelyn Medina
Ilustrasi batu bara
Penulis: Safrezi Fitra
7/6/2021, 11.00 WIB

Arutmin akan menyesuaikan produksi tidak hanya dengan kebutuhan dalam negeri tetapi juga pasar ekspor. Arutmin juga masih optimistis sektor batu bara kedepannya masih tetap menarik karena salah satu sumber bahan bakar yang murah.

Terlepas dari rencana penghentian PLTU, pemerintah mendorong perusahaan batu bara melakukan hilirisasi, bertransformasi menjadi produk turunan yang dapat menyaingi energi bersih. Pemerintah memberikan royalti 0% untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi. Kebijakan tersebut tertuang dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di sektor pertambangan. Makanya, agar bisa tetap bertahan, pelaku usaha batu bara mencoba melakukan hilirisasi.

Kaltim Prima Coal (KPC)

PT Kaltim Prima Coal merupakan kontraktor yang memproduksi batu bara terbesar di Indonesia, dengan total produksi 59,7 juta ton tahun lalu. Rencana pengurangan konsumsi batu bara di sektor listrik untuk menekan emisi akan sangat berdampak pada perusahaan Grup Bakrie ini.

Perusahaan batu bara di bawah PT Bumi Resources Tbk (BUMI) ini pun telah menyiapkan sejumlah transformasi bisnisnya. Salah satunya dengan proyek hilirisasi batu bara menjadi produk metanol (coal to methanol) yang akan dikerjakan KPC bersama dengan Ithaca Group dan Air Products.

Proyek yang dibangun di Bengalon, Kalimantan Timur ini ditargetkan bisa beroperasi pada 2024. Adapun kebutuhan batu baranya diperkirakan sekitar 6,5 juta ton per tahun. Ketika beroperasi, pabrik tersebut dapat menghasilkan 1,8 juta ton per tahun metanol.

Arutmin

Perusahaan tambang Grup Bakrie lainnya, PT Arutmin Indonesia siap melakukan transisi hilirisasi batu bara. "Rencana kami jangka panjang memang mengembangkan hilirisasi batu bara sesuai ketentuan pemerintah," kata General Manager Legal & External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani.

Setelah mendapatkan perpanjangan kontrak menjadi izin usaha pertambangan khusus atau IUPK, perusahaan akan menjalankan kewajiban peningkatan nilai tambah atau hilirisasi batu bara. Kabarnya, Arutmin juga akan membangun pabrik coal to methanol di IBT Terminal, Pulau Laut, Kalimantan Selatan.

Rencananya, Arutmin akan memulai proyek gasifikasi batu bara pada tahun depan dan kini masih melakukan studi kelayakan. Perusahaan juga telah melakukan penjajakan kerja sama dengan beberapa pihak.

 

Bukit Asam (PTBA)

PT Bukit Asam Tbk (PTBA) merupakan salah satu perusahaan pemasok batu bara terbesar untuk kebutuhan dalam negeri. Sekitar 54% produksi batu bara PTBA tahun lalu 24,8 juta ton dipasok untuk kebutuhan domestik. Padahal DMO yang ditetapkan pemerintah hanya 25%. Dari total batu bara untuk dalam negeri ini, mayoritas digunakan oleh pembangkit.

Sebagai perusahaan negara, PTBA tentu mendukung pemerintah menuju netral karbon di 2060. Namun, di sisi lain PTBA juga berupaya memenuhi kebutuhan pasar domestik demi ketahanan energi Indonesia. Makanya PTBA tetap tidak meninggalkan bisnis utamanya batu bara.

Sekretaris Perusahaan PTBA Apollonius Andwie mengatakan saat ini PTBA sedang menyiapkan diri untuk bertransformasi. Perusahaan negara ini juga sudah menyusun sejumlah strategi untuk pengembangan bisnis ke depan, di antaranya hilirisasi batu bara dan pengembangan bisnis energi baru dan terbarukan.

"Dengan strategi ini, PTBA meyakini bisa mengatasi tantangan fluktuasi permintaan batu bara dan persaingan dengan kehadiran energi baru dan terbarukan di masa mendatang," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (4/6).

Saat ini PTBA menggandeng Pertamina dan Air Product & Chemical Inc, menggarap proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) untuk menggantikan liquid petroleum gas (LPG). Proyek yang dibangun di Tanjung Enim ini akan menyerap 6 juta ton batu bara dan menghasilkan 1,4 juta ton DME per tahun. Proyek yang ditargetkan rampung pada 2024 ini merupakan bagian dari upaya pemerintah menurunkan emisi karbon di 2030.

Selain itu PTBA juga akan membangun pabrik karbon aktif di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, yang ditargetkan beroperasi 2023. Pabrik ini akan memiliki kapasitas 60 ribu ton batu bara yang menghasilkan 12 ribu ton karbon aktif. Karbon aktif dapat dimanfaatkan untuk penjernihan air, pemurnian gas dan udara, filter industri makanan, penghilang warna untuk industri gula dan MSG, hingga penggunaan di bidang farmasi sebagai penetral limbah obat-obatan agar tidak membahayakan lingkungan.

Adaro

PT Adaro Energy Tbk (ADRO) adalah produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia. Perusahaan milik Boy Thohir, saudara Menteri BUMN, ini menguasai setidaknya 31.380 hektare lahan tambang yang menghasilkan 54 juta ton batu bara pada 2020.

Dengan tidak meninggalkan bisnis batu bara, Adaro mengklaim akan berkomitmen dalam menghadirkan energi yang lebih bersih di Indonesia. Saat ini Adaro Energy berencana meluncurkan satu pilar bisnis kesembilan bernama Adaro Green Initiative. Pilar tersebut merupakan bisnis terbaru selain pertambangan, lahan, air, hingga modal.

Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi "Boy" Thohir mengatakan perusahaannya akan mendiversifikasi bisnisnya ke segmen energi yang lebih hijau dengan alasan untuk mendukung langkah pemerintah dalam menekan perubahan iklim. "Untuk itulah kami juga sekarang lagi terus membentuk pilar ke sembilan kita. Itu Adaro Green Initiative," kata Boy dalam diskusi secara virtual, Senin (19/4).

Meski demikian, Boy menegaskan Adaro tidak akan meninggalkan bisnis utamanya yakni batu bara. Apalagi beberapa negara pelanggan seperti Jepang, Korea Selatan, Indonesia sudah mulai mengkombinasikan batu bara dengan biomassa sebagai upaya menekan emisi.

Akhir tahun lalu Pertamina menggandeng Adaro dan PT Indika Energy (INDY) untuk kerjasama strategis gasifikasi batu bara yang akan diolah menjadi DME atau bahan bakar pengganti LPG. Nota kesepahamannya sudah ditandatangani pada 7 Desember 2020 lalu.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan