Mitsubishi Power, salah satu pemain besar global di dalam penggunaan energi hidrogen, menilai Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan hidrogen dan amonia dalam transisi energi menuju target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Mitsubishi Power merupakan salah satu pionir dalam penggunaan co-firing hidrogen di Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) untuk mengurangi emisi karbon dan melakukan dekarbonisasi dengan co-firing amonia pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Pekan lalu, jurnalis Katadata Hari Widowati berkesempatan mewawancarai Akihiro Ondo, Managing Director dan CEO Mitsubishi Power Asia Pacific Pte. Ltd., di sela-sela Enlit Asia 2023 - pameran energi terbesar di Asia Tenggara - yang diselenggarakan di ICE BSD, Tangerang Selatan. Berikut ini rangkuman wawancara tersebut.
Apakah Anda bisa menjelaskan sekilas mengenai Mitsubishi Power dan bisnisnya di Indonesia?
Mitsubishi Power adalah lini pembangkitan dari Mitsubishi Heavy Industries (MHI), Jepang. Kami menyediakan solusi pembangkit tenaga listrik untuk setiap negara dan setiap konsumen di Asia Pasifik.
Aktivitas kami di Indonesia dimulai sejak 1960. Kami menyuplai lebih dari 18 Gigawatt (GW) atau sekitar 30 persen dari kapasitas listrik di jaringan listrik Jawa-Bali. Aplikasi kami mencakup Gas Turbine Combine Cycle (GTCC) untuk PLTGU dengan teknologi mutakhir kemudian geothermal, biomassa, dan teknologi pembangkitan yang lain.
Proyek terakhir kami adalah PLTGU Muara Karang dengan kapasitas 500 Megawatt (MW). Pembangkit ini menyediakan listrik yang paling efisien dan dapat diandalkan untuk mendukung kelistrikan di Jakarta dan sekitarnya. Untuk layanan terbaru, kami menyediakan operation and maintenance (O&M) untuk PLN dan independent power producer (IPP) di seluruh Indonesia.
Kami sangat serius berkontribusi dalam dekarbonisasi dan transisi energi di Indonesia. Di MHI, kami tetapkan target untuk mencapai NZE pada 2040. Untuk mencapai road map net zero pada 2040, kami menggunakan berbagai teknologi bahan bakar yang lebih bersih.
Misalnya, hidrogen, amonia, kemudian biomass untuk co-firing, geothermal, dan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) yang terbukti sangat efektif. Dengan mempertimbangkan kondisi geografi Indonesia yang unik, termasuk sumber daya alamnya, kami mencoba menawarkan solusi yang realistis dan optimal bagi Indonesia.
Bagaimana Mitsubishi Power melihat hidrogen dan bahan bakar alternatif berperan dalam transisi energi di Indonesia?
Menurut kami, hidrogen dan amonia menjadi solusi yang sangat cocok untuk Indonesia. Kami mengetahui bahwa Indonesia menargetkan NZE pada 2060. Kami ingin berkontribusi dalam transisi energi ini.
Solusi yang paling realistis adalah dengan menggunakan co-firing hidrogen dan amonia. Untuk hidrogen, kami sedang memverifikasi penggunaan hidrogen di heavy duty gas turbine. PLTGU tipe GAC sudah bisa menggunakan co-firing 30% hidrogen.
Untuk amonia, kami verifikasi teknologi untuk direct co-firing amonia pada boiler batu bara. Kami juga memiliki teknologi pada tipe gas turbin yang lebih kecil, yang bisa menggunakan 100% amonia.
Untuk co-firing biomass, pengalaman kami cukup komprehensif di Jepang dan Eropa. Kami sediakan solusi yang feasible untuk Indonesia. Salah satu aspek co-firing biomass yang cukup menarik adalah hal ini bisa dilakukan secara bertahap. Hal ini tergantung dari dukungan pemerintah, keberadaan carbon tax, carbon market, serta kesiapan PLN atau IPP yang akan menentukan seberapa jauh co-firing dilakukan sehingga dapat meminimalisasi dampaknya pada harga listrik maupun kestabilan pasokan listrik.
Potensi penggunaan lain dari amonia dan hidrogen adalah untuk long term energy storage. Jika ada kelebihan daya dari renewable energy yang intermittent seperti energi surya atau angin, bisa dikonversi menjadi hidrogen. Hidrogen itu kemudian dikirim ke jaringan pada saat matahari atau tenaga angin tidak ada. Itulah mengapa hidrogen dan amonia punya peranan yang sangat besar di Indonesia.
Menurut Anda, pengalaman atau proyek apa yang dimiliki oleh Mitsubishi Power yang bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam pemanfaatan hidrogen dan energi alternatif?
Kami memiliki Takasago Hydrogen Park di Jepang di mana kami juga mengoperasikan pembangkit secara komersial. Baru-baru ini kami menginstal elektroliser untuk memproduksi hidrogen. Takasago Hydrogen Park, yang terletak di Takasago Machinery Works milik Mitsubishi Power, adalah pusat validasi teknologi hidrogen pertama di dunia.
Di fasilitas ini terdapat turbin gas H-25, turbin gas kelas 30-40 MW berbahan bakar hidrogen 100% yang akan menjalani verifikasi untuk mengurangi risiko yang terkait dengan pembakaran hidrogen. Hasil verifikasi teknologi co-firing hidrogen ini akan kami aplikasikan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Selain itu, kami memiliki proyek yang bernama Advanced Clean Energy Storage (ACES) Delta di Utah, Amerika Serikat (AS). Proyek ini menggunakan ekses energi dari energi surya dan angin untuk memproduksi hidrogen untuk disimpan di dalam gua garam (salt caves) alami yang berada di dalam tanah.
Proyek ini berada dekat dengan Salt Lake City di Utah, AS. Di sana ada banyak gua garam di dalam tanah, hidrogen diinjeksikan di dalamnya untuk disimpan.
Apakah teknologi yang digunakan untuk menginjeksikan hidrogen ke dalam gua garam ini sama seperti teknologi CCS di mana karbon diinjeksikan ke dalam saline equifer?
Kami menggunakan kompresor untuk menginjeksikan hidrogen ke dalam tanah. Hidrogen yang tersimpan akan digunakan di PLTGU yang akan beroperasi pada 2025 dengan porsi co-firing hidrogen 30%. Porsi co-firing akan ditingkatkan menjadi 50% dan akhirnya menjadi 100% pada 2040. Ini merupakan proyek yang berkelanjutan.
Kami juga menerima order dari Singapura sebanyak empat unit turbin gas untuk Keppel Infrastructure, Sembcorp Industry, dan Meranti Power yang dimiliki oleh pemerintah Singapura. Keempat unit turbin gas tersebut akan bisa membakar hidrogen 30% pada saat COD pada 2025/2026.
Apakah Mitsubishi sudah memiliki proyek atau kerja sama yang berjalan dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia, bisa dijelaskan progresnya?
Kami juga terlibat dalam feasibility studies (studi kelayakan) untuk PLN Group. Yang pertama, feasibility study dengan PLN Indonesia Power untuk co-firing hidrogen di PLTGU Muara Karang. Kedua, fesibility study dengan PLN EP untuk co-firing di Tanjung Priok.
Kami percaya yang paling penting dalam transisi energi adalah kolaborasi pemerintah dan swasta. Untuk meminimalisasi biaya dari proyek ini, kami ingin mendorong kerja sama antarpemerintah dalam Asia Zero Emission Community (AZEC) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). Kerja sama ini juga akan menunjukkan bahwa co-firing amonia dan hidrogen untuk pembangkit bisa menjadi opsi dalam transisi energi.
Kami juga memiliki nota kesepahaman (MoU) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan PLN. Studi kelayakan sudah kami selesaikan pada 2020. Kami juga memiliki joint reseach and development (R&D) untuk combustion yang akan kami lanjutkan dengan studi kelayakan co-firing amonia dan biomassa.
Kami akan terapkan hasil feasibility studies itu di pembangkit PLN yang sudah ada. Kami juga menerbitkan policy recommendation untuk co-firing biomass dengan persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah ada saat ini.
Dalam hal efisiensi, mana yang lebih baik apakah amonia atau biomassa untuk co-firing?
Kami masih mengevaluasi dari setiap co-firing amonia maupun biomassa. Kami akan menentukan kriterianya. Hal ini tergantung pada rantai pasok (supply chain), kebutuhan setiap konsumen juga berbeda.
Untuk beberapa konsumen, co-firing biomassa akan lebih ekonomis jika pasokannya stabil dan banyak sehingga bisa lebih murah. Adapun co-firing amonia lebih cocok untuk konsumen yang membutuhkan transportasi jarak jauh.
Banyak jenis biomassa yang kami pelajari, termasuk penggunaan wood chips, wood pellets, pada dasarnya kita bisa menerapkan banyak jenis biomassa.
Apakah Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pengembangan hidrogen dan mungkin bisa membangun fasilitas seperti Takasago Park di Jepang?
Indonesia memiliki potensi yang besar karena pertumbuhan ekonomi yang stabil dan pertumbuhan permintaan listrik juga terus meningkat. Kita bisa melakukan co-firing di PLTGU dengan efisiensi yang tinggi. Porsi co-firing hidrogen saat ini di PLTGU sudah mencapai 30% kemudian secara bertahap bisa kita tingkatkan rasionya menjadi 100%.
Kalau misalnya ada banyak solar photovoltaic (PV) yang dibangun dan ada ekses energi yang tidak bisa masuk grid, kelebihan energi ini bisa digunakan untuk menghasilkan hidrogen.
Dengan beberapa teknologi, seperti co-firing hidrogen dan amonia yang bisa ditingkatkan skalanya, kemudian CCS dan geothermal, ditambah dengan sinergi dengan Mitsubishi Power dan Mitsubishi Heavy Industries, Indonesia bisa mendapatkan solusi yang paling realistis dalam transisi energi. Tentu saja hal ini akan disesuaikan dengan kondisi pembangkit dan lokasinya.