Sunan Giri adalah salah satu tokoh yang sangat terkenal dan banyak dibahas dalam literatur sejarah Jawa, khususnya dalam buku-buku babad Jawa. Sosoknya sering kali dihubungkan dengan tokoh-tokoh seperti Sunan Ampel, Majapahit, Raden Patah, serta berbagai nama lainnya, membentuk suatu narasi yang tak terpisahkan dari keberadaannya.
Sebagai bagian dari Wali Songo, Sunan Giri memiliki peran yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Dia dikenal sebagai seorang pendakwah yang terkenal, meraih pengikut dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat biasa hingga pintu-pintu istana Kerajaan Majapahit.
Sunan Giri menggunakan kesenian sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam. Ia menciptakan berbagai karya sastra seperti tembang dan permainan, di antaranya adalah lagu Lir-ilir, Dandang Gula, serta permainan tradisional cublak-cublak suweng.
Berkaitan dengan sosoknya, menarik mengetahui sosoknya lebih lanjut. Berikut ini biografi Sunan Giri selengkapnya.
Biografi Sunan Girl
Nama "Sunan Giri" diperoleh ketika Joko Samudro mendirikan sebuah pesantren sebagai bagian dari upaya dakwah Islamnya di sebuah perbukitan di Gresik, yang sekarang terletak di wilayah Desa Sidomukti, Kecamatan Kebomas.
Pesantren itu diberi nama Pesantren Giri karena berlokasi di daerah pegunungan. Dalam bahasa Jawa, "Giri" berarti gunung. Dari sinilah panggilan "Sunan Giri" muncul, dan melalui pendidikan di pesantren itulah dakwah Islamnya dimulai.
Sunan Giri lahir pada tahun 1442 M dengan nama Jaka Samudra. Ayahnya, Syekh Maulana Ishak, berasal dari keturunan Rasulullah SAW melalui jalur Husein, putra Sayyidah Fatimah. Sedangkan ibunya, Dewi Sekardadu, adalah anak dari Raja Blambangan, Bhre Wirabhumi, yang merupakan putra Maharaja Hayam Wuruk, penguasa Majapahit pada tahun 1350-1389 M.
Sunan Giri memiliki silsilah yang menunjukkan hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad melalui garis ayahnya. Nama aslinya adalah Muhammad Ainul Yaqin, tetapi dia juga dikenal dengan beberapa nama lain seperti Raden Paku, Joko Samudro, Abdul Faqih, dan Prabu Satmata. Nama "Sunan Giri" yang melekat padanya berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya.
Menurut cerita, sebelum kelahiran Sunan Giri, ayahnya diusir dari Blambangan karena mengajak Menak Sembuyu untuk masuk Islam. Ketika Sunan Giri masih bayi, dia dibuang ke laut karena dianggap membawa kutukan berupa wabah penyakit oleh penduduk Blambangan.
Dewi Sekardadu, ibunya, mencoba mencari anaknya di sepanjang pantai, tetapi dia meninggal sebelum bisa menemukannya. Ada pula versi cerita yang menyebutkan bahwa Dewi Sekardadu meninggal saat melahirkan Sunan Giri. Bayi Sunan Giri kemudian ditemukan dalam sebuah peti oleh awak kapal. Kemudian diserahkan kepada seorang saudagar perempuan di Gresik bernama Nyai Gede Pinatih.
Nyai Gede Pinatih kemudian mengangkat Sunan Giri sebagai anak dan memberinya nama Joko Samudro, karena ditemukan di laut atau samudra. Ketika dewasa, Joko Samudro belajar di bawah bimbingan Sunan Ampel di Surabaya.
Pada usia 7 tahun, Sunan Giri, yang saat itu masih dikenal sebagai Jaka Samudra, ditempatkan di Pesantren Ampel Denta yang didirikan oleh Sunan Ampel. Sunan Ampel kemudian mengganti nama Jaka Samudra menjadi Raden Paku.
Di pesantren tersebut, Sunan Giri belajar tentang ilmu agama, Al-Quran, hadis, fiqih, dan tasawuf di bawah bimbingan Sunan Ampel. Karena kecerdasannya dalam menyerap ilmu agama, ia diberi gelar Maulana Ainul Yaqin.
Setelah beberapa tahun menghabiskan waktu untuk pendidikan di pesantren, Sunan Giri melakukan perjalanan ke Tanah Suci. Dalam perjalanannya, ia menyempatkan diri untuk bertemu dengan Syekh Maulana Ishak di Aceh. Ayahnya, Syekh Maulana Ishak, menyarankannya untuk memperdalam ilmu agama dan memberikan pesan untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Gresik.
Sebelum memulai pembangunan pesantren, Sunan Giri juga terlibat dalam usaha dagang yang dimiliki oleh ibu angkatnya. Dia tidak hanya beroperasi di wilayah Jawa, tetapi juga menjangkau daerah-daerah lain, termasuk Makassar. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk melakukan dakwah dan menyebarkan agama Islam lebih luas.
Dengan mempertimbangkan pesan dari ayahnya, Sunan Giri kemudian memutuskan untuk mendirikan pesantren sendiri yang diberi nama Pesantren Giri Kedhaton. Lokasi pesantren ini dipilih di sebuah perbukitan di Gresik, dan pendiriannya dilakukan pada tahun 1487 M.
Seiring dengan perkembangan Islam, Giri Kedhaton berkembang menjadi sebuah kota dan menjadi pusat pemerintahan serta penyebaran Islam. Sunan Giri meninggal dunia pada tahun 1505 M. Jenazahnya dimakamkan di sebuah bukit di Dusun Kedaton, Desa Giri Gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.