Terlalu Banyak Juru Masak di Sektor Migas

Donang Wahyu|KATADATA
Sudirman Said
Penulis: Sudirman Said
Editor: Yura Syahrul
21/3/2016, 17.27 WIB

Bagaimana dengan Proyek Masela yang jangka waktu produksinya singkat, kontraknya berakhir pada 2028?

Masela akan diputuskan sesuai jadwal. Jadi, tidak mungkin diperpanjang (masa kontraknya saat ini). Toh mulai 2018, mereka (kontraktor) sudah bisa mengajukan perpanjangan kontrak. Kalau sudah bangun dan investasi sebesar itu, ya masuk akalnya kontraknya diperpanjang. Siapa yang mau investasi US$ 14 miliar tanpa kepastian. 

Bagaimana nasib divestasi saham Freeport?

Kami sudah menyampaikan pesan (bersedia membeli saham divestasi Freeport). Waktu 90 hari (penyelesaian transaksi) itu setelah harga disepakati. Jadi kita punya waktu yang fleksibel. Sebelum harga disepakati, tidak ada keterikatan kapan akan diputuskan. Saya kira itu lebih baik. (Harga divestasi) ini soal metode. Metode pemerintah adalah placement cost, sedangkan Freeport menetapkan (harga divestasi) berdasarkan potensinya. Ini akan menjadi crucial point juga, karena pemerintah akan ditanya: kalau pemerintah beli (sekarang) artinya (kontrak Freeport) diperpanjang dong. Kalau tidak diperpanjang, buat apa pemerintah membeli saham Freeport.

Jadi, perlu memperpanjang kontrak Freeport?

Kebijakan harus masuk akal. Kita memaksa perusahaan tambang bangun smelter, termasuk Freeport. Smelter Freeport yang baru, menjadi masuk akal (perhitungan investasinya) kalau ada underground mining. Kalau underground mining tidak terjadi, maka tambang daerah di sana akan habis pada 2017. Smelter yang dimiliki tidak cukup mendapatkan pasokan bahan baku. Supaya underground mining berjalan, harus ada perpanjangan (kontrak). Sebab, kalau ada perpanjangan, baru Freeport membangun smelter.

Kapan perpanjangan kontrak dilakukan?

Peraturan menyebutkan, perpanjangan baru bisa diajukan dua tahun sebelum kontrak habis. Nah, di sini ruang dispute-nya, karena Freeport memegang perjanjian kontrak yang menyatakan permintaan perpanjangan kontrak bisa dilakukan setiap saat. Saya berusaha meyakinkan Freeport agar jangan masuk arbitrase. Sebab, nanti cuma rame, tapi tidak ada solusi. Bottomline-nya, saya harus menyelamatkan industri dan dampak ekonominya, agar tidak mati. Jangan sampai kegiatan tambang di Timika berhenti.

Ada pendapat, pemerintah tidak usah membeli saham dan perpanjang kontrak Freeport. Toh, nantinya akan jatuh ke tangan Indonesia?

Mari kita bicara jujur, mengganti operator tambang itu kompleks. Harus dihitung, seberapa cepat dan seberapa mudah. Jangan cuma kepal tangan kiri dan mengatakan nasionalisme. Kita ngomong yang masuk akal. Kalaupun (operator) diganti, apakah lima tahun cukup dan terjadi transisi yang smooth. Apalagi ada potensi arbitrase.

Kenapa ribut-ribut, yang penting jaga nilai negara. Soal kepemilikan bisa dibicarakan ke depan. Kerja saya setahun, yaitu untuk meyakinkan Freeport agar mau mengikuti hukum yang kita terapkan. Mereka tidak ngotot kontrak karya, tapi bisa menerima rezim IUP (izin Usaha Pertambangan). Itu suatu kemajuan. Menurut saya, jangan kita mengerdilkan diri seolah yang kita kerjakan untuk kepentingan asing.

Bagaimana hasil renegosiasi kontrak Freeport?

Kalau bicara 17 poin (renegosiasi kontrak), sebetulnya kita punya banyak kemajuan. Sebanyak 11 poin keinginan pemerintah daerah dipenuhi. Mulai dari menggeser kantor operasional, menggunakan Bank Papua, pengelolaan bandara diserahkan kepada pemerintah daerah, putra daerah (karyawan Freeport) diperbanyak. Gubernur (Papua) mengatakan hampir semua terlaksana yang enam poin. Sedangkan empat poin sudah disepakati walaupun kontrak belum ditandatangani. Ada kenaikan royalti dan Freeport sudah mulai membayarnya.

Bagaimana nasib rencana Dana Ketahanan Energi (DKE)?

DKE sudah jelas. Dananya nanti dihimpun bukan dari masyarakat, tapi badan usaha baik hulu, hilir, dan tidak akan menambah pungutan baru. Kami bicara dengan Menteri Keuangan, apakah bisa disisihkan sekian persen dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Saya mengapresiasi Komisi VII DPR yang menyuarakan ini barangkali waktunya ngomong pergeseran subsidi BBM, karena Indonesia tidak punya cadangan strategis. Uangnya untuk mempercepat listrik di kawasan timur Indonesia. Pemerintah hanya ingin menyehatkan industri dan subsidi itu jatuh ke masyarakat yang berhak.

Soal harga BBM yang dianggap sejumlah pihak kemahalan? 

Kalau harga BBM Indonesia dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, dan Thailand, itu tidak masuk akal. Karena kondisi geografisnya berbeda. Malaysia cuma mengurus satu pulau daratan, ditambah Serawak. Thailand ada di daratan dan luasnya lebih kecil dari Indonesia. Sedangkan kita mengurus ribuan pulau. Jadi tidak fair membandingkannya. Pertamina juga menetapkan harga tidak sendirian. Hitungan itu bisa diaudit dan tak ada yang disembunyikan.

Bagaimana penetapan harga BBM pada April nanti?

Kami menetapkan harga BBM tiga bulan sekali. Awalnya dituntut tiap bulan, (tapi) harganya naik turun. Lalu, ada yang minta enam bulan atau setahun. Kalau setahun, perbedaan (harganya) tinggi, kasihan adjusment-nya. Akhirnya ketemu (skema) tiga bulan, dan menteri diberi kewenangan mengaturnya. Untuk 1 April, hitungannya (harga BBM) akan turun lumayan signifikan. Solar bisa dicabut saja subsidinya. Sedangkan Premium mungkin (turun) Rp 800 sampai Rp 1.000.

Desakan penurunan harga BBM cukup deras…

Saya sangat hati-hati menurunkan harga BBM. Kalau turun terlalu dalam, tapi ternyata sewaktu-waktu (harga minyak) bisa naik. Kita lihat sejarahnya. Menurunkan harga BBM berapa pun tidak serta-merta menurunkan ongkos angkutan umum. Sebaliknya, (harga BBM) naik 200 rupiah saja, bahkan belum naik, harga barang-barang sudah naik. Yang jadi korban, orang paling bawah. Karena itu perlu adanya kompensasi. Ada pertanyaan juga, apakah (kelebihan harga BBM) sebaiknya tidak ditabung saja, untuk jadi buffer ketika harganya naik. Hal ini rasional, tapi secara politik belum tentu didukung.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra, Heri Susanto, Yura Syahrul, Arnold Sirait