Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang sangat baik untuk pertumbuhan hewan maupun tumbuhan. Indonesia juga tempat berkembangnya beragam penyakit, terutama penyakit yang dibawa oleh vektor, yakni organisme penyebar agen pathogen dari inang ke inang, seperti nyamuk yang banyak menularkan penyakit.
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh nyamuk spesies Aedes Aegypti dan aedes albopictus (DBD, 1999) sebagai vector primer, serta Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris serta Ae (Finlaya) niveus sebagai vektor sekunder. Biasanya juga terjadi penularan transsexual dari nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui perkawinan (WHO, 2009) serta penularan transovarial dari induk nyamuk ke keturunannya (Josi dan Sharma, 2001).
Banyak penderita DBD (DHF) berada di wilayah tropis dan subtropis, terutama wilayah Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia (Kurane, 2007). Ini karena virus dengue yang ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti (Supartha, 2008). Apabila seseorang terkena gigitan nyamuk spesies ini, akan ada gejala DBD berupa demam akut yang dialami oleh penderita dan biasanya mengalami perdarahan, shock, bahkan kematian. Seringkali kita menemukan spesies nyamuk ini berkembang luar biasa di penampungan air yang jarang dibersihkan, bak mandi, kaleng bekas, ban bekas maupun tempat-tempat tertentu yang dapat menampung air.
Lebih dari 100 negara dilaporkan terjangkiti virus dengue, terutama daerah perkotaan yang padat penduduk dan pemukiman seperti di Brasil, bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Diperkirakan 40 persen penduduk dunia atau sekitar 2, 5 miliar orang yang tinggal di daerah endemis DBD terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk (Knowlton dkk.,2009). Malavinge dkk (2004) melaporkan bahwa 90 persen DBD terjadi pada anak di bawah 15 tahun, ini berarti anak rentan terinfeksi oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk aedes aegypti.
Di Indonesia, data kematian akibat DBD secara umum menurun. Namun, di beberapa propinsi seperti, Gorontalo (6,1%), Maluku (6,0%) dan Papua Barat (4,6%) masih tinggi. Di beberapa propinsi, DBD pernah menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) pada tahun 1998 dan 2004 yang menyebabkan 79.480 orang penderita dan 800 orang lebih meninggal (Kusriastuti, 2010).
Pada tahun-tahun selanjutnya memang dilaporkan terjadi penurunan dalam kasus kematian tetapi perlu diketahui bahwa jumlah kasus terus bertambah. Pada tahun 2008, tercatat sebanyak 137.469 kasus dan kematian 1.187 orang. Pada 2009, sebanyak 154.855 kasus dan kematian 1.384 orang (Kusriastuti, 2010).
Gambar 2 Angka insiden DBD tahun 1968-2009 (sumber : Ditjen PP & PL DEPKES RI, 2009)
Gambar 3. Absolut kematian dan CFR DBD tahun 1968-2009
(sumber : sumber : Ditjen PP & PL DEPKES RI, 2009)
Untuk informasi DBD tahun 2016, diinformasikan jumlah kasus meninggal (Gambar 4), Incidence Rate per 100.000 penduduk (Gambar 5) dan Case Fatality Rate (Gambar 6) menurut provinsi dan Indonesia.
Dari gambar 4 diperoleh informasi bahwa jumlah kasus DBD di Indonesia terdapat 4 propinsi yang sangat tinggi yaitu, Jawa Timur (340 kasus), Jawa Barat (270 kasus), Jawa Tengah (213 kasus) dan Kalimantan Timur (103 kasus). Jumlah kasus terendah dicapai oleh Papua (0 kasus), NTT dan Sulawesi Barat (2 kasus) serta Kepulauan Bangka Belitung (3 kasus). Selengkapnya perhatikan gambar 4 untuk melihat secara detail kasus meninggal akibat DBD setiap Propinsi pada tahun 2016.
Gambar 4. Kasus meninggal DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan Indonesia
(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan Absalom Labola)
Pada gambar 5 terlihat Incidence Rate (IR) untuk setiap 100 ribu penduduk pada setiap provinsi pada 2016. Terlihat pada data ini, terdapat tujuh (7) provinsi memiliki IR di atas seratus atau rawan terjadi kasus DBD. Ke-tujuh provinsi tersebut adalah Bali (484), Kalimantan Timur (306), DKI Jakarta (198.7), DI Yogyakarta (167.9), Kalimatan Utara (158.3), Sulawesi Tenggara (123.3) dan Kalimantan Selatan (101.1). IR terendah dicapai oleh propinsi Papua (11.8) dan Kalimantan Barat (12.1). Keseluruhan Indonesia terbilang tinggi karena IR sebesar 78.0.
Gambar 5. IR DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan Indonesia
(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan Absalom Labola)
Sedangkan, berdasarkan gambar 6, diperoleh informasi persentase Case Fatality Rate (CFR) tertinggi pada tahun 2016, Propinsi Maluku (5.8%), Gorontalo (2.7%) dan Maluku Utara (2.7%). Propinsi dengan CFR terendah dicapai oleh Papua (0%), DKI Jakarta (0.1%) dan NTT (0.2%). Pada 2016, Indonesia mencatat CFR sebesar 0.8%. CFR merupakan satu indikator untuk menunjukkan tingkat angka kematian akibat satu penyakit tertentu. Semakin tinggi angka CFR mengindikasikan tingkat angka kematian semakin tinggi. Ini biasanya terkait dengan sarana dan prasarana kesehatan yang minim.
Gambar 6. CFR DBD Tahun 2016 Per Propinsi dan Indonesia
(Sumber data : Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017, Sumber gambar : Yostan Absalom Labola)
Secara umum Indonesia dapat menekan kasus meninggal akibat DBD pada tahun 2016 (1.6 kasus meninggal), CFR (0.8%) dan IR (78.0). Namun, angka Incidence Rate masih tergolong tinggi. Ini artinya Indonesia perlu menekan angka insiden DBD dan menurunkan persentase CFR. Selain itu, berdasarkan informasi data dari gambar (4, 5 dan 6) hingga pada 2016 masih terjadi kesenjangan akibat DBD pada beberapa provinsi. Oleh karena itu, upaya semua pihak sangat diharapkan untuk peduli terhadap DBD karena bisa berakibat fatal yaitu, kematian.
Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan memutus rantai penularan dengan memberantas penular maupun jentiknya. penggunaan vaksin untuk mencegah DHF masih dalam taraf penilaian, sedangkan obat yang efektif terhadap virus belum ada. Cara pencegahan ada dua, yaitu:
(a) Memberantas nyamuk dewasa, pengasapan (fogging) menggunakan bahasa insektisida. Pengasapan ini sangat efektif dan cepat memutuskan rantai penularan, karena nyamuk akan segera mati bila kontak dengan partikel-partikel insektisida.
(b) Memberantas jentik, meniadakan perindukannya, pemberantasan sarang nyamuk. Ini dapat dilakukan dengan: (1) Memberantas (menguras) tempat penyimpanan air, seperti bak mandi/WC, dan lain-lain, (2) Menutup rapat tempat penyimpanan/penampungan air (misalnya tempayan, drum, dll) agar nyamuk tidak dapat masuk dan bertelur, (3) Membersihkan pekarangan rumah/halaman, kemudian mengubur/membakar/membuang barang bekas yang dapat digenangi air (seperti kaleng, botol, ban bekas, tempurung), (4) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung secara berkala dan (5) Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk abate ke dalam genangan air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, untuk membunnuh jentik-jentik nyamuk.
Editor: Yostan Absalom Labola