Utang yang melonjak selama satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo meninggalkan beban bunga yang besar di tahun pertama Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Sekitar 15% dari belanja negara atau Rp 553 triliun dipatok untuk membayar bunga utang pada 2025.
Dalam nyaris 10 tahun terakhir, utang pemerintah naik lebih dari tiga kali lipat. Utang di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2024 yang mencapai 2.601,16 triliun, melonjak menjadi Rp 8.502,69 triliun per Juni 2024. Lonjakan utang terutama terjadi di era pandemi Covid-19, meski trennya sudah berlangsung sebelumnya.
Mengutip Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025, pembayaran bunga utang naik 10,8% dibandingkan 2024. Pemerintah akan membayarkan bunga utang dalam negeri Rp 497,62 triliun dan utang luar negeri Rp 55,23 triliun.
Pembayaran bunga utang memang tak semata dipengaruhi oleh lonjakan posisi utang. Ada faktor lainnya seperti suku bunga, nilai tukar rupiah, hingga program pengelolaan utang. Suku bunga tenor 10 tahun dipatok 7,1%, lebih tinggi dibandingkan tahun ini 6,7%. Nilai tukar rupiah diprediksi melemah di kisaran 16.100 per dolar AS.
Bagaimana Dampak Bunga Utang terhadap Belanja Negara?
Ekonom Senior CORE Yusuf Rendy Manilet melihat, proporsi belanja bunga utang terhadap total belanja pemerintah pusat memang naik signifikan dalam 10 tahun terakhir. Porsi beban bunga utang bahkan mencapai 21% terhadap belanja pemerintah pusat yang dipatok Rp 2.693,2 triliun dalam RAPBN 2025.
"Di saat bersamaan, pos belanja yang sifatnya lebih produktif seperti belanja infrastruktur secara proporsi peningkatannya relatif kecil. Dalam konteks mendorong perekonomian dalam 10 tahun ke belakang, ini bukanlah hal yang relatif baik," ujar Rendy kepada Katadata.co.id, Selasa (20/8).
Alokasi belanja negara tahun depan secara keseluruhan memang naik 8,66% dibandingkan tahun ini, bahkan menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah. Presiden Joko Widodo mematok belanja negara dalam Rancangan Anggaran Belanja Negara atau RAPBN 2025 mencapai Rp 3.613,1 triliun.
"Belanja Negara direncanakan sebesar Rp 3.613,1 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.693,2 triliun, serta transfer ke daerah sebesar Rp 919,9 triliun," ujar Jokowi dalam pidato Nota Keuangan RAPBN 2025 di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (16/8).
Namun demikian, tak semua pos belanja negara yang bersifat prioritas naik. Pos-pos belanja yang diamanatkan undang-undang memang relatif naik karena harus menyesuaikan dengan porsi terhadap belanja negara. Anggaran belanja pendidikan misalnya, diwajibkan mencapai 20% dari total belanja negara. Alokasinya dalam RAPBN 2025 naik 9,3% dibandingkan tahun ini menjadi Rp 722,6 triliun.
Alokasi anggaran kesahatan yang diwajibkan mencapai 5% dari belanja negara juga naik 6,12% menjadi Rp 197,5 triliun. Namun, anggaran infrastruktur yang memberikan dorongan bagi ekonomi justru turun.
Berdasarkan jenisnya, alokasi belanja Kementerian/Lembaga turun dari Rp 1.090,8 triliun pada APBN 2024 menjadi Rp 976,8 triliun. Penurunannya lebih signifikan lagi jika dibandingkan outlook 2024 yang mencapai Rp 1.198,8 triliun. Kenaikan belanja lebih banyak didorong oleh belanja non-K/L yang naik dari Rp 1.376,7 menjadi Rp 1.716,4 triliun.
Belanja non K/L, antara lain terdiri dari belanja subsidi energi dan nonenergi, belanja bantuan sosial, hingga pembayaran bunga utang. Selain bunga utang, belanja subsidi energi juga membengkak menjadi Rp 204,5 triliun dari Rp 185,9 triliun.
Anggaran 10 Kementerian/Lembaga yang memperoleh alokasi terbesar tahun depan pun, banyak yang dipangkas dari alokasi tahun ini, terutama Kementerian PUPR seperti tergambar dalam grafik di bawah ini.
Direktur Center of Economics and Law Studies atau Celios Bhima Yudhistira menilai, beban bunga utang memang dapat menghambat ruang fiskal pemerintahan Prabowo dan target pertumbuhan ekonomi 2025. Dalam RAPBN 2025, target pertumbuhan ekonomi hanya dipatok mencapai 5,2%, sama seperti target tahun ini dan tahun lalu.
“Kewajiban bayar bunga utang yang cukup besar akan mengambil porsi hasil penerbitan utang baru, sehingga jika Prabowo ingin menambah pembiayaan program yang butuh dana besar tidak optimal berasal dari utang baru," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (20/8).
Ia juga mengingatkan, ada risiko suku bunga tetap tinggi meski The Fed memberikan sinyal suku bunga Amerika Serikat akan turun. Ini terlihat dari proyek suku bunga SBN tenor 10 tahun dalam RAPBN 2025 yang diperkirakan mencapai 7,1%. "Pembayaran bunga utang dengan gali lubang tutup lubang juga menyisakan risiko pada 2026 beban bunga utangnya akan lebih besar lagi," kata dia.
Selain itu, menurut dia, penerbitan SBN yang cukup agresif untuk membayar kewajiban bunga utang maupun pokok utang berdampak pada perebutan dana deposito perbankan. Pemerintah juga memiliki utang jatuh tempo mencapai Rp 800 triliun pada tahun depan
"Kan menarik sekali parkir dana di SBN bunga 7% ketimbang parkir deposito di perbankan. Ini dapat mengakibatkan bank malas salurkan pinjaman. Crowding out effect bisa hambat pertumbuhan sektor riil," ujarnya.
Kepala Ekonom BCA David Sumual juga melihat, pembayaran bunga utang memang naik signifikan dari 1,5% terhadap PDB saat Jokowi memulai pemerintah menjadi 2,1% terhadap PDB. "Namun kalau kondisi moneter global lebih longgar tahun depan sebenarnya target pertumbuhan relatif bisa tercapai tanpa APBN yang terlalu ekspansif," kata dia.
Baca di halaman berikutnya:
- Bagaimana Nasib Program Makan Bergizi Prabowo?
- Mungkinkah Prabowo Merombak APBN yang Disusun Jokowi?