Ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina berdampak terhadap perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia. Bank Indonesia (BI) memantau sekurangnya tiga dampak perang yang dapat berdampak terhadap perekonomian dalam negeri. 

Pertama, berbagai komoditas termasuk minyak mencatatkan kenaikan harga akibat situasi konflik. Harga minyak dunia jenis Brent per 21 Maret 2022 menembus level US$ 110,8 per barel atau naik 29% selama dua bulan ke belakang. Angka tersebut bahkan hampir dua kali lipat dari harga yang dipatok pemerintah dalam APBN 2022 sebesar US$ 63/barel.

“Harga komoditas global kami sudah melihat mengalami kenaikan, berkaitan minyak, gas, maupun komoditas pangan. Kami memperkirakan rata-rata harga minyak Indonesia bulan ini akan naik menjadi US$ 85-85 per barel dari asesmen Februari US$ 67-70 per barel,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Perry dalam konferensi pers, Kamis 17 Maret lalu. 

Menurut Perry, kenaikan harga minyak akan berpengaruh terhadap kondisi fiskal dan harga-harga di dalam negeri. Namun, dampaknya juga akan bergantung pada kebijakan pemerintah dalam menyikapi harga energi global.

Kenaikan harga minyak ini pun berdampak pada harga komoditas lainnya seperti bahan pokok. Kementerian Perdagangan mengungkapkan sejumlah harga pangan seperti gandum, kedelai impor, dan daging sapi melonjak disebabkan oleh konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.

Misalnya saja harga gandum, berdasarkan data Investing.com, per 21 Maret 2022 harga gandum di pasar internasional berada di level US$ 1.119,3/gantang atau naik 43,5% selama dua bulan ke belakang.

Kenaikan harga gandum ini tentu berdampak ke Indonesia. Sebab, industri makanan di Indonesia sangat bergantung kepada gandum impor dan pasokan dari Ukraina. 

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, sepanjang 2021 Indonesia mengimpor biji gandum dan meslin 11,2 juta ton dengan nilai total US$ 3,45 miliar. Adapun Ukraina merupakan negara terbesar kedua pemasok gandum dan meslin bagi Indonesia dengan kontribusi 24% dari total nilai impor gandum tahun 2021.

Kedua, potensi turunnya volume perdagangan dunia. Selain gangguan rantai pasokan akibat perang, pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara maju juga diperkirakan lebih rendah. Ini termasuk pertumbuhan ekonomi di negara-negara mitra dagang utama Indonesia. 

Dana Moneter Internasional (IMF) memastikan pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan melambat dibandingkan tahun lalu akibat dampak perang Rusia dan Ukraina. Pada awal Januari lalu, IMF memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh 4,4% pada 2022, turun 0,5 poin dari perkiraan Oktober yang sebesar 4,9%. 

IMF menyebut akan kembali memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global sebagai konsekuensi dari dampak perang Rusia dan Ukraina. Ini juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi dari negara-negara mitra dagang Indonesia, seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, India, dan Malaysia yang juga diprediksi turun.

(Baca: Perang Rusia-Ukraina Bisa Mengerek Harga Mi Instan dan Gorengan)

Ketiga adalah adanya ketidakpastian pasar keuangan global termasuk domestik. Hal ini disebabkan karena kenaikan suku bunga the Fed  dan percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju lainnya.

Hal tersebut mengakibatkan terbatasnya aliran modal dan meningkatnya persepsi investor global terhadap pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor cenderung memilih menempatkan dananya pada aset yang lebih aman dan menguntungkan.

Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti menyampaikan, pada Maret 2022 khususnya sejak konflik kedua negara tersebut memanas, arus modal asing keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) sekitar Rp 30 triliun  dan sekitar Rp 4 triliun di pasar saham.

Adanya ketidakpastian pasar keuangan global ini juga berdampak pada potensi tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Namun demikian, Destry mengukur dampak eskalasi konflik ini ke nilai tukar rupiah relatif lebih stabil dan bahkan cenderung menguntungkan.  

Berdasarkan data BI, pada 16 Maret 2022, nilai tukar rupiah menguat 0,38% secara point to point dan 0,01% secara rerata dibandingkan dengan level akhir Februari 2022.

“Meski, memang bila dibandingkan dengan level akhir 2021, nilai tukar rupiah tercatat mengalami depresiasi sekitar 0,42%. Namun, ini lebih rendah dari negara sebaya seperti Malaysia yang melemah 0,76%, India 2,53%, dan Filipina 2,56%,” Jelas Destry.