Guna mewujudkan pemerataan pembangunan, pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur hingga 2019 melalui berbagai terobosan. Sejumlah langkah dilakukan untuk mendanai proyek-proyek tersebut
Nazmi Haddyat Tamara
Oleh Nazmi Haddyat Tamara
19 Oktober 2017, 21.03

Operator mengoperasikan alat berat dalam pembangunan salah satu bagian Tol Bawen-Salatiga (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Operator mengoperasikan alat berat dalam pembangunan salah satu bagian Tol Bawen-Salatiga (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra).

Sejak awal kepemimpinan pada Oktober 2014, pasangan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi infrastruktur sebagai fokus utama guna mewujudkan pemerataan pembangunan dan mendorong laju perekonomian. Namun, untuk mewujudkan agenda tersebut, pemerintah membutuhkan dana sangat besar.

Menurut kalkulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),  biaya yang diperlukan untuk proyek infrastruktur selama 2015-2019 sebesar Rp 4.700 triliun. Dari jumlah itu, pemerintah pusat menanggung Rp 1.645 triliun atau sekitar 35 persen. Sedangkan porsi lainnya diberikan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 23 persen dan swasta 42 persen.

Pada Oktober tahun ini, masa pemerintahan Jokowi-JK memasuki tahun ketiga. Anggaran infrastruktur yang dialokasikan di APBN terlihat terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun di balik alokasi anggaran tersebut, kerap muncul pertanyaan darimana sebenarnya dana pemerintah untuk membiayai pembangunan proyek-proyek tersebut?

  1. Pengalihan subsidi Energi

Pada awal memegang tampuk kekuasaan pada Oktober 2014, pemerintah Jokowi-JK menghadapi harga minyak mentah dunia cukup tinggi, masih di atas US$ 80 per barel. Untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pemerintah membuat gebrakan memangkas subsidi energi dan merealokasikan ke kegiatan yang lebih produktif, seperti infrastruktur. Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pun dinaikkan pada 18 November 2014.

 
 

Namun demikian, dalam perkembangannya, harga minyak mentah dunia terus menurun sehingga penerimaan negara dari hulu migas pun merosot. Harga minyak mentah dunia mencapai titik terendah pada Februari 2016 di level US$ 26 per barel. Jika pada 2014, penerimaan negara dari hulu migas mencapai Rp 305 triliun, namun pada 2015 dan 2016 masing-masing merosot menjadi Rp 121 triliun dan Rp 104 triliun.

Dengan turunnya harga minyak dunia, maka alokasi subsidi energi juga merosot sejalan dengan berkurangnya penerimaan negara dari hulu migas. Mengingat penerimaan dari hulu migas makin seret, maka dana dari penghematan subsidi energi yang bisa direalokasikan untuk infrastruktur semakin terbatas. Padahal, sepanjang 2015-2017, alokasi anggaran infrastruktur di APBN terus meningkat signifikan.

“Pengalihan belanja subsidi energi ke infrastruktur nyatanya menyisakan kesenjangan yang harus ditutup dari utang dan sumber lainnya,” kata ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adinegara.
  1. Penerimaan pajak
 
 

Sumber lain yang bisa digunakan untuk membiayai infrastruktur berasal dari penerimaan pajak. Penerimaan pajak cenderung stagnan atau tidak tumbuh signifikan seiring dengan turunnya harga komoditas. Pada 2012 penerimaan pajak masih tumbuh 12,2 persen, kemudian menurun pada 2013 dan 2014 menjadi 9,9 persen dan 6,4 persen, meski sempat tumbuh 8,1 persen pada 2015. Kendati sudah disokong oleh program amnesti pajak pada 2016, namun penerimaan negara tidak melonjak signifikan karena harga komoditas belum sepenuhnya pulih.

Pada tahun ini, dalam kurun waktu Januari-September, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 770,7 triliun mencapai 60% dari target dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Angka ini mengalami penurunan atau pertumbuhan negatif dibandingkan dengan kurun waktu yang sama tahun lalu. “Pajak menurun, tapi belanja infrastruktur tidak mau dipotong, ya repot,” ujar Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri dalam laman pribadinya.

  1. Utang

Mengingat penerimaan dari migas menurun dan pajak stagnan, sumber lain yang berpotensi digunakan untuk membiayai infrastruktur adalah dari pinjaman. Sepanjang tiga tahun terakhir, utang pemerintah setidaknya sudah bertambah lebih dari Rp 1.000 triliun. Hingga September 2017, posisi utang pemerintah mencapai Rp 3.825,8 triliun, sedangkan pada awal pemerintahan, warisan utang sebesar Rp 2,608.78 triliun.

 
 

Namun, ekonom Bhima Yudhistira mengingatkan penggunaan pinajaman untuk membiayai infrastruktur harus dilakukan secara hati-hati. Sebab, jika sampai memicu kecanduan utang, maka akan membuat ruang gerak fiskal makin sempit. Kebijakan fiskal jadi kurang luwes untuk meng-counter perlambatan ekonomi.

 Ancaman Defisit

Adanya ketidakseimbangan antara peningkatan belanja infrastruktur dengan seretnya penerimaan pajak, yang ditutup dengan pinjaman dikhawatirkan akan memicu defisit anggaran. Adanya defisit yang selalu ditutup dengan utang akan menjadi bom waktu yang nantinya terus meningkat bahkan mencapai titik batas yang diatur oleh Undang-undang.

 
 

Proyeksi defisit APBN-P 2017 yang mencapai 2,9 persen terhadap PDB perlu menjadi evaluasi pemerintah untuk memilah kembali belanja prioritas. Ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono mengingatkan pemerintah agar menunda dan membatalkan proyek yang bukan prioritas. Bukan tidak mungkin, melihat tren penerimaan pajak yang masih jauh dari target, defisit anggaran bisa tembus sampai di atas 3 persen. “Konsekuensi politik dan ekonominya terlalu mahal jika hal ini sampai terjadi,” kata dia.

Bhima Yudhistira menambahkan sebaiknya pengeluaran infrastruktur diatur ulang. Mewujudkan pemerataan pembangunan memang tugas mulia. Namun, sebelum terlambat, lebih baik memilih yang menjadi prioritas agar fokus dan aman. “Penghitungan yang tepat, lebih baik untuk keberlanjutan pembangunan jangka panjang.”

***

Nazmi Haddyat Tamara adalah Data Analyst dan Statistician Katadata. Saat ini, dia mengisi posisi tim Data pada divisi Riset dan Data Katadata. Menempuh pendidikan pada jurusan Statistika IPB dan telah berpengalaman dalam pengolahan dan analisis data pada berbagai topik. 

Catatan:

Semua data yang diolah pada tulisan ini diperoleh dari Kementerian Keuangan.

Editor: Nazmi Haddyat Tamara