Terlalu Banyak Juru Masak di Sektor Migas

Donang Wahyu|KATADATA
Sudirman Said
Penulis: Sudirman Said
Editor: Yura Syahrul
21/3/2016, 17.27 WIB

Konsep ‘energi untuk pertumbuhan ekonomi’ itu, apakah berarti mengurangi jatah pemerintah atau mengurangi ekspor?

Contohnya, suatu keadaan di mana gas diperlukan oleh perekonomian. Kita sadar salah satu caranya adalah pemerintah mengorbankan sektor hulunya berupa penurunan penerimaan negara. Yang penting, harga gas menjadi lebih rendah. Perlu pergeseran orientasi dari migas sebagai komoditas, menjadi untuk pembangunan.

Bagaimana perbedaannya?

Dalam konsep komoditas maka (gas) akan diambil sebanyak-banyaknya sekarang. Jangan dong, gas harus sebagai pendorong ekonomi. Dengan begitu, industri keramik bagus yang berbahan gas juga hidup.Terkait pemenuhan kebutuhan domestik, kita tahu selama ini ada kekonyolan. Sudah tahu minyak bisa diolah dan dibutuhkan di sini, tapi kenapa minyak itu mesti dibawa keluar, kemudian Pertamina membelinya untuk dibawa lagi ke dalam. Itu saya sebut kekonyolan. Ke luar ada ongkos angkut, (masuk) ke dalam ongkos lagi.

Jadi, perlu ada keputusan yang menggunakan sebanyak mungkin produksi migas untuk pasar domestik. Selain itu, perlu ditinjau kembali kebijakan fiskal yakni apakah sudah menunjukkan spirit energi untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Umpamanya, jangan semua dipajaki di depan. Contoh paling ramai kemarin, satu area eksplorasi yang belum tentu kapan munculnya dikenakan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Kami baru selesaikan masalah ini di level adhoc.

Jadi, bagaimana kebijakan jangka panjang migas?

Momentum revisi UU Migas menjadi penting. Pertama, perlu direvisi karena ada proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, ingin sinergikan atau menyelaraskan UU Energi dengan pelaksanaannya di migas. Harus ada policy baru yang lebih berorientasi pada pemanfaatan jangka panjang. Ketiga, mengkaji ulang seluruh asumsi.

Banyak pihak memprediksi harga minyak sulit kembali ke harga tahun 2008-2009. Penyebabnya, teknologi di bidang EBTKE (energi baru, terbarukan, dan konservasi energi) makin maju, murah dan volume makin besar. Ada istilah “the peak of oil demand”. Di titik tertentu, permintaan minyak mencapai puncaknya dan sesudah itu akan turun. Dengan kondisi ini, cara kita mengurus split (bagi hasil), tax (pajak), dan fiskal harus berbeda. Selain itu, UU perlu direvisi dan ditata karena ‘di dapur migas ini terlalu banyak koki’. Too many cooks in the kitchen. Kami ingin membereskan BPH Migas, Dirjen Migas, dan SKK Migas.

Posisi dan peran Pertamina juga akan ditinjau ulang?

Ada orang yang punya imajinasi, apakah Pertamina bisa kembali seperti dulu. Jawaban saya: tidak bisa. Pertamina harus didorong terus menjadi korporasi. Tidak boleh ada fungsi regulasi, tidak boleh ada fungsi pengawasan. Pertamina harus kompetitif. Benar, negara sebagai pemilik BUMN harus memberikan privilege (keistimewaan) dalam batas yang wajar. Tapi, jangan mengembalikan fungsi Pertamina seperti dulu. Karena, begitu regulatory body dicampur korporasi, itu menjadi mahluk yang susah diukur. Pertamina sudah sangat besar organisasinya, perkuat di hulu dan buat hilirnya semakin kompetitif. 

Mengenai “too many cooks in the kitchen”, selama ini ada benturan antarkementerian dalam mengelola industri migas?

Ada harapan dari pelaku industri, apakah Kementerian ESDM bisa menjadi satu rumah yang mengambil peran-peran yang ada di kementerian lain terkait sektor migas? Bahkan, IPA (Indonesian Petroleum Association) menyampaikan rekomendasi, antara lain seperti itu. Tapi ternyata BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) bisa (memerankan itu). PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang dulu setengah mati mengumpulkan izin-izin di seluruh tempat, ternyata kini bisa (direalisasikan). Memang belum sempurna. Tapi, yang semula harus keliling, sekarang sudah lumayan. Jadi, tergantung koordinasi saya dengan kementerian lain.

Selain perizinan, bagaimana dengan banyaknya regulasi yang terkait stakeholder migas?

Yang dibilang terlalu banyak itu begini. Kementerian Keuangan itu fokus penerimaan negara, pajak, royalti. Sepanjang hitung-hitungannya bisa memenuhi target kementerian, yang melaksanakan tidak harus mereka. Perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup bisa di BKPM pelaksanaannya. Kementerian Agraria yang terkait dengan hak tanah dan sertifikasi, sudah ada PTSP.

Pelaku industri tidak sekadar protes dan tidak boleh manja, tapi juga (harus) memberikan solusi. Duduk sama-sama, mana yang bisa disederhanakan. Yang juga sering ditekankan Presiden adalah inisiatif (perubahan) ini baru terjadi di pusat. Pengeboran itu berkaitan dengan Pemda. Jadi, kami memahami banyak aspek perlu dibenahi, tapi saya melihat kemajuannya.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra, Heri Susanto, Yura Syahrul, Arnold Sirait