Mencermati Risiko Bank Genggam Rp 1.500 T Surat Utang Negara

123RF.com/Sembodo Tioss Halala
Ilustrasi. Kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh perbankan per 18 Agustus 2021 mencapai Rp 1.527,64 triliun.
Penulis: Agustiyanti
27/8/2021, 20.03 WIB
  • Kepemilikan surat utang negara oleh perbankan bertambah hampir Rp 1.000 triliun selama Pandemi Covid-19. 
  • Besarnya penempatan dana bank di SBN menunjukkan ekonomi belum normal.
  • Porsi kepemilikan bank di SBN yang besar, menggantikan asing mampu menahan gejolak pada rupiah.

Pandemi Covid-19 membuat likuiditas bank melimpah. Gelontoran likuiditas perbankan dan simpanan masyarakat yang meningkat belum mampu disalurkan secara maksimal sebagai kredit.  Surat utang negara pun menjadi peraduan bank untuk menempatkan dana.  

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR), kepemilikan surat berharga negara (SBN) oleh perbankan per 18 Agustus 2021 mencapai Rp 1.527,64 triliun. Jumlah ini melonjak hampir Rp 1.000 triliun dibandingkan sebelum pandemi pada Desember 2019 sebesar Rp 581,37 triliun.  

Porsi kepemilikan perbankan di SBN pun meningkat dari 21,12% menjadi 35,54%. Perbankan mengambil alih porsi kepemilikan asing yang anjlok dari 38,75% menjadi 22,54%.  Adapun total SBN yang beredar hingga Agustus 2021 mencapai Rp 4.325 triliun, melonjak dibandingkan posisi Desember 2019 sebesar Rp 2.752 triliun. 

SBN mendominasi utang pemerintah hingga Juni 2021, seperti tergambar dalam databoks di bawah ini. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, porsi kepemilikan perbankan di SBN yang membumbung sebenarnya menunjukkan bahwa bahwa bank kesulitan menjalankan fungsi intermediasi. Berdasarkan data OJK, penyaluran kredit hingga Juli 2021 hanya mencapai 0,5% secara tahunan, sedangkan dana pihak ketiga tumbuh 10,43%.

 “Perbankan saat ini mengakumulasi SBN dalam jumlah cukup tinggi, karena mereka kesulitan menjalankan fungsi intermediasi," kata Suahasil dalam Sarasehan 100 Ekonom, Kamis (26/8).

Hal ini, menurut dia, menjelaskan bahwa kondisi ekonomi belum sepenuhnya normal. Permintaan kredit saat ini masih lemah, terutama di tengah pembatasan mobilitas saat ini. Bank juga lebih selektif dalam menyalurkan kredit karena melihat risiko yang tinggi di tengah pandemi saat ini. 

Namun di sisi lain, menurut dia, pemerintah membutuhkan pembiayaan untuk mendanai APBN yang dieksekusi melalui penerbitan SBN. Obligasi negara pun menjadi alternatif bagi perbankan yang membutuhkan instrumen menguntungkan dengan risiko rendah.

“Kami harap ini jangka pendek dan kalau pemulihan ekonomi kembali terjadi, bank kami harapkan kembali menjalankan fungsi intermediasinya,” kata Suahasil.  

Ekonom Faisal Basri menjelaskan, sektor keuangan khususnya perbankan dapat dianalogikan sebagai jantung pada perekonomian. Jantung memiliki tugas menyedot darah dan memompakannya kembali ke sekujur tubuh. 

“Bank berfungsi menyedot dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, giro, dan tabungan. Dana yang terhimpun dipompakan kembali ke dalam perekonomian dalam bentuk pinjaman dan kredit,” ujar Faisal dikutip dari laman Faisalbasri.com

Ia mengatakan, jantung perekonomian Indonesia tak kunjung optimal, bahkan sejak sebelum krisis 1998. Kondisinya bahkan sangat lemah dibandingkan negara-negara tetangga dan rata-rata negara berpendapatan menengah bawah.  

“Wabah Covid-19 semakin memperlemah jantung perekonomian. Bank semakin kikir menyalurkan kredit, padahal dana masyarakat yang disedot terus mengalir deras,” katanya. 

Jika kondisi ini terus berlanjut, menurut Faisal, organ-organ perekonomian akan mengalami kesulitan karena kekurangan darah. “Jangan terlalu berharap akan segera terjadi pemulihan ekonomi,” kata Faisal. 

Pemerintah dan regulator sektor keuangan juga telah memberikan beragam insentif untuk mendorong pertumbuhan kredit agar pemulihan ekonomi lebih cepat. Insentif berupa penurunan tingkat suku bunga, penjaminan kredit, penempatan dana di perbankan, subsidi bunga bagi UMKM, pelonggaran ketentuan uang muka properti dan kendaraan. 

Meski insentif digelontorkan sejak tahun lalu, penyaluran kredit baru berhasil bangkit dari kontraksi pada Juni dan berlanjut pada Juli. Namun, pertumbuhannya nyaris stagnan yakni berada di bawah 1%. 

Risiko Saat Kredit Tumbuh

Posisi kepemilikan perbankan sudah menyalip asing sejak kuartal dua tahun lalu. Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai, porsi perbankan yang besar pada surat berharga negara membantu menahan kenaikan yield saat terjadi gejolak di pasar keuangan. Hal ini juga berdampak pada kondisi rupiah yang lebih stabil. 

"Kontribusi bank saat kredit lambat adalah melalui pembelian SBN. Harapannya, pemerintah dapat menjadi lokomotif dalam menggerakkan ekonomi karena pengusaha juga saat ini masih wait and see," ujar David kepada Katadata.co.id. 

David menjelaskan, banyak pengusaha yang masih menahan diri untuk melakukan ekspansi dan menarik pinjaman. Ini karena ketidakpastian yang masih tinggi akibat Pandemi Covid-19. Meski demikian, menurut dia, beberapa sektor memang mencatatkan kinerja yang baik, bahkan sejak tahun lalu.

"Ketidakpatian masih tinggi, terutama kemarin karena varian Delta. Namun, ketika kondisi ekonomi pelan-pelan pulih, bank akan menyalurkan kredit dan porsi perbankan di SBN akan turun," ujarnya. 

Ia menjelaskan, saat ekonomi mulai pulih, permintaan kredit akan meningkan dan risiko penyaluran kredit menurun. Bank akan memilih untuk menyalurkan kredit lantaran margin yang jauh lebih tinggi dari penempatan dana di SBN. 

Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah juga harus memikirkan kemungkinan jika ekonomi mulai pulih dan perbankan mengurangi penempatan dana di SBN. Apalagi, jika minat asing mungkin masih akan lemah terutama karena rencana kebijakan tapering off Bank Sentral AS, The Federal Reserve.

Salah satu yang krusial, menurut dia, adalah memastikan kondisi fundamental ekonomi Indonesia baik dan tetap stabil. Dengan demikian, lembaga pemeringkat tak akan memangkas peringkat utang Indonesia yang dapat berdampak pada penilaian asing. 

Indonesia berhasil mempertahankan peringkat utang di level investment grade saat lembaga-lembaga pemeringkat global memangkas peringkat utang banyak negara lainnya. Selain itu, menurut dia, pemerintah harus mematikan pembiayaan yang diperoleh produktif dan mampu mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. 

"Pembiayaan yang diperoleh pemerintah ini paling penting bukan berasal dari mana, tetapi apakah diarahkan secara produktif. Eksekusi pencairan anggaran yang tidak terlambat juga sangat penting," katanya. 

Meski ada risiko bank mengurangi penempatan dana di perbankan, ia menilai pembiayaan pemerintah pada tahun depan tetap aman. Pemerintah tak akan kesulitan utang. Hal ini, menurut dia, antara lain didukung oleh kesepakatan dengan Bank Indonesia untuk tetap membantu pendanaan APBN hingga tahun depan. 

"Selain itu, tapering off juga belum pasti di mulai tahun ini. Bisa saja diundur menjadi tahun depan atau lebih mundur lagi, seperti saat tapering off 2013 sehingga dana asing masih berpotensi masuk," katanya.  

Pemerintah menargetkan pembiayaan utang dalam RAPBN 2022 mencapai Rp 973,6 triliun, turun dibandingkan APBN 2021 Rp 1.027 triliun. Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2022,  komposisi pembiayaan utang tahun depan terdiri atas rencana penarikan utang  Rp 1.058,4 triliun dan pembayaran cicilan utang sebesar Rp 84,8 triliun.

Adapun penarikan utang, akan terdiri atas penerbitan SBN neto sebesar Rp 991,3 triliun, penarikan pinjaman dalam negeri Rp 3,6 triliun serta penarikan pinjaman luar negeri Rp 63,5 triliun.

Pembiayaan utang berangsur turun sejak tahun ini dari Rp 1.229 triliun pada tahun lalu. Pemerintah bahkan memperkirakan realisasi pembiayaan utang hingga akhir tahun ini akan berada di bawah Rp 1.000 triliun. Adapun dalam jangka menengah, pemerintah berjanji akan terus menurunkan pembiayaan utang setiap tahun. Hal ini untuk mencapai defisit 3% pada tahun 2023 sebagaimana yang diatur dalam UU No 2 tahun 2020.

Reporter: Abdul Azis Said