Juli mendatang merupakan awal bagi mahasiswa dan mahasiswi memasuki tahun ajaran baru. Ratusan ribu lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) juga akan menapaki jenjang pendidikan baru di bangku kuliah. Sepanjang empat tahun ke depan, mereka akan belajar dan mendalami ilmu sesuai dengan pilihan jurusan masing-masing.
Para pelajar yang lahir setelah 1995-an ini dikenal sebagai generasi Z (Gen-Z). Bersama dengan generasi Y (Gen-Y) yang lahir pada periode 1981-1995, mereka populer dengan sebutan generasi milenial, sebuah kelompok demografi yang memasuki bangku kuliah pada tahun 2000, era milenium baru. Kelompok ini mempunyai ciri khas akrab dengan penggunaan teknologi komunikasi dan digital.
Berdasarkan temuan Pew Research Center, mereka merupakan generasi paling berpendidikan yang pernah ada. Di Indonesia, persentase generasi milenial yang mengenyam pendidikan terus meningkat selama 15 tahun terakhir. Pada 2003, hanya satu dari sepuluh milenial usia 19-24 tahun (lahir 1980-1985) masih melanjutkan pendidikan tinggi. Pada 2016, hampir seperempat milenial usia 19-24 tahun (lahir 1992-1997) adalah mahasiswa.
Dikenal sebagai generasi yang berpikir terbuka dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, bagaimana generasi milenial memilih jurusan di bangku kuliah?
Berdasarkan data jutaan mahasiswa yang diolah dari semua perguruan tinggi di bawah Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, jurusan yang terkait dengan ilmu-ilmu terapan, seperti teknik dan bisnis, selalu lebih populer di kalangan generasi milenial dibandingkan ilmu-ilmu murni, seperti fisika atau sosiologi. Hampir 87 persen mahasiswa yang terdaftar sejak 2009 hingga 2016 mengambil jurusan yang termasuk dalam ilmu terapan. Sedangkan, jurusan ilmu-limu murni hanya diambil oleh 12 persen mahasiswa generasi milenial.
Bahkan, untuk beberapa jurusan ilmu alam terapan dan ilmu rekayasa, seperti teknik dan arsitektur, meningkat sebesar 58 persen atau hampir 300 ribu orang pada 2016 dibandingkan 2009. Selama jangka waktu yang sama, terdapat pula peningkatan sebesar 52 persen atau sekitar 400 ribu orang pada jumlah mahasiswa ilmu sosial terapan, seperti bisnis dan urusan publik. Untuk ilmu formal terapan berupa jurusan komputer, sepanjang periode 2009 hingga 2016, hanya terlihat tren kenaikan jumlah mahasiswa sebesar 130 ribu orang.
Sedangkan, minat generasi milenial terhadap jurusan yang berkaitan dengan pendidikan formal justru terus mengalami penurunan. Pada 2009, sepertiga mahasiswa di Indonesia mengambil jurusan keguruan atau pendidikan. Namun, delapan tahun kemudian, jumlah mahasiswa keguruan turun signifikan hingga 21 persen. Pada 2016, hanya satu dari lima mahasiswa di Indonesia yang memilih jurusan yang menghasilkan para pengajar, seperti guru dan dosen ini.
Selain ilmu terapan, teknologi sudah begitu erat dalam menfasilitasi kehidupan generasi milenial juga turut mempengaruhi minat mereka terhadap seni dan budaya. Milenial cenderung lebih memiliki waktu untuk mengejar kebutuhan tersier tersebut karena kebutuhan pokok mereka sudah lebih terjamin berkat bantuan teknologi. Selama 2009 hingga 2016, jumlah mahasiswa humaniora mengalami peningkatan kedua terbesar setelah ilmu rekayasa (51 persen).
Di antara sejumlah jurusan humaniora, program studi keagamaan mengalami peningkatan jumlah mahasiswa paling signifikan. Jumlah mahasiswa ilmu-ilmu agama naik tiga kali lipat dari 15 ribu pada 2009 menjadi 48 ribu pada 2016. Studi keagamaan juga merupakan sub-disiplin dengan persentase peningkatan jumlah mahasiswa tertinggi dibanding jurusan-jurusan lain (213 persen). Sebaliknya, minat generasi milenial untuk mempelajari sejarah dan pengelolaan informasi yang sempat melambung kini menurun.
Belum jelas benar alasan dibalik kecenderungan pilihan jurusan dan karir para generasi milenial. Namun, banyak ahli telah mengidentifikasi karakteristik kunci dari mahasiswa generasi milenial, seperti diungkap oleh Starlink, konsultan pendidikan tinggi asal Amerika Serikat. Salah satu ciri khasnya adalah, “Doing is more important than knowing”. Generasi ini cenderung lebih memilih belajar bagaimana melaksanakan dan menghasilkan sesuatu dibandingkan menguasai pengetahuan atau fakta. Temuan Deloitte juga mengungkap temuan yang hampir serupa bahwa generasi milenial cenderung memilih pekerjaan yang membuat mereka mampu memberikan dampak pada masyarakat.
Starlink juga mengemukakan karakteristik lain dari pelajar dan mahasiswa milenial, yaitu, “Computers are not technology”. Memang, komputer dalam bentuk ponsel pintar maupun laptop sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup generasi milenial. Sekitar separuh aktivitas dan interaksi milenial dibantu oleh gawai digital. Oleh karena itu, tak heran mahasiswa milenial jurusan apapun turut menguasai ilmu komputer dan teknologi informasi.
Sebagai digital natives, generasi milenial yang lahir pada dekade 1990-an cenderung sudah menguasai penggunaan gawai digital sejak usia dini. Hal tersebut bisa jadi menjelaskan turunnya minat milenial untuk mempelajari ilmu komputer secara formal. Dibanding tahun 2014, mahasiswa jurusan komputer maupun teknologi informasi pada tahun 2016 turun sebesar 100 ribu mahasiswa. Proporsi mahasiswa jurusan komputer per keseluruhan mahasiswa pun menurun.
Sementara itu, semakin banyak jurusan lain yang menggabungkan keahlian komputer tingkat lanjut, seperti bahasa pemrograman, dalam silabus mereka. Terlebih lagi, sumber daya pembelajaran komputer otodidak telah tersedia secara luas di internet.
Berkat teknologi informasi, generasi milenial pun semakin mampu mengakses materi pendidikan di luar sekolah formal. Kelas online, tutorial video, atau hanya menggunakan mesin pencari dapat menjadi alternatif pelatihan profesional yang lebih terjangkau. Misalnya, mahasiswa dapat mengambil program studi daring yang ditawarkan kampus-kampus terkemuka dunia melalui situs seperti Coursera dengan harga yang jauh lebih murah dibanding menghadiri perkuliahan langsung di Indonesia.
Tanpa pendidikan formal, bukan berarti generasi milenial tidak bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Profesi yang tidak membutuhkan ijazah, seperti menjadi wirausaha, kini semakin mudah dengan bantuan teknologi informasi. Wirausaha digital pun menjamur, mulai dari berdagang melalui situs-situs e-commerce atau media sosial hingga mendirikan perusahaan start-up. Hal ini sesuai dengan temuan Deloitte bahwa 76 persen milenial di 30 negara menganggap bisnis dapat menghasilkan perubahan terhadap masyarakat.
Sumber data: Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
Visualisasi: Nazmi Haddyat Tamara | Data Analyst Katadata
Editor: Ayu Siantoro