Babak Akhir Sengketa 3 Dekade Hotel Sultan?

123RF.com/Andriy Popov
Ilustrasi sengketa Hotel Sultan
23/3/2023, 09.00 WIB
  • Pemerintah telah membentuk Tim Transisi Pengelolaan Blok 15, lokasi hotel Sultan.
  • Gugatan Indobuildco ke PTUN Jakarta dianggap 'makanan basi'. 
  • Indobuildco bersikukuh memiliki hak untuk memperpanjang kembali hak guna bangunannya. 

Butuh lebih tiga dekade bagi negara untuk memenangkan aset ini. Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) akhirnya mengambil alih pengelolaan Blok 15 di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. Di area ini terdapat Hotel Sultan yang telah berdiri sejak 1976. 

Langkah pemerintah sejalan dengan keputusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap. Pengambilalihan terjadi setelah PT Indobuildco sebagai pengelola tidak membayar royalti, bunga, dan denda atas hak guna bangunan (HGB) senilai US$ 2,25 juta (sekitar Rp 34,6 miliar) selama 16 tahun.

Namun, Indobuildco menolak keputusan itu dan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Direktur utama Indobuildco Pontjo Sutowo menggugat Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 169/HPL/BPN/89.

Surat yang terbit pada 15 Agustus 1989 itu memberikan hak pengelolaan (HPL) tanah di Kelurahan Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, kepada Kemensetneg, khususnya ke Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan. Surat ini bermuara ke penerbitan HPL Nomor 1/Gelora.

Sekretaris Kemensetneg Setya Utama menyayangkan langkah Indobuildco. Padahal, majelis hakim Mahkamah Agung telah secara konsisten menegaskan keabsahan surat tersebut, yang tercermin dari empat peninjauan kembali (PK). 

PK pertama diputuskan pada 23 November 2011. Kedua, pada 19 Desember 2014. Ketiga, pada 4 Desember 2020. Terakhir, pada 21 Juni 2022. “Putusan-putusan PK dari Mahkamah Agung yang konsisten tersebut telah membantu pemerintah untuk menyelamatkan aset negara strategis,” katanya dalam siaran pers pada Jumat lalu.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hadi Tjahjanto sebelumnya mengatakan siap menghadapi gugatan yang dilayangkan Pontjo Sutowo dengan mengikuti proses beracara di pengadilan tata usaha negara. "Kami juga meyakini akan memenangkan kembali perkara tersebut," ucapnya dalam konferensi pers 7 Maret lalu.

Hotel Sultan. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.)

Tim Transisi Pengelolaan Blok 15 GBK

Pengambilalihan lokasi Hotel Sultan terjadi di tengah upaya pemerintah memperbaiki kawasan Gelora Bung Karno (GBK) untuk menggelar acara besar. Termasuk dalam event ini adalah Piala Dunia U-20 FIFA. 

Pemerintah berencana memperbaiki infrastruktur, menata kawasan, menambah area parkir, memperbaiki aksesibilitas, menyediakan fasilitas pendukung, menata hutan kota, dan menata ruang terbuka hijau, termasuk kawasan Blok 15. Tim Transisi Pengelolaan Blok 15 pun telah terbentuk.

“Sesuai ketentuan, bisa dikerjasamakan dengan pihak lain yang memiliki kompetensi untuk mengelola kawasan, mengelola aset, mengelola hotel, dan residen serta lain-lain atas aset yang berada di atas hak pengelolaan (HPL) 1 dan di Blok 15 itu,” ucap Setya.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan gugatan Indobuildco ke PTUN tidak akan mempengaruhi keberlangsungan Tim Transisi. “Karena ibarat makanan, gugatan yang diajukan itu makanan basi," kata Edward, yang juga menjabat Ketua Dewan Pengawas Pusat Pengelolaan Kawasan GBK, pada pekan lalu. 

Pada kesempatan yang sama, Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung RI Feri Wibisono mengatakan, Kemensetneg telah mengirimkan surat kepada PTUN Jakarta. Surat ini menjelaskan bahwa gugatan Indobuildco pernah diputuskan dalam perkara perdata. “Karena itu, tidak layak lagi diperiksa di PTUN,” ucapnya. 

Berdasarkan bukti-bukti persidangan, tanah wilayah GBK, termasuk Blok 15 yang saat ini ditempati Hotel Sultan, sudah habis masa berlaku hak guna bangunannya. "Kemudian, berdasarkan bukti yang disampaikan di persidangan, yang membangun hotel itu adalah Pertamina, (itu) keterangan dari Pak Adnan Buyung Nasution di persidangan perkara," kata Feri.

Lalu, ada pula keterangan dari mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang mengaku tertipu. Ia tidak menyangka Indobuildco ternyata tidak ada hubungannya dengan Pertamina. Padahal, ia meminta pembangunan hotel mewah tersebut kepada Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo, ayah dari Pontjo. 

Hotel Sultan (Instagram/Hotel Sultan)

Permintaan Ali Sadikin

Sengketa Blok 15 dimulai pada 1971. Ketika itu, Sadikin meminta bantuan ke Ibnu Sutowo,untuk membangun hotel. Pertamina menjadi pilihan utama karena badan usaha milik negara tersebut sedang kaya-kayanya. Pada 1970-an, negara ini mendapat cuan besar dari oil boom karena harga minyak sedang sangat tinggi. 

Gubernur yang akrab disapa Bang Ali itu menginginkan tempat menginap bagi peserta konferensi Pacific Asia Travel Association (PATA) pada 1974. Konferensi ini diperkirakan mendatangkan 2 ribu sampai 3 ribu orang. Saat itu hanya Hotel Indonesia saja yang memiliki kapasitas besar. 

Hotel pesanan Bang Ali akhirnya berdiri di sebagian lahan GBK pada 1976 dengan nama Jakarta Hilton International. Sesuai namanya, hotel ini adalah bagian dari Hilton International Group. 

Ali kemudian menyerahkan tanah seluas 13 hektare bekas Yayasan Kerajinan dan Kebudayaan Industri Rakyat kepada Indobuildco lewat Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 1744/71. Surat ini terbit pada 21 Agustus 1971.

Pada 1972, Indobuildco memperoleh hak guna bangunan untuk tanah tersebut lewat HGB No. 20/Gelora, turunan dari Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 181/HGB/Da/72 pada 3 Agustus 1972. Surat ini terbit kira-kira enam bulan setelah pengajuan. 

HGB tersebut berlaku untuk 30 tahun. Indobuildco lalu memecah HGB Nomor 20/Gelora menjadi dua, yaitu HGB Nomor 26/Gelora dan HGB Nomor 27/Gelora. Total luas dari kedua HGB tersebut mencapai 140.786 meter persegi.

Hotel Sultan. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Awal Sengketa Hotel Sultan

Pada 1984, Kemensetneg khususnya Badan Pengelola Gelora Senayan (BPGS) mulai mengelola kawasan Senayan lewat Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1984 tentang BPGS. Surat keputusan ini mengalihkan pengelolaan tanah dan bangunan, baik di dalam maupun luar kawasan Senayan, ke kementerian tersebut. 

Kuasa hukum Indobuildco Amir Syamsuddin dan Hamdan Zoelva mengatakan, masalah mulai muncul seiring dengan penerbitan surat keputusan tersebut, yang kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan BPN pada 1989.

Amir dan Hamdan menulis, kedua HGB milik perusahaan tidak masuk ke dalam HPL Nomor 1/Gelora. “Sehingga menurut hukum tanah nasional, bangunan-bangunan dengan segala isinya sesuai asas pemisahan horizontal adalah milik PT Indobuildco,” tulis keduanya dalam iklan di Harian Kompas pada 15 Maret 2023.

Indobuildco berhasil memperpanjang kedua HGB-nya pada 2003 hingga 20 tahun, yang didasari oleh rekomendasi dari Kemensetneg lewat Surat Menteri Setneg Nomor 187 A/M. Sesneg/10/1999. Kantor wilayah DKI Jakarta BPN memperkuat rekomendasi tersebut dengan menyatakan bahwa kedua HGB milik perusahaan tidak berada di atas HPL milik Kemensetneg lewat surat Kepala Kantor Wilayahnya.

Amir dan Hamdan menulis, kliennya memiliki hak untuk memperpanjang kembali kedua HGB-nya karena tidak ada putusan pengadilan yang menyatakannya cacat atau batal demi hukum. Perusahaan telah mengajukan perpanjangan ke BPN DKI Jakarta.

Menurut para kuasa hukum, kepala kantor wilayah DKI Jakarta BPN telah menulis surat pada 28 November 2022 yang memerintahkan pemeriksaan fisik dan yuridis terkait permohonan tersebut. “Artinya, permohonan pembaharuan hak atas HGB Nomor 26/Gelora dan Nomor 27 Gelora dari PT Indobuildco sudah dalam proses pembaruan,” tulis kedua kuasa hukum tersebut.

Namun, perpanjangan HGB milik Indobuildco pada 1999 terlibat dalam kasus korupsi. Pada 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman pidana tiga tahun ke kepala kantor wilayah DKI Jakarta BPN Robert Lumempouw. Ia dianggap menyalahgunakan wewenang, kesempatan, dan sarana dengan memperpanjang kedua HGB milik perusahaan tersebut.

Tersangka lain dalam kasus ini adalah Pontjo dan kuasa hukum Indobuildco Ali Mazi. Namun, pengadilan memvonis bebas baik Pontjo maupun Ali, yang saat itu merupakan Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif. Menurut Menteri Sekretaris Negara pada saat itu Yusril Ihza Mahendra, negara diperkirakan merugi hingga Rp1,9 triliun karena kasus korupsi ini.

Pada 31 Agustus 2006, usai putus kontrak dari Hilton Internasional, hotel tersebut berubah menjadi The Sultan Jakarta dan dikelola oleh Singgasana Hotels dan Resort. Cengkraman Pontjo Sutowo masih belum lepas dari hotel ini, sebab pemegang saham dan manajemennya masih sama seperti awal dibangun pada 1976. 

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman