Uni Eropa meluncurkan regulasi anti-deforestasi yang menyasar delapan komoditas, termasuk CPO. Kebijakan ini meningkatkan kekhawatiran di kalangan industri dan pemerintah soal potensi hambatan arus ekspor komoditas asal Indonesia.
“Tidak ada diskriminasi dalam kebijakan ini. Sebagai konsumen, kami ingin memastikan produk yang kami konsumsi bebas deforestasi,” ujar Dubes Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket.
Kendati demikian, regulasi ini menambah rekam jejak perselisihan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa yang sudah berlangsung beberapa waktu terakhir. Sebelumnya, Indonesia beberapa kali menggugat UE ke WTO untuk beberapa isu seperti baja dan nikel.
Saat menyambangi kantor Katadata, Dubes Vincent Piket bercerita ia tetap optimistis dengan relasi Indonesia dan UE meskipun ada perselisihan dagang. “Kami butuh partner yang bisa dipercaya, dan kami percaya dengan Indonesia,” katanya.
Berikut petikan wawancaranya:
Indonesia dan Uni Eropa telah menjalin hubungan kuat selama beberapa dekade, tetapi kini diwarnai sejumlah perselisihan perdagangan di WTO. Bagaimana Anda melihatnya?
Saya melihat hubungan Indonesia dan UE masih sangat bagus. Kita punya relasi yang stabil dalam hal perdagangan dan investasi yang masih berpotensi tumbuh semakin besar. Oleh karena itu kita menegosiasikan pakta perdagangan Indonesia-European Union Comprehensive Partnership Agreement (IEU CEPA).
Memang untuk spesifik kasus tertentu ada dispute, tetapi tidak perlu didramatisasi. Kita sedang upayakan dengan sudut pandang perdagangan internasional dan saya yakin bisa diselesaikan dengan baik.
Jadi meskipun ada perselisihan, Anda masih melihat kedua entitas ini punya hubungan yang bagus?
Tentu saja. Kita tidak punya pilihan selain berpartner, khususnya ketika saat ini dunia sedang tidak stabil. Kita membutuhkan partner terpercaya, dan kami percaya dengan Indonesia. Kita melihat nilai-nilai yang fundamental dalam relasi multilateral.
Uni Eropa baru saja menerbitkan regulasi anti-deforestasi yang meningkatkan kekhawatiran terhadap komoditas Indonesia terutama CPO. Bisa dijelaskan soal regulasi ini?
Aturan ini terinspirasi dari keinginan kami sebagai konsumen untuk ikut berkontribusi terhadap produk-produk yang bebas deforestasi. Kami membeli banyak produk CPO dan kayu dari Indonesia dan kita akan terus membelinya. Namun, kita ingin memastikan produk yang kami beli tidak mendorong pembabatan hutan.
Jadi kami ingin memastikan rantai pasok komoditas dari tempat produksi ke pasar tidak berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan.
Bagaimana aturan ini diimplementasikan?
Sederhana. Tidak ada kewajiban khusus bagi Pemerintah Indonesia. Kewajiban justru ada pada importir di Eropa yang harus menyediakan uji tuntas, yang menyebut produk yang diimpor tidak menyebabkan deforestasi. Kita akan mengandalkan tools-tools yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, sudah ada Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), ini yang mau kita andalkan juga.
Aturan ini menyebut batas waktu deforestasi di 2020?
Iya betul. Itu kita pilih karena berkaitan dengan waktu SDG’s disepakati oleh negara-negara di dunia, termasuk oleh Indonesia. Kita tidak akan menghukum negara produsen atas apa yang terjadi di masa lalu. Kita lebih melihat bagaimana kebijakan saat ini. Ini juga berlaku terhadap perusahaan di dalam UE, jadi tidak ada diskriminasi.
Ada spesifik target komoditas yang disasar?
Saat ini ada delapan komoditas yang kita sasar. Ada kedelai, CPO, kayu, daging sapi, kakao, karet, kopi dan beberapa produk turunan seperti kulit cokelat, dan furnitur. Pemilihan komoditas ini berbasis studi yang kami rasa berhubungan erat dengan deforestasi. Komoditas-komoditas ini nanti akan kita tinjau ulang dalam beberapa tahun ke depan.
Beredar kabar Pemerintah Indonesia dan Malaysia akan berkolaborasi merespons kebijakan ini, bagaimana UE menanggapinya?
Kami mengundang pejabat dari kedua negara untuk berdiskusi. Para petinggi kedua negara akan datang ke kantor pusat UE di Brussel untuk menjernihkan persoalan agar tidak timbul kesalahpahaman. Kami juga merasa ini masa yang penting untuk konsultasi. Saya juga sudah bertemu dengan banyak pejabat, perwakilan perusahaan untuk menjelaskan sistemnya.
Kita ingin meringankan kekhawatiran yang saat ini masih ada. Sebetulnya ada pemahaman bahwa ini adalah tujuan bersama yang harus kita kejar. Indonesia ingin menyetop deforestasi, begitu juga dengan kami. Jadi tujuannya identik, tinggal kita cari solusi bersama.
Tahun ini Indonesia akan menjadi tuan rumah Asean Summit, bagaimana Anda melihat peran Indonesia dalam Keketuaan Asean?
Kawasan Asean kini menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi. Itu sangat relevan untuk kami. Jadi kami terbuka dengan kolaborasi, fasilitasi perdagangan dan isu keberlanjutan yang juga menjadi fokus Asean. Selain itu, isu global saat ini tidak stabil dan kami merasa ada isu-isu strategis yang yang menjadi kepentingan bersama.