Pemerintah menjalankan berbagai kebijakan untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah dalam waktu singkat. Salah satu kebijakan utama adalah mengurangi impor, baik barang konsumsi maupun barang modal untuk proyek infrastruktur. Seberapa besar sebenarnya dampak proyek infrastruktur yang digenjot dalam empat tahun terakhir tersebut menekan dan melemahkan rupiah?
Nilai tukar rupiah menyentuh titik terendah sejak krisis moneter tahun 1998, yaitu sebesar Rp 14.935 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 5 September lalu. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 9,8%. Rupiah pun termasuk mata uang terburuk di dunia bersama dengan mata uang negara-negara selevel Indonesia, seperti Rusia, Turki, dan Brasil.
Pemerintah menyatakan pangkal masalah pelemahan rupiah adalah faktor eksternal. Mulai dari ketidakpastiaan ekonomi global, perang dagang AS dan Tiongkok, hingga krisis ekonomi di Turki dan Argentina yang merembet ke beberapa negara berkembang lain. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) turut memicu hengkangnya dana investor dari negara berkembang.
Di sisi lain, sejumlah pihak mencermati, faktor internal Indonesia juga tidak dalam kondisi prima. Defisit transaksi berjalan atau current account deficit yang terus membesar hingga mencapai 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menunjukkan performa ekonomi yang kurang sehat.
Selain itu, kinerja ekspor yang melambat membuat defisit neraca perdagangan. Alhasil, pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri menyusut sehingga nilai tukar rupiah semakin terpuruk.
Ekonom senior dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Faisal Basri berharap, pemerintah sebaiknya berhenti menyangkal kondisi ekonomi saat ini aman dan menyalahkan faktor eksternal. "Faktor eksternal itu selalu ada karena ekonomi kita terbuka. Tapi mengapa yang lain tidak separah kita? Karena daya tahan mereka lebih baik.”
Salah satu penyebab utama pelemahan rupiah adalah defisit transaksi berjalan. Hingga kuartal-II 2018, defisit mencapai US$ 8 miliar atau setara 3,04% dari PDB. Angka ini meningkat dari kuartal sebelumnya yakni US$ 5,7 miliar atau 2,21% terhadap PDB.
Ini merupakan batas waspada bagi perekenomian suatu negara. Penyebabnya adalah tekornya perdagangan, dan pembiayaan utang dalam bentuk valas.
Pada kuartal II-2018, defisit neraca perdagangan barang dan jasa mencapai US$ 1,5 miliar. Defisit terbesar disumbang oleh impor migas dengan defisit sebesar US$ 2,7 miliar.
Di sisi lain, massifnya pembangunan infrastruktur turut berandil besar menyebabkan defisit neraca perdagangan dalam beberapa kuartal terakhir. Sektor infrastruktur yang menjadi fokus utama pembangunan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 memang membutuhkan juga barang modal yang bernilai besar dari luar negeri.
Selama Januari-Juli 2018 menggambarkan nilai impor barang bahan baku dan barang modal untuk proyek infrastruktur cukup tinggi. Lebih 90% barang yang diimpor sepanjang 2018 adalah bahan baku dan barang modal dengan rincian masing-masing 75,02% dan 15,75%. Sedangkan porsi barang konsumsi hanya 9,23%.
Jika dirinci lebih detail, tiga jenis barang impor dengan nilai terbesar adalah mesin dan pesawat mekanik US$ 15,2 miliar, mesin dan peralatan listrik US$ 12,1 miliar dan besi baja US$ 5,6 miliar. Tiga jenis barang tersebut terkait dengan proyek infrastruktur, khususnya pembangkit listrik.
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adinegara menghitung, dengan asumsi penghematan 30% dari tiga jenis barang impor tersebut maka devisa yang bisa dihemat sebesar US$ 9,8 miliar. Artinya, penghematannya lebih besar dibandingkan upaya pemerintah saat ini mewajibkan biodiesel 20% (B20) yang ditargetkan bakal menghemat devisa US$ 2,3 miliar.
Selain kewajiban B20 untuk mengurangi impor migas, pemerintah juga mengendalikan impor barang konsumsi untuk memperbaiki nilai tukar rupiah. Bentuk kebijakannya adalah kenaikan pajak penghasilan (PPh) ratusan barang impor, khususnya barang konsumsi.
Pemerintah juga menunda sejumlah proyek infrastruktur untuk menyelamatkan rupiah dalam jangka pendek dan menengah. Di antaranya beberapa proyek pembangkit dari program pembangkit listrik berkapasitas total 35 Gigawatt (GW).
Direktur Perencanaan Korporat Perusahaan Listrik Negara (PLN) Syofvi Felienty Roekman mengatakan, beberapa proyek yang dapat ditunda adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). PLN sedang melakukan simulasi untuk menentukan lokasi proyek pembangkit yang akan ditunda pembangunannya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan, ada beberapa kriteria dalam menentukan proyek infrastruktur yang ditunda. Antara lain, proyeknya belum mendapatkan pendanaan (financial closing) dan statusnya tidak mendesak.
Bank Indonesia (BI) mendukung penundaan beberapa proyek infrastruktur yang bertujuan mengurangi impor. Penundaan itu tak terkecuali pada proyek-proyek infrastruktur besar yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, proyek-proyek infrastruktur penting untuk pembangunan ekonomi di masa depan. “Tapi kita bisa lihat prioritasnya, mana yang punya kadar impor tinggi mungkin bisa sedikit ditunda dan mungkin nanti bisa dilanjutkan lagi.”
***
Editor: Nazmi Haddyat Tamara